Aku punya sebuah rahasia. Rahasia yang, kalau aku ceritakan di dunia, mungkin dunia akan tertawa terpingkal-pingkal. Tapi siapa sangka, rahasia ini melibatkan sosok paling berpengaruh dalam kehidupan---ibuku.
Buku adalah wanita yang luar biasa. Bukan hanya karena dia bisa memasak nasi goreng seenak warung pinggir jalan favoritku, tapi juga karena dia memiliki kekuatan supranatural. Kekuatan ini tidak terlihat, tapi aku seolah-olah merasakan efeknya setiap hari. Kekuatan itu adalah... menguraikan mata.
Ya, benar. Buku bisa berbicara hanya dengan memutarnya. Seperti pesulap yang bisa menghipnotis orang hanya dengan melihat matanya, ibuku bisa mengubah dunia hanya dengan melihatku sejenak. Dan biasanya, itu berarti satu hal: aku harus melakukan sesuatu yang tak pernah aku inginkan.
Kisah ini dimulai di sebuah Minggu pagi yang damai. Aku sedang asyik duduk di depan TV, memainkan game kesayanganku sambil menikmati sarapan. Tiba-tiba, dari arah dapur, muncul ibuku. Tidak dengan kata-kata, tapi dengan memutar. Aku sudah tahu apa artinya itu---tapi kali ini aku pura
"Aku butuh bantuan," kata ibu akhirnya, setelah itu terasa seperti panah panas yang menembus layar TV-ku.
"Apa, Bu?" tanyaku tanpa menoleh, berharap jawaban akan sesuatu yang sederhana, seperti mengambilkan sendok atau mematikan ker
"Ambilin cucian di jemuran," katanya
Nah, ini dia. tatapan berikutnya yang lebih tajam dari pisau dapur. Aku berusaha tetap tenang. Aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
"Tapi, Bu, seru lagi nih gamenya. Bentar ya?" balasku dengan alasan klasik. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tiba-tiba, aku menemukannya lagi. Kali ini,intensitasnya bertambah seperti matahari yang tiba-tiba mendekati bumi
Kepala ibu sedikit miring ke kanan, senyum tipis di bibir. Ah, senyum itu! Senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan, melainkan... sebuah ultimatum! Aku tahu, kalau aku tidak segera bergerak, mungkin game ini akan menjadi yang terakhir aku mainkan seumur hidup
"Baiklah, baiklah!" kataku sambil mendekat, seolah-olah aku adalah seorang pahlawan yang terpaksa meninggalkan istana hanya karena rakyat membutuhkan pertolong