Mohon tunggu...
Angela Sunaryo
Angela Sunaryo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fighting~

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hari Raya Napak Tilas NguPaTan (Ngunut-Parang-Magetan) bermula dari Rumah Sejarah Desa Ngunut

22 Desember 2022   12:21 Diperbarui: 22 Desember 2022   12:29 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terletak di Desa Ngunut, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, terdapat sebuah rumah bersejarah yang menjadi tempat pengungsian pada tahun 1948 hingga 1950. Dilatarbelakangi agresi militer Belanda yang tengah berlangsung, rumah pengungsian yang terletak di RT 5 Dukuh Bogang kini ditempati oleh Ibu Wartini selaku generasi keempat dari kakek beliau yang dahulu memiliki peran sebagai kepada Desa Ngunut. Sebuah rumah yang kini menjadi rumah bersejarah yang banyak menyimpan kisah-kisah perjuangan masyarakat Indonesia melawan Belanda. 

Pada masanya, Desa Ngunut ditempati oleh orang-orang sakti. Salah satunya adalah bapak kepala desa, Mbah Setroikromo, dan Reso Dimedjo (Mbah Setu). Karena kondisi Kabupaten Magetan sangat genting akibat agresi militer Belanda, maka Kabupaten Magetan dianggap kurang aman untuk disinggahi. Alhasil, banyak pelaku ataupun pejabat pemerintahan yang mengungsi ke Rumah Pengungsian untuk mencari perlindungan dari orang-orang sakti yang berada di Desa Ngunut. Menurut Pak Haryanto, tokoh masyarakat Desa Ngunut, konon ada cerita ketika Belanda ingin memasuki area Desa Ngunut. Alih-alih melihat sebuah jalan, pihak Belanda melihat sebuah gunung yang sangat besar sehingga desa nampak seperti hutan yang tak berpenghuni. Padahal, disitu ada sebuah jalan yang menuju pemerintahan Kabupaten Magetan. Dengan kekuatan orang-orang sakti, Desa Ngunut menjadi desa yang aman hingga banyak tokoh di luar Kabupaten Magetan (seperti dari Ponorogo dan Madiun) ikut mengungsi ke Desa Ngunut. 

Proses pemindahan pemerintahan Magetan ditandai ketika wakil bupati tiba di Desa Ngunut sendiri tanpa bapak bupati, tutur Mbah Wartini. Menurut cerita turun temurun, bapak bupati tertangkap oleh Belanda di suatu tempat yang diyakini sebagai kecamatan Ngariboyo. Sehingga, ketika sampai di rumah pengungsian hanya tersisa wakil bupati. Kondisi saat itu juga sangat mencekam sehingga warga harus mewaspadai gerak-gerik ataupun suara pesawat terbang musuh yang lewat. Apabila terdengar suara pesawat terbang melewati area Desa Ngunut, masyarakat dengan tangkas bersembunyi di sebuah sungai yang diselubungi tanah menyerupai goa sehingga menguntungkan masyarakat untuk bersembunyi. Semua berkas atau jejak pemerintahan disembunyikan di belakang rumah dan ditimbun dedaunan untuk mengantisipasi kedatangan Belanda. 

Meski mencari perlindungan, pemerintahan serta masyarakat setempat berperan aktif untuk mengusir penjajah Belanda. Dilengkapi bambu runcing dan senjata yang dirampas dari Belanda, para pejuang mengusir penjajah Belanda yang tengah menguasai Kecamatan Parang. Jiwa yang terus berjuang dan nasionalis dapat terlihat baik dari yang tua ataupun muda saat melawan penjajah. Api nasionalisme yang terbakar dalam jiwa inilah menjadi nilai penting yang perlu dipertahankan hingga generasi-generasi berikutnya. 

Rumah Joglo

Rumah Pengungsian atau Rumah Bersejarah ini merupakan tipe rumah Joglo yang kerap dijumpai di Jawa dan umumnya dibangun menggunakan kayu jati. Ciri khas rumah Joglo dapat terlihat dari atapnya yang berbentuk tajug atau piramida yang mengerucut. Sehingga apabila melihat istilah Joglo, ia merupakan gabungan kata "tajug" dan "loro" menjadi juglo. Rumah Joglo memiliki simbol yang menunjukkan status sosial masyarakat Jawa zaman dulu. Umumnya, Rumah Joglo terdiri dari tiga bagian yaitu pendapa (bagian depan), pringgitan (bagian tengah), dan dalem (ruang utama). Selain itu, rumah Joglo memiliki empat tiang penyangga atau soko guru di tengahnya yang berukuran tinggi untuk menopang atap. Makna soko guru adalah gambaran kekuatan dari empat penjuru mata angin. Sedangkan tajug bagi masyarakat Jawa diibaratkan sebagai bentuk gunung. Sebuah tempat tinggi yang sakral dan didiami oleh para dewa. Oleh sebab itu, masyarakat meyakini dengan berlindung di rumah Joglo dapat menghindarkan mereka ketika bencana datang. 

Kini, Rumah Bersejarah didiami Mbah Wartini selaku generasi keempat dari buyut Mbah Setroikromo selaku kepada desa saat itu. Di dalam rumah tersebut, terdapat beberapa peninggalan zaman dulu seperti lemari dan rono, penyekat ruangan yang dapat dilipat. Tempo dulu, rumah tersebut dipakai menjadi tempat pertemuan rahasia Mbah Sukiman dan pusat pemerintahan Kabupaten Magetan. Seiring berjalannya waktu, tiang di dalam rumah Joglo selalu bertambah tumpangnya atau kayu yang melintang di antara empat penyangga setiap ada renovasi. Menurut Pak Haryanto,  empat tingkatan tumpang yang saat ini ada bedasarkan filosofinya berarti sudah keturunan keempat rumah ini diturunkan. 

Hari jadi Magetan - Napak Tilas

Berhubung dengan berpindahnya Pemerintahan Magetan tahun 1948 ke Desa Ngunut, Rumah Pengungsian kini menjadi Rumah Sejarah yang masih dibudidayakan oleh Pemerintahan Magetan yang diperingati melalui tradisi Napak Tilas. Napak Tilas terdiri dari dua kata, yakni tapak atau kaki dan tilas atau bekas. Sehingga apabila digabungkan, Napak Tilas memiliki arti bekas jejak atau bekas jalan yang pernah dilalui para pejuang pada masa perang guna sebagai bentuk penghormatan. Napak Tilas menjadi penelusuran jejak-jejak para leluhur yang berjasa bagi Magetan yang kini dikenang oleh generasi selanjutnya. Dengan begitu, para masyarakat dapat menghormati dan bahkan menghidupkan kembali semangat juang yang pernah dilakukan oleh para leluhur sebelumnya. 

Di Magetan sendiri, kegiatan Napak Tilas bukan menjadi hal yang asing untuk dilakukan. Karena dari dulu pejuang Desa Ngunut berasal dari semua kalangan usia baik yang tua hingga yang muda, maka Napak Tilas dilaksanakan sebagai peringatan Hari Jadi Magetan 10 Oktober 2022. Perayaan ini biasanya dilaksanakan minggu pertama atau kedua bulan Oktober. Rumah Bersejarah ini memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Napak Tilas sebagai starting point. Kegiatan ini dilaksanakan dengan berjalan kaki dari Rumah Bersejarah dengan jalur NguPaTan (Ngunut-Parang-Magetan). Diawali dengan upacara pemberangkatan yang kerap didatangi Bupati serta masyarakat setempat, para warga berjalan diiringi lampu oncor atau dikenal obor yang dipasang dekat jalan raya. Obor dipakai sebagai penerangan jalan karena dahulu belum ada listrik. Uniknya, sepanjang jalan masyarakat diberikan air putih dan makanan sebagai salah satu kearifan rakyat. Hingga akhirya hari menjadi gelap, garis finish berada di kabupaten dekat alun-alun. 

Napak Tilas bertujuan untuk memperingati perjuangan para leluhur dan belajar untuk mensyukuri kemerdekaan yang kini telah kita nikmati. "Harapannya, dengan adanya pengembangan wisata yang ada di Desa Ngunut, Pok Darwis dapat menyajikan wisata bersejarah agar sejarah yang sudah ditoreh tidak terlupakan." ucap Pak Bas, tokoh masyarakat Desa Ngunut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun