Mohon tunggu...
Angela Belgis
Angela Belgis Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi bermain game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Persepsi dan Preferensi antara Generasi (Analisis Hal-hal yang Diajarkan Orang Tua namun Tidak Disukai Anak Muda)

7 April 2024   00:30 Diperbarui: 7 April 2024   00:33 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persepsi sendiri berasal dari bahasa inggris perceive yang berarti melihat atau mengamati wojowasito dalam priono 2004 : 42, sedangkan menurut mahyong dalam priono 2004 : 42 persepsi berasal dari kata dasar bahasa inggris peceive yang bisa di artikan sebagai merasa, mengerti juga memahami. Dalam kamus besar berbahasa Indonesia 2002 : 863 persepsi di artikan sebagai proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya sedangkan dalam proses masyarakat persepsi dapat di artikan juga menjadi proses untuk mengetahui, merasa dan memahami memalui pengamatan pancaindranya. Sedangkan preferensi sendiri adalah istilah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa inggris preference yang dapat di artikan sebagai lebih menyukai memilih wojowasito dalam priono 2004 : 42 sedangkan menurut kamus web atau online di www.kamus-online.com preference bisa di artikan sebagai simpati, pilihan dan sesuatu yang di sukai.

Perbedaan antara persepsi dan preferensi antara generasi merupakan fenomena yang saat ini sering terjadi karena perkembangan zaman dan generasi yang terus berganti sering sekali menimbulkan bedanya persepsi dan preferensi, dengan adanya dinamika perubahan budaya dan nilai-nilai di dalam masyarakat. Dengan itu perbedaan yang signifikan dalam persepsi dan preferensi terjadi karena banyak hal yang di ajarkan orang tua, seperti norma-norma sosial, nilai-nilai tradisional, dan ekspektasi kakrir, tidak selalu di sukai oleh anak muda. Karena anak muda cenderung memiliki preferensi yang lebih individualistik, lebih terbuka pada perubahan dan lebih cenderung mengikuti tren dan budaya pop. Sementara itu orang tua yang masih teguh dan mempertahankan nilai-nilai tradisional dengan hidup yang lebih konservatif.

Seperti halnya orang tua yang masih mempercayai nilai-nilai tradisional mereka menginginkan anaknya bisa dapat menghargai dan melakukan hal yang sama karena kenyakinan mereka. Mereka takut jika anak-anaknya tidak memiliki nilai budaya dan menjadi tak terarah. Sedangkan anak muda cenderung mengikuti tren dan mengikuti zaman,  mereka berpikir kalau mengikuti arahan orang tua akan menjadi kolot atau tidak keren. Nah hal ini juga bisa di perkecil dengan kedekatan orang tua dan anak karena saat hubungan orang tua dan anak juga sangat memengaruhi dalam mengajarkan hal ke anak, jika hubungan antara mereka dekat dan saling mengerti satu sama lain dapat membuat anak bisa mematuhi  orang tua namun anak juga mengharapkan bisa di mengerti.

Salah satu hal yang membuat anak zaman sekarang tidak mematuhi atau mendengarkan orang tua bisa dilihat dari tingginya tingkat pendidikan pada anak, melihat peristiwa secara obyektif dan tidak mempercayai berita hoax yang tersebar di media dan di mana saja, karena terkadang anak zaman sekarang lebih mempercayai bukti atau kejadian yang mereka lihat sendiri daripada mempercayai atau mendengarkan kata-kata orang tua yang belum tentu benar atau Cuma menakut-nakuti saja. Faktor lain juga karena anak zaman sekarang terlahir di era maju sedangkan orang tua sudah tumbuh sejak dulu saat belum banyak hal yang terjadi bahkan ada beberapa orang tua yang tingkat pendidikannya hanya sebatas sekolah dasar atau bahkan tidak melakukan pendidikan apapun jadi cara pandang mereka akan terlihat jauh. Orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang terpandang dan memiliki kerja yang tepat agar tidak seperti orang tua mereka, orang tua juga menginginkan anaknya bisa menjadi seseorang yang dipandang luas, atau seseorang anak yang berbakti dan mematuhi semua ajaran yang sudah di berikan. Sedangkan anak berpikir bahwa cita-cita mereka akan di ambil dari hobi mereka atau bahkan kerjaan mereka akan di ambil dari hobi mereka, lalu ajaran yang menurut anak muda sudah kolot akan di tinggalkan karena sudah tidak efisien atau bahkan tertinggal zaman. Oleh karena itu anak-anak muda lebih memilih tidak mendengarkan hal itu dan tetap pada pilihan atau prinsip mereka.

Tentang pendidikan agama orang tua juga menginginkan anaknya bisa mengetahui lebih dalam tentang agama atau keyakinan mereka dengan cara memasukkan ke dalam pondok pesantren, sedangkan anak tidak ingin masuk ke pondok pesantren karena menurut mereka belajar di rumah atau belajar di tempat mengaji sudah cukup. Orang tua berpikir jika anak mereka belajar agama di pondok pesantren akan memiliki moral dan ahlak yang baik, dikenal oleh masyarakat dengan ketekunannya sedangkan jika belajar secara sendiri tidak  bisa membentuk moral, sedangkan anak yang selalu di tuntut akan hal yang berlawanan dengan keinginannya membuat anak tidak nyaman dan ingin melawan. Tidak hanya mendidik moral namun juga mendidik perilaku, tanggung jawab, dan tindakan keinginan dan ekspektasi tinggi dari orang tua yang membuat anak menjadi beban. Sebenarnya pendidikan moral ini memerlukan peran juga dari orang tua, namun terkadang orang tua tidak mau ambil pusing dan menyuruh anaknya saja. Text-ide.123dok.com

orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak mereka maka dari itu sejak kecil anak mereka di ajarkan dan di kenalkan oleh hal-hal baik saja dari mengajarkan berbagai hal seperti berbicara, membaca, menulis, menggambar dan lain-lainya. Saat sudah beranjak remaja mereka juga mengajarkan norma dan keyakinan agar bisa menjaga dan tidak meninggalkan kewajibannya, namun karena ajaran dan perkataan yang di ulang membuat anak-anak menjadi bosan dan tidak mendengarkannya lagi. Namun mereka sudah mengerti dan tahu batasan mereka, slah satu faktor utamanya adalah Generation Gap dimana setiap orang yang lahir dan tumbuh di generasi yang berbeda memiliki cara fikir maupun cara pandang yang berbeda karena di bentuk pada masa dan latar belakang yang berbeda juga. Perbedaan pada latar belakang tersebut menghasilkan perbedaan dalam bersikap, cara pandang, cara berpikir, cara komunikasi, bahkan hingga perbedaan landasan fundamental.

Faktor yang memengaruhi perbedaan tidak terbatas pada peristiwa yang terjadi pada masa pertumbuhan generasi, perkembangan teknologi dan informasi dari zaman tersebutlah yang membuat pola pikir dan padang berbeda apalagi terjadinya perubahan gaya hidup di antara kedua generasi berbeda. Generation Gap sendiri adalah hal yang nyata maka dari itu tidak bisa di hindari dan akan selalu ada dari generasi ke generasi berikutnya. Maka dari itu lebih baik dimengerti, dipelajari, dan di sosialisasikan harapannya orang tua dan anak bisa saling memahami dan mengerti akan adanya perbedaan perspektif yang ada. Hal itu juga dapat membuat orang tua dan anak menjadi lebih terbuka  dan mempererat hubungan keduanya walaupun dari generasi yang berbeda.  www.kompasiana.com

Penyebab yang sering membuat perbedaan persepsi dan preferensi tidak lain dari kurangnya pemahaman pada generasi yang ada termasuk pada norma masyarakat dan teknologi yang berkembang secara signifikan, sehingga cara fikir yang di anggap normal bagi orang tua justru di anggap anak muda sebagai perilaku yang keras. Seperti memukul pada anak yang dulu di anggap sebagai mendidik dan menghukum anak yang nakal sudah hal wajar, namun sekarang bisa dilaporkan kepada pihak berwajib. Itu salah satu contoh pola fikir manusia yang terus berkembang dan tidak menganggap normal pada hal itu. Lalu kurangnya interaksi juga bisa menjadi faktor karena ornag tua yang lebih fokus bekerja, dan saat pulang orang tua merasa sangat lelah dan tidak menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka, hal itu menyebabkan kurangnya komunikasi dan intraksi yang membuat kesenjangan antar generasi padahal intraksi antara orang tua dan anak sangatlah penting untuk menciptakan bonding atau ikatan satu sama lain. Dan terkahir adalah kesalahan yang jarang di toleransi karena anak muda yang sering membuat kesalahan namun tidak mendapatkan toleransi padahal anak butuh membuat kesalahan untuk menjadikan pelajaran hidup dan tumbuh menjadi sosok yang lebih baik lagi dalam kehidupan.  Sering membandingkan anak juga menjadi cara praktis untuk memperlebar kesenjangan generasi orang tua dan anak muda pasalnya perbandingan selalu  di kiatkan dengan kekuranagn dan kelebihan yang ada, hal ini juga membuat anak kehilangan kepercayaan diri dan menghancurkan antusiasme pada anak. www.kompas.com

Lau, S., & Sermada, D. (2023). Perbedaan Persepsi Generasi Baby Boomers (Lanjut Usia) dan Milenial Terhadap HAM Berat 1965: Analisis Faktor Pendidikan dan Media. JERUMI: Journal of Education Religion Humanities and Multidiciplinary, 1(2), 393-404.

Ramdhan, M. (2022). Analisis Peran Orang Tua Dalam Mengembangkan Sikap Religiusitas Remaja (Studi Kasus Pada Warga Kelurahan Karang Timur, Kota Tangerang) (Bachelor's thesis, FITK UIN Syarif Hidayatulah Jakarta).

Junaidi, M. (2020). Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-Anak. Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan, 7(2), 801-808.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun