Mohon tunggu...
Anfaul Umam
Anfaul Umam Mohon Tunggu... lainnya -

Korlap LPPI (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia) Semarang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Temuan Empirik Money Politik

4 April 2014   23:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepanjang Februari lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Kantor Kesbangpol dan Linmas mengadakan roadshow kegiatan “Pembinaan Sosial-Politik” di empat Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. Keempat Kabupaten dan Kota tersebut meliputi Kab. Kudus, Kab. Temanggung, Kab. Karanganyar dan Kota Solo. Kegiatan ini sekaligus dimaksudkan untuk uji petik inventarisir permasalahan tentang potensi pelanggaran pemilu dan potensi konflik dampak pelanggaran pemilu di wilayah Provinsi Jawa Tengah sebagai satu bentuk kesiapan pemerintah Jateng songsong pemilu legislatif dan presiden 2014. Menarik, dengan model diskusi kelompok (FGD) yang pesertanya terdiri dari unsur pemerintah, pemilih, penyelenggara dan peserta pemilu, temuan tentang money politik secara konsisten tidak pernah absen pada setiap pelaksanaan kegiatan di keempat Kota dan Kabupaten tersebut.

Memang 9 April semakin dekat, maka intensitas perbincangan tentang money politik yang semakin gencar terdengar hari-hari ini menjadi wajar. Selama bertautan dengan perdebatan pemilu, money politik adalah kepingan perbincangan yang tak terpisahkan dari deretan isu nasional. Sebenarnya, hingar-bingar money politik yang terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum langsung belakangan ini bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum sistem pemilu kita beralih ke model pemilihan langsung, money politik sudah menjadi kecurigaan banyak orang yang melibatkan kandidat pemimpin eksekutif dengan legislatif. Hanya saja, money politik pada masa ini urung terekskalasi secara nasional karena fokus masyarakat terbagi-bagi lingkup kedaerahan dan masyarakat tidak ikut mengalami sendiri praktik money politik.

Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa money politik semakin tersosialisasi luas ketika pemilihan langsung kepala desa pada orde reformasi seolah berubah menjadi kontes pemilihan kepala desa. Satu indikator, keunggulan finansial tampil sebagai salah satu faktor yang sangat dominan, penentu keterpilihan kepala desa. Apalagi pada proses ini ada semacam degradasi pemaknaan terhadap pemberian. Dahulu pemberian dari para calon kepala desa kepadawarga dimaknai sebagai “tali asih” yang merupakan pemberian murni seseorang dengan tendensi welas asih. Kira-kira “tali asih” tidak menyebabkan efek gangguan jiwa walaupun calon yang bersangkutan tidak jadi terpilih. Berbeda dengan situasi pemilihan kepala desa sekarang, di manapun jamak dijumpai pemberian dimaknai sebagai “tali jiwa” yang mengikat jiwa penerima agar memberikan imbalan sepadan berupa suara pilih.



Temuan Empirik

Berikut penulis paparkan temuan empirik singkat menyoal money politik. Disebut empirik karena paparan berdasarkan temuan data lapangan hasil wawancara tatap muka langsung dengan masyarakat yang teridentifikasi sebagai sampel dalam penelitian mengenai perilaku memilih.  Hanya saja, perlu  penulis tekankan paparan ini bukan hasil olah data secara profesional melainkan hasil pengamatan kasar penulis selama terlibat langsug dalam proses pengambilan data lapangan bersama LPPI (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia) Semarang dengan kapasitas sebagai korlap (koordinator lapangan) enumerator. Adapun cakupan wilayah pengambilan data terbatas terutma di Kota dan Kabupaten Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan metode acak bertingkat (multi stage random smpling) pada momentum pemilihan kepala daerah Kabupaten dan Provinsi serta pemilihan legislatif sejak 2009 hingga sekarang.

Domain money politik setidaknya terekam dalam tiga pertanyaan yang tercantun dalam instrumen yang isinya kurang-lebih:  (1) Dalam masa pemilihan langsung seringkali dijumpai orang-orang yang memberikan bantuan berupa uang atau hadiah sebagai upaya pemenangan calon tertetu, apakah pemberian tersebut wajar? (a) ya, wajar dan (b) tidak wajar; (2) Seberapa pentingkah bantuan atau hadiah pada masa pemilihan langsung tersebut? (a) sangat penting, (b) penting, (c) cukup penting, (d) kurang penting dan (e) tidak penting; dan (3) Seandainya ada orang yang memberikan bantuan berupa uang atau hadiah terkait pemenangan calon tertentu apakah akan menerima pemberian tersebut? (a) menerima dan memilih calon yang bersangkutan sebagai timbal balik, (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan, (c) menerima saja tanpa pertimbangan apapun, (d) tidak akan menerima pemberian tersebut.

Hasil pengamatan penulis dari perangkat pertanyaan tersebut dapat dipaparkan beberapa poin temuan lapangan bahwa: (1) dengan latar belakang responden yang beragam meliputi jenis kelamin, umur,  tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, rata-rata penghasilan, agama dan partisipasi di organisasi masyarakat, sekitar 90% beranggapan wajar terkait pemberian sebagaimana dimaksudkan pada poin pertanyaan nomor satu. Anggapan wajar ini berlaku sama baik di daerah sepanjang pantura maupun non-pantura, yakni daerah terdampak keraton dan daerah yang tidak terdampak keraton dan bukan pantura; (2) Untuk semua karakteristik daerah, responden dengan tingkat pendidikan tinggi (SMU-Perguruan Tinggi) cenderung menilai pemberian yang dimaksud pada poin pertanyaan nomor dua tidak penting. Justru indikator rata-rata penghasilan pengaruhnya kurang signifikan  terhadap poin ini. Kecuali responden yang benar-benar sudah mapan atau dengan penghasilan 5 juta ke atas per bulan, cenderung (d) tidak akan menerima pemberian tersebut.

(3) Untuk poin pertanyaan nomor tiga, berlaku di semua karakteristik daerah,  responden yang teridentifikasi menilai pemberian tersebut tidak penting, dapat dipastikan terbagi kedalam dua jawaban besar, (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan dan (d) tidak akan menerima pemberian tersebut, dengan proporsi jawaban (d) tidak akan menerima pemberian tersebut, lebih dominan. Yang menarik, pada poin pertanyaan ini banyak sekali dijumpai responden yang tersebar di daerah pantura seperti Kab. Pati dan Kab. Kendal (yang mencolok) cenderung bersikap, (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan dan (c) menerima saja tanpa pertimbangan apapun. Sedangkan di daerah non-pantura seperti Kab. Wonosobo (yang mencolok) banyak responden cenderung bersikap (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan, dan bahkan bersikap (d) tidak akan menerima pemberian tersebut, sekalipun dengan tingkat pendidikan di bawah SMU.

Tingginya jawaban responden, (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan, menggambarkan betapa masyarakat (sampel masyarakat Jawa Tengah) sangat permisif terhadap kemungkinan praktik money politik. Secara statistik kecenderungan pilihan sikap ini memiliki korelasi linear dengan penilian ketidakpuasan masyarakat atas kinerja otoritas pemegang kekuasaan. Data kualitatif berupa pertanyaan tambahan di luar cakupan pertanyaan instrumen menemukan jawaban original yang patut menjadi perhatian bersama. Masyarakat bersikap pragmatis atas money politik karena masyarakat menilai legitimasi kekuasaan otoritas pemangku kekuasaan tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi detail kelangsungan hidup mereka. Dengan narasi yang lebih ekstrim, ada dan tidaknya legislator, kepala daerah dan bahkan kepala negara dinilai tidak berpengaruh (secara langsung) bagi perbaikan hidup masyarakat sehingga terjadilah fenomena “aji mumpung”.



Sistemisasi Pendidikan Politik

Namun demikian, paparan “data kasar” ini tidak serta merta mengubur upaya mereduksi potensi money politik di masyarakat pada penyelenggaraan pemilu langsung. Jawaban (b) menerima tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan, sekaligus mengandung dualisme sikap yang mengungkapkan sejatinya masyarakat bisa menggunakan hak pilih tanpa harus menerima money politik. Konkretnya adalah masyarakat tetap akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu yang sesuai dengan pilihan hatinya sekalipun calon tersebut tidak memberikan uang atau hadiah. Penulis beranggapan, kalaupun dilakukan penelitian lebih mendalam hanya sekian persen calon pilihan hati masyarakat yang akhirnya benar-benar memberikan pengaruh perbaikan. Banyak kelompok masyarakat yang merasa sudah cukup untuk berbaik sangka terhadap calon hanya dengan dia bersedia mendekat kepada masyarakat dan mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung.

Ada semacam kelangkaan informasi di masyarakat yang mengabarkan pemimpin-pemimpin politik yang dekat dengan kebaikan, lebih-lebih peduli dengan perbaikan kehidupan masyarakat. Dan ini hanyalah satu contoh dari bagian besar konsep pendidikan politik. Optimisme masyarakat mesti disambut dan di sinilah sosialisasi pendidikan politik dapat mengambil peranan penting. Tentu, pendidikan politik yang dikehendaki bukanlah konsep politik abstrak yang jauh dari panggung politik praktis melainkan yang bersentuhan langsung  dengan kehiduapan berpolitik.  Indonesia bukan tanpa referensi bagaimana pendidikan politik dibangun sangat cantik oleh para tokoh bangsa pada masa-masa setelah kemerdekaan. Sejarah mencatat seperti apa Soekarno, Hatta, M. Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Dipa Nusantara Aidit dan sederet tokoh kenamaan lainnya pernah terlibat saling konflik cara pandang dalam bagaimana idealnya pemerintahan dijalankan. Luar biasanya, konflik ideologi ini tidak serta-merta mengurangi kehangatan hubungan di antara mereka secara personal.

Maka, konsep pendidikan politik penting untuk dirumuskan secara tersistem yang hadir baik di panggung politik nasional maupun lokal. Sistemisasi pendidikan politik memungkinkan banyak unsur berperan menjadi agen pembawa pesan praktik politik yang baik  mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, lembaga, dan non-lembaga.  Dan sistemisasi pendidikan politik haruslah satu sistem yang mampu menciptakan pemimpin-pemimpin politik yang baik dan mampu memelihara optimisme masyarkat atas cita-cita Indonesia jaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun