Mohon tunggu...
Angelina Sari Marpaung
Angelina Sari Marpaung Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya seorang yang ingin melihat negeri Indonesia ini aman dan damai dan tdk ada ada diskriminasi terhadap minoritas,,,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesetiaan itu...

25 Oktober 2013   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:03 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam hari baru menutupi bumi.

Sunyi sepi dan dingin diembuskanangin di luar, membuatku malas pergi kemana-mana. Padahal, bosan juga kalau terus menerus ada di dalam kamar.

Sendirian

Ditemani suara tivi yang tak pernah tahu apa yang sesunguhnya diinginkan hati.

"Memangnya kamu lagi pengen apa, AnakKu?" suara itu mendadak muncul selepas aku mengakhiri update statusku di facebook.

Eh, Bang Je... Udah lama?" tanyaku tak menjawab pertanyaanNya.

Bang Je menjitak kepalaku tak keras. "Kamu ini..., ditanya malah nanya. Hei, pertanyaan itu buat dijawab, bukan buat ditanya lagi."

"Hehe...," aku menyeringai. Tanpa rasa bersalah.

"So...? Apa yang kamu inginkan sekarang?Bang Je mengulang pertanyaannya lagi

"Apa ya?" aku berpikir dulu. Rasanya banyak sih yang ku inginkan. "Sebenarnya sih bukan keinginan, tapi jawaban atas pertanyaan yang akhir-akhir ini menggangguku."

"Pertanyaan apa?"

Aku mengubah posisi dudukku. Berhadap-hadapan dengan seseorang yang selalu ada di saat kapan pun aku membutuhkan-Nya.

"Menurut Bang Je, apa sih arti kata setia?"

Bang memandangku sejenak. Tampaknya ia tengah memastikan aku sedang bertanya serius barusan. Ah, seperti biasa, tatapannya itu lho... Nggak kuat. Ada pancaran kasih yang nggak bisa aku temui di mana pun. Bahkan pada diri orang yang aku sayangi selama ini sekalipun.

Tatapan mata Bang Je benar-benar mampu menghipnotis kegundahan rasa, kekeringan jiwa, dan kesuntukan masa. Oh...

"Kalau menurut kamus besar bahasa Indonesia yang biasa kamu baca, setia itu kan sama dengan loyal atau patuh. Jadi, setia adalah kata sifat yang berpengaruh pada sebuah pendirian, perjanjian, atau prinsip seseorang."

Kepalaku mengangguk-angguk. Hebat juga Bang Je nih...Suka baca kamus juga ternyata.

"Lalu, ketika kesetiaan itu diingkari, apa ada hukuman setimpal yang harus diterima?"

BangJe mengecilkan volume tivi dengan remote yang ada di dekat-Nya.

"Kesetiaan itu mungkin seperti tivi ini, bisa disetel maksimum atau minimum. Tapi, sekecil apapun volume yang ditekan, gambar yang ada di tivi tetap ada. Tivinya juga tetap terlihat. Semakin kecil volume yang dipilih, semakin tak jelas pesan yang disampaikan. Tapi, kalau semakin keras volume yang disetel, kita malah bingung dengan suara yang memekakkan telinga. Jadi, harusnya volume disesuaikan dengan gambar atau acara yang sedang kita tonton.

Gantian aku yang memandang Bang Je.

Bingung.

Bang Je rupanya tahu bahwa aku bingung gitu. Dia tersenyum rada nakal.

"Bingung yaa?"

Kepalaku mengangguk-angguk.

Tiba-tiba tubuh Bang Je mendekat. Direngkuh-Nya bahuku. Pintu yang memang terbuka lebar mendadak seperti memberi pemandangan lain malam ini.

"Lihat ke langit Anak-Ku... Betapa setia bulan pada bintang, langit pada bumi atau angin pada alam. Bayangkan ketika mereka tak setia lagi menemani, apa kamu akan dapat menikmati malam seindah malam ini?"

"Tapi, kalau mereka merasa tidak ada kecocokan lagi. Atau karena gagahnya sinar mentari pagi membuat bintang beralih dari bulan, apakah da hak langit tak mendukung mereka? Toh, sama-sama ada di satu tempat?"

"Itulah inti dari kesetiaan' Anak-Ku," Bang Je melepas rengkuhan-Nya dariku. "Ketika yang sudah dipasangkan mempunyai banyak alasan untuk mencoba lepas atau berusaha membenarkan peengingkaran maka makna kesetiaan itu tak akan lagi terlihat terang."

Aku diam, mencoba mengendapkan apa yang terdengar barusan

Sejenak napas kuambil panjang. Otakku membayangkan seandainya benar terjadi bintang bermain mata dengan matahari dan tak mau menemani bulan di antara malam, apa yang terjadi? Bisa jadi, siang akan kiancantik dipandang, tapi bagaimana dengan malam? Akankah dia mengeluarkan tangis tiap hari tak berkesudahan?

"Bapa-Ku telah memjadikan baik segala sesuatunya. Ia memasangkan banyak hal agar tak terlepas satu sama lain begitu saja. Bahkan, kesetiaan-Nya telah diperlihatkan saat Aku merasa ditinggalkan banyak sahabat, sesaat hukuman salib tak dapat Kuhindarkan."

Bang Je berdiri sebentar. Dia menutup jendela supaya angin dingin tidak terlalu menyerbu. "Aku tahu, manusia sepertimu sering kali tak bisa mengekang nafsu duniawi. Begitu ada yang dirasa lebih baik, tanpa banyak berpikir lagi ia bisa meninggalkan kesetiaannya selama ini. Kesetiaan pada keluarga, sahabat, kekasih, pekerjaan, alam dan... Aku..."

Saat terucap suatu kata terakhir, nada muram itu jelas terdengar ditelinga. Bang Je pun tertunduk seperti menahan kesedihan terdalam. Raut muka yang semula ceria, seperti menurun, tak tersembunyikan.

Aku jadi nggak enak sendiri.

Apalagi aku juga merasa tersindir. Sempatlah beberapa kali kesetiaan ini teruji' nyaris mengikuti arus yang katanya lebih menjanjikan. Sebelum pada akhirnya, sentuhan Bang Je juga yang mengembalikan kesetiaan itu pada keadaan semula.

"Jika ada yang mengingkari kesetiaannya sendiri, Aku tak pernah berniat menghukum mereka hingga membuatnya menderita. Tapi..., alam yang sangat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, akan mengingatkannya. Meski kadang umpatanlah yang Kudapat, percsyalah, Aku akan tetap setia menyertai dan menunggumu di sini."

Ooohhh...

Aku tak mampu berkata-kata lagi.

Kelu.

Hanya satu yang kini jelas pasti kutahu... Terus ajari aku untuk tetap selalu setia pada-Mu, Tuhan....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun