Mohon tunggu...
Anfaul Umam
Anfaul Umam Mohon Tunggu... lainnya -

Korlap LPPI (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia) Semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Lanjutan) Diskusi Bedah Buku "Hari Terakhir Kartosoewirjo"

5 Mei 2013   19:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:03 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#Lanjutan dari Diskusi Bedah Buku "Hari Terakhir Kartosoewirjo"

Fadli Zon, SS, M.Sc

Terimakasih atas pertanyaan, pernyataan dan masukan. Menyoal sumber foto-foto, sangat jelas, ada orangnya dan ada namanya. Mulanya orangnya tidak keberatan untuk saya sebutkan identitasnya ke publik tetapi dia buru-buru mengoreksi di kemudian hari agar tidak perlu disebutkan identitasnya dengan pertimbangan menghindari kemungkinan-kemungkinan sasaran yang negatif. Saya pastikan keaslian foto ini 100%, bukan cropping, tahun kertas foto juga jelas pada 1962, kemudian ada caption, keterangan foto dengan mesin ketik. Jadi, kalau ini diuji dengan uji karbon pasti otentik.

Foto ini juga sudah dikonfirmasi oleh keluarga Kartosoewirjo dan orang  yang ada di foto itu sebagian masih hidup, di antaranya ada yang namanya Tahmid, Kumalasari, dan Danti. Yang menarik, Danti waktu itu berumur 15 tahun. Dia dititipkan kepada keluarga Daud Beureueh dan baru mengetahui bahwa dia anaknya Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Ini menurut cerita Pak Sarjono (anak Kartosoewirjo dan masih hidup sampai sekarang) pada saya.

Jadi untuk sumber foto saya tidak tahu sebenarnya foto-foto ini dulu asalnya dari mana. Di Arsip Nasional Indonesia (ANRI) pun yang ada hanya salinannya dan sebatas 21-25 lembar dan tidak ada caption. Kemudian kalo menurut UU terakhir terkait publikasi infomasi rahasia negara adalah 25 tahun. Dan menurut saya angka 50 tahun adalah angka psikologis dan bagaimanapun juga masyarakat berhak tahu terkait peristiwa bersejarah ini. Termasuk ketika Sarjono Kartosoewirjo saya undang dalam acara peluncuran buku ini. Saya terkesan dengan komentar dia. Dia mengatakan, “Saudara-saudara bisa saksikan ayah saya adalah manusia biasa. Kalau ada yang mengatakan dia masih hidup, sekarang lihat dia sudah dieksekusi dengan cara yang standar.”

Ini sangat menyentuh sekali menurut saya karena ada pengikutnya yang mengatakan bahwa Kartosoewirjo kebal peluru sebab memiliki sebilah keris dan pedang semacam ajimat. Tetapi itu dimentahkan oleh Sarjono Kartosoewirjo yang sebelumnya saya sempat khawatir reaksi keluarga yang akan marah. Cara yang sangat dewasa sekali untuk menyikapi hal ini.  Dan ini perlu diketahui publik agar tidak hilang begitu saja tertelan sejarah. Termasuk cerita Kahar Muzakkar yang katanya masih hidup. Saya pernah bertemu dengan seorang kyai yang mengaku sebagai Kahar Muzakkar. Tetapi setelah saya kejar dengan pertanyaan usia berapa dijawab secara filosofis. Menariknya, Aziz Kahar Muzakkar, anaknya Kahar Muzakkar dia mengatakan dengan jelas bahwa ayahnya sudah meninggal. Tetapi yang namanya pengikut fanatik adalah biasa mengatakan Kartosoewirjo masih hidip. Dengan adanya  ini menjadi terbantahkan.

Pada waktu itu kita sampaikan juga bahwa umat Islam dalam perjalanannya ada yang namanya Piagam Jakarta. Dan itu merupakan tahapan sejarah yang sah hasil dari panitia persiapan kemerdekaan oleh sembilan orang termasuk Soekarno-Hatta, KH. Abdul Wahid Hasyim  yang menandatangani.  Kemudian apa yang menjadi konsensus nasional ketujuh kata itu dicabut pada 18 Agustus 1945. Saya kira ini adalah givensejarah yang seharusnya terjadi di Indonesia dan mungkin itu memang yang terbaik bagi Indonesia. sekalipun selalu saja ada pihak yang kecewa dengan konsensus nasional itu. Dan setelahnya ada pihak-pihak yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi yang lain. Ini adalah normal dalm perjalanan sejarah. Di AS sendiri juga pernah ada gerakan separatis bahkan ada perang besar antara Utara dan Selatan pada zaman Abraham Linclon.

Saya melihat penemuan foto ini adalah suatu kebetulan yang memang sudah menjadi nasib saya. Karena kalau mau beli juga tidak ada. Saya didatangi untuk diperlihatkan dan rupanya suah ada beberapa pihak yang ingin membeli foto-foto ini. Jadi sanadnya cukup jelas. Siapa yang memotret? Yang memotret menurut saya adalah tentara. Tetapi bagaiman bisa keluar dari arsip? Kemungkinan besar karena foto ini telalu sensitif sehingga dipegang oleh perorangan. Dan mungkin perorangan inilah yang jatuh ke mana-mana. Karena foto-foto Kartosoewirjo dalam arsip nasional termasuk yang terkategori tertutup. Tetapi sampai kapan kita akan menutup-nutupi ini? Menurut saya akan lebih bagus bila kita mendiskusikannya secara terbuka.  Foto ini memang punya pengaruh besar yang bisa menjelaskan sendiri mewakili seribu kata.

Waktu Proklamasi tanpa ada fotonya Frans Mendur bisa jadi jejak proklamasi tidak ada. Sebenarnya ada sekitar 12 jepretan waktu itu karya kakak-beradik Alex&Frans Mendur. Hanya, hasil jepretan Alex Mendur berhasil dihancurkan oleh tentara Jepang tersisa jepretan Frans Mendur yang berhasil dia sembunyikan. Barulah 6 bulan setelah merdeka, karya-karya jepretan Frans Mendur dipublikasikan di Majalah Merdeka untuk pertama kalinya. Tanpa foto itu sulit untuk bisa mengatakan pernah ada yang namanya proklamasi kemerdekaan. Begitu juga teks Proklamasi asli tulisan tangan Bung Karno nyaris hilang kalau tidak diselamatkan oleh seorang wartawan, BM Diah dari tempat sampah. Mengetahui hal ini menjadi tidak mengherankan ikhwal di mana teks asli Supersemar.

Nah, memang ada pepatah yang mengatakan, “History is always written by the winning general”, sejarah selalu ditulis oleh Jendral yang menang.  Di semua buku-buku Belanda terbitan pada 1940-1950-an para pejuang kemerdekaan disebut dengan ekstrimis, teroris. Jadi perspektif dalam melihat sejarah adalah sangat menentukan. Sejarah menjadi sesuatu yang subyektif. Dalam hal ini juga Kartosoewirjo disebut sebagai pemberontak karena dia kalah, lain halnya kalau misalnya dia menang. Termasuk Pak Harto menyebut dengan G30S-PKI karena PKI kalah. Lain lagi ceritanya misalnya PKI yang menang. Jadi, sejarah selalu ditulis oleh orang yang menang.

Saya sebelumnya agak khawatir juga akan dampak dari buku ini, ternyata sejauh ini positif. Masih adakah foto-foto yang lain? Itu selain foto, setelah peluncuran buku saya banyak mendapat informasi. Misalnya, siapa dokter yang memeriksa dalam eksekusi Kartosoewirjo? Ternyat dia dokter Gerard. Jadi ada seorang dokter terkenal yang mengaku bahwa dialah yang memeriksa Kartosoewirjo sebelum dan setelah dieksekusi. Saya undang dia pada hari peluncuran buku tetapi dia tidak datang. Belakangan, ini menjadi kajian kalangan Ikatan Sejarah Kedokteran Indonesia. Dan mereka melihat ternyata bukan orang yang mengaku ini yang memeriksa Kartosoewirjo tetapi dokter lain. Say sudah berbicara dengan istrinya dan dokter ini sudah meninggal. Dikatakan oleh istrinya dan kawan-kawannya, dokter ini dijemput subuh menuju ke Tanjung Priok dan langsung memasuki kapal dan di dalam situlah dia memeriksa Kartosoewrijo. Kemudian ada juga eksekutornya yang masih hidup, tetapi dia belum mau saya temui. Jadi, Banyak sekali informasi-informasi lain terkait Kartosoewirjo yang saya dapatkan.

Lalu, saya mendapatkan foto dari sumber berbeda termasuk foto-foto sejarah asli lainnya seperti Kongres Rakyat tahun 1955 yang belum terpublikasi yang waktu ketuanya adalah H.M. Hanafi dan D.N. Aidit. Ada lagi foto asli pengikut-pengikut Kartosoewirjo yang berbondong-bondong ditangkap atau menyerahkan diri. Lalu ada juga foto pasukan TII lengkap dengan masing-masing namanya sekitar 100-an lembar. Dan ada juga foto keluarga Kartosoewirjo di Cepu tahun 1937 yang keluarga mereka sendiri tidak punya.

Saya pikir banyak tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Tan Malaka yang kita tidak tahu dengan jelas rimbanya. Orang-orang ini lepas dari perspektif lain yang menilainya mereka punya andil dalam proses pendirian RI. Dan orang-orang ini menunjukkan bahwa RI didirikan oleh banyak tokoh dari banyak latarbelakang. Selanjutnya, gerakan perlawanan setelah tertangkapnya Kartosoewirjo masih ada. Kajian berikutnya yang menarik ada banyak perpecahan-perpecahan dalam tubuh NII, ada KW-KW (Komando Wilayah) dengan beberapa tokoh-tokoh yang berbeda. Ada juga yang berhasil direkrut oleh kalngan inteljen. Pada 1981 ada misalnya pembajakan pesawat Garuda oleh kelompok yang juga dikaitkan dengan NII. Sampai sekarang saya kira masih ada dan ini harus diselesaikan oleh kita sebagai bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Kyai, Pancasila harus kita terima, tempat kita untuk kembali dan tempat titik temu semua kelompok.

Masih banyak bagian dari peristiwa-peristiwa lain yang belum terungkap jelas. Saya kira itu karena sensifitas dan atau mungkin karena kita yang tidak menghargai sejarah. Seperti kasus Rawa Gede yaitu pembantaian para petani di Karawang, Jabar tahun  1947. Sekarang ada beberapa kawan-kawan yang berusaha membawa ini ke pengadilan di Belanda dan menang. Akhirnya, para janda yang menjadi korban peristiwa Rawa Gede mendapat kompensasi dari Pemerintah Belanda. Sampai hari ini negara satu-satunya yang belum mengakui kemeredekaan RI pada 17 Agustus 1945 hanyalah Belanda. Belanda hanya mengakui pada 27 Desember 1949 sesuai dengan Perjanjian KMB. Saya dan beberapa kawan-kawan ke Belanda ingin agar Belanda mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Karena kalau mereka mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, apa yang dilakukan oleh Belanda sepanjang 1945-1949 yaitu agresi militer adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Dan ini sekarang sedang diusahakan dibawa ke Belanda karena di situ ada pengadilan internasional court of justice. Kalau Belanda mengakui ini, kita akan mendapatkan kompensasi. Jadi, ini adalah sisi lain dari sejarah kita yang sebenarnya masih hidup. Kalau pemerintah kita sadar sejarah semestinya ini bisa dipakai untuk alat berdiplomasi dengan Belanda. Termasuk banyak sekali kekayaan-kekayaan intelektual kita seperti manuskrip-manuskrip Ronggowarsito yang dibawa ke Belanda. Seharusnya, pemerintah memintanya kembali.

Soal empat permintaan jelang eksekusi benar sekali dan yang satu-satunya dikabulkan adalah pertemuan terakhir dengan keluarga dan makan siang bersama. Lokasinya itu di depan Gambir, mungkin sekarang markas Kostrad. Kemudian ada yang menarik lagi soal busana Ibu Dewi Kalsum yang tidak memakai jilbab. Apakah di masa lalu memang seperti itu, kalau pengikutnya melihat akan menjadi persoalan tersendiri. Untuk fragmen atau kemungkinan bagian foto yang hilang, asumsi saya ada. Tetapi memang yang saya dapatkan hanya 81 foto lembar ini. Memang ada satu foto gambar proses penguburan Kartosoewrijo yang saya tidak punya tetapi ada di Arsip Nasional.

Yang juga saya senang tanggapan dari keluarga Kartosoewirjo yang mengatakan ekseksinya standar. Ada kesadaran sampai membakar semua bekas-bekas artinya ada kekhawatiran untuk dikultuskan. Memang 2 tahun setelah eksekusi pada 1964 keluarga dikasih semacam surat yang memberitahukan bahwa makamnya di Pulau Ubi, tetapi keluarga tidak percaya. Yang menarik lagi dari foto ini, beberapa fotografer profesional membuktikan bahwa kertas foto-foto ini asli pada zaman 1960-an. Adapun peristiwa menangis saya mendengar dan saya mempercayainya. Saya pikir  itu hal yang manusiawi.  Yang jelas, di lingkungan keluarga, ketika ibunya masih ada selalu mengundang anak-anaknya untuk berkumpul pada setiap 5 September, makan bersama dan mendoakan Kartosoewirjo.

Bagaimana dengan para pengikutnya sekarang? Ini tugas pemerintah. Menurut saya kita harus melangkah ke depan. Harus ada semacam rekonsiliasi dengan semua pihak yang kanan maupun yang kiri. Dan salah satunya kita harus mulai berani membicarakan apa adanya. Termasuk ketokohan dia di masa lalu. Kartosoewirjo dulunya juga seorang pejuang, pelaku sumpah pemuda, tokoh politik yang sangat disegani dan sebagainya. Sisi ini menurut saya akan membuat para pengikutnya Kartosoewirjo merasa dihargai. Ini yang selama ini dipenjara oleh sejarah kita. Seolah-olah semua jalan hidupnya adalah hitam. Kita harus melihat ini secara lebih adil. Terimakasih.

Dr. H. Noor Achmad, MA

Saya sedikit saja. Dari diskusi ini ada yang menarik untuk dikembangkan. Kalau tadi saya sempat menduga dari inteljen ternyata bukan. Yaitu sumber penting sekali untuk diungkapkan. Karena foto bisa berbicara sendiri, memantik simpati dan antipati serta mempengaruhi sugesti orang yang melihat. Dengan demikian, apakah yang memberikan foto ini punya niatan yang bagus atau sebaliknya. Kalau sumbernya jelas kita bisa menyampaikan ke publik tujuan yang sebenarnya. Karena sejarah Kartosoewirjo menjadi penting apakah dia sebagai seorang yang sakit hati atau sebenarnya seorang pahlawan ideologis. Saya menduga bisa keduanya. Ini pekerjaan berat selanjutnya bagi Pak Fadli Zon. Kalau nanti ada buku lagi jilid II silahkan dibedah di (kampus) sini. Terimakasih.

Rukardi

Memang, permintaan terakhir Kartosoewirjo jauh-jauh hari sebelum dieksekusi masih menjadi kontroversi. Konon Kartosoewrijo pernah meminta ampun pada Soekarno tetapi ini dibantah oleh Kartosoewirjo dan anak-anaknya. Kemudian mendekati eksekusi ada permintaan dari pihak Kartosoewrijo yang diajukan ke pengadilan militer. Di antaranya adalah Kartosoewirjo minta didampingi oleh salah seorang anggota DI/TII pada saat eksekusi, tetapi ditolak. Minta didampingi oleh keluarga juga ditolak. Minta dimakamkan di Malambong itupun ditolak. Satu-satunya yang dikabulkan oleh militer adalah dipertemukan dengan keluarga menjelang eksekusi.

Soal keaslian sumber, memang kalau dilihat dari sekian banyak foto ada 81 lembar dan itu bercerita dengan runtut sangat muskil kalau itu foto rekayasa. Bisa dikatakan foto-foto itu 90% foto asli. Hanya, persoalannya adalah ada tidak fragmen-fragmen yang dihilangkan? Ini kan terkait dengan tujuan pembuatan foto. Apakah murni untuk dokumentasi militer sebagaimana standarnya militer ataukah ini foto propaganda yang memang ada beberapa hal yang harus dihapus. Apalagi Pak Fadli Zon juga bercerita di Arsip Nasional (ANRI) hanya ada 20-an lembar foto. Saya juga sudah menyinggung tidak adanya foto yang menampilkan momen menangisnya Pak Kartosoewrijo dan Ibu Dewi Siti Kalsum. Ini yang menurut saya perlu dicari tahu.

Soal dampak psikologis saya sepakat dengan Pak Rektor. Foto ini bisa ditanggapi beragam oleh apresian. Tadi diceritakan bisa menimbulkan sikap antipati atau justru sebaliknya menimbulkan semangat baru di kalangan ekstrim kanan. Terlebih sampai saat ini rentetan pengikut Kartosoewirjo belum selesai. Karena memang Kartosewirjo bisa dianggap sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Meskipun sudah dieksekusi 50 tahun yang lalu, faktanya pemikiran, cita-cita dan paham Kartosoewirjo masih hidup. Bagi kita yang berpaham kebangsaan tentu saja ini menjadi sesuatu yang berbahaya. Bagaimana cara menyelesaikan para pengikut yang notabene masih hidup sampai sekarang ini. Ini sama halnya dengan kasus 1965 yang sampai sekarang masih belum slesai. Barangkali itu dulu terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun