Mohon tunggu...
Anfaul Umam
Anfaul Umam Mohon Tunggu... lainnya -

Korlap LPPI (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Indonesia) Semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bedah Buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo”

5 Mei 2013   18:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Fadli Zon, SS, M.Sc (Penulis Buku Hari Terakhir Kartosoewirjo) – Dr. H. Noor Achmad, MA (Rektor Unwahas Semarang)- Rukardi (Pengamat Sejarah)

Kerjasama FISIP Unwahas dengan Kabar Semarang.com (Unwahas, 24 April 2013. Pukul 10.45 – 13.15 WIB).

Artikel berikut merupakan rekaman tulis dari paparan para narasumber. Perlu diketahui, artikel  ini bukan bermaksud mewakili semua perkataan narasumber melainkan hanya inisiatif pribadi untuk berbagi pengetahan. Semoga bermanfaat.

Fadli Zon, SS, M.Sc

Asslamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Suatu kebanggan bagi saya diundang di kampus Unwahas Semarang. Saya terkesan sekali dengan tagline Unwahas, menciptakan intelektualitas yang berkarakter. Julien Benda pernah mengatakan salah satu permasalahan di Indonesia adalah the betrayal of the intellectuals atau pengkhianatan intelektual. Karakter inilah yang sekarang menjadi masalah di Indonesia. Ada pepatah yang mengatakan, kalau kita kehilangan harta kita tidak kehilangan apa-apa karena harta bisa dicari, kalau kita kehilangan kesehatan kita kehilangan sesuatu karena kesehatan itu penting, tetapi kalau kita kehilangan karakter kita kehilangan semuanya, if we lost the character we lost everything.  Jadi saya ucapkan selamat kepada Pak Rektor atas moto menciptakan intelektual berkarakter yang menurut saya sangat pas dijadikan moto kampus.

Atas sambutan buku ini saya mendapat undangan dari banyak kampus untuk membedah buku ini. Bedah buku yang pertama sekaligus peluncuran dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang kedua di Gedung Indonesia Menggugat di Bandung, yang ketiga di UI di Fakultas Ilmu Budaya, dan keempat yang sekarang ini di Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Kenapa buku Kartosoewirjo dan kenapa sosok ini perlu diangkat? Saya adalah kolektor buku dan lain-lain. Pada 2010 saya ditawari dokumen foto asli yang dibuktikan dengan keterangan foto (caption) berupa tulisan ketik mesin ketik manual, ada satu bendel sebanyak 81 foto, yang ketika itu akan dibeli oleh orang Jerman dan akan dibawa ke luar negeri. Si penjual yang juga seorang kolektor terlebih dahulu menawarkan kepada saya karena saya punya perpustakaan. Diserahkan kepada saya karena dia pikir kalau  tetap di sini di Indonesia akan banyak manfaatnya.

Sejak saat itu saya menjadi beban, mau saya apakan foto-foto ini karena merupakan foto-foto asli. Akhirnya saya melakukan sedikit riset tentang Kartosoewirjo antara lain melalui buku yang ditulis oleh Pinardi tahun 1964 yang didasarkan atas hasil wawancara langsung dengan Kartosoewirjo di tahanan sebelum dieksekusi. Buku itu ditulis jilid pertama dan tidak pernah ada jilid keduanya. Hal ini menurut keluarga Kartosoewirjo karena tentara kurang berkenan di buku itu dilampirkan qonun azasi dan dokumen-dokumen lainnya tentang deklarasi NII. Yang menarik adalah foto ini menceritakan dengan sendirinya bagaimana peristiwa eksekusi berlangsung.

Saya menemukan data bahwa eksekusi dilaksanakan pada September 1962. Tetapi saya tidak tahu persis apakah 5 September atau 12 September. Di dalam dokumen tentara ditulis 12 September, tetapi memori keluarga mencatat pertemuan terakhir dengan Kartosoewirjo pada 5 September di Jakarta. Saya memperlihatkan foto-foto ini kepada sejumlah sejarahwan dan mereka sangat tercengang bagaimana foto ini bisa ada. Ini adalah foto eksekusi terhadap politisi yang pertama yang pernah ada dan terekam secara rinci. Kalau dilihat di foto itu ada momen di mana Kartosoewirjo makan bersama keluarga dan di situ ada istrinya Umi Kalsum dan ada empat orang anaknya. Ketika itu anaknya ada tujuh orang dari kesemuanya dua belas orang. Adapun sekarang yang masih hidup tinggal empat orang.

Ketika seminggu menjelang peluncuran buku ini, saya mengundang salah seorang anak Kartosoewirjo yang bernama Sarjono Kartosoewirjo untuk melihat foto-foto aslinya. Dia sangat tercengang bagaimana foto ini ada, dia belum pernah melihat sebelumnya. Kemudian dia minta dua dari foto-foto itu discan untuk diperlihatkan dan dibawa keliling menemui keluarga-keluarga lainnya di Malangbong, Garut. Mereka juga sangat tercengang sehingga ada sekitar dua puluh orang dari keluarga Kartosoewirjo memutuskan untuk datang dalam acara peluncuran buku di Jakarta. Selain itu, datang juga orang-orag dari jaringan pengikut Kartosoewirjo kurang lebih sekitar 100-an orang. Saya undang juga waktu itu beberapa sejarawan seperti Peter Carey, Asvi Warman Adam, Rusdi Husein dan lain-lain. Ada juga yang hadir dari pihak Arsip Nasional, BIN dan Kepolisian. Dari undangan yang kita perkirakan 200 orang yang hadir sekitar 800-an orang.

Ada semacam antusiasme, ingin tahu bagaimana sebenarnya sosok ini. Walau bagaimanapun sosok Kartosoewirjo memberikan inspirasi pada gerakan-gerakan yang ada bahkan sampai saat ini apakah yang disebut dengan Jamah Islamiyah, NII dan lain sebagainya. Namun, kita harus tetap adil untuk menempatkan sosok Kartosoewirjo sebagai tokoh yang punya kelebihan dan kekurangan. Sosok Kartosoewirjo sebagai murid dari H.O.S Tjokroaminoto bukanlah orang sembarangan. Menjadi salah satu murid kesayangan H.O.S Tjokroaminoto, dia berangkat dari keluarga yang sebenarnya abangan, asli dari Cepu, Blora, Jawa Tengah. Dia pernah menjadi ketua Jong Java cabang Surabaya, termasuk pernah menjadi ketua umum Jong Islamieten Bond dan dia adalah bagian dari pelaku sumpah pemuda 1928. Jadi kalau kita melihat dokumentasi Kongres Pemuda 1928 kita akan menemukan termasuk di dalamnya nama Kartosoewirjo.

Selain itu ketika itu dia jadi sekretaris dari H.O.S Tjokroaminoto dan berkawan dengan Bung karno. Di dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rayat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams untuk menunjukkan kedekatan Bung Karno dengan Kartosoewirjo, Bung Karno mengatakan bahwa “sejak tahun 1918 saya sudah berkawan akrab dengan Kartosoewirjo, saya makan bersama, tidur bersama bahkan mimpi bersama.” Dari sisi pendidikan, Kartosoewirjo terbilang cukup tinggi untuk kalangan ketika itu. Pendidikan terakhir dia adalah Mahasiswa Dokter Jawa (Nederlands Indische Artsen School) yang merupakan sekolah elit waktu itu. Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah karena terlibat dalam aktivitas politik. Selian aktivitas politik di Jong Java dan Islamieten Bond dia juga terlibat dalam aktivitas melawan penjajah Belanda.

Salah satu trigger dia dikeluarkan dari NIS adalah ditemukan di dalam lacinya buku-buku komunis. Waktu itu pamannya adalah seorang intelektual kiri, Mas Marco Kartodikromo yang menurut keluarga, Mas Marco memiliki buku Das Kapital karya Karl Marx tentang ekonomi. Hanya, masih belum diketahui dengan pasti buku apa sebenarnya yang ditemukan di laci Kartosoewirjo sehingga dia dikeluarkan dari NIS. Setelah diberhentikan dari NIS dia jadi sekretaris H.O.S Tjokroaminoto dan menjabat Wakil Ketua Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan banyak berkeliling ke daerah-daerah. Termasuk pada zaman pendudukan Jepang ketika setelah 4 serangkai yaitu Bung Karno, Moh. Hatta, Kyai Haji Mas Mansur dan Ki Hajar Dewantoro, Jepang mendirikan organisasi Jawa Hokokai yang sebenarnya dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di dalamnya ada Bung Karno dan Kartosoewirjo. Jadi jelas Katosoewirjo mempunyai andil dalam usaha perjuangan kemerdekaan. Dan bahkan di Kabinet I dia pernah menjabat Wakil Perdana Menteri namun dia juga ikut mendirikan Masyumi yang sebelumnya bernama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Di situlah bergabung kekuatan politik Islam menjelang kemerdekaan.

Apakah aspirasi Islam sudah lama ada dalam diri Kartosoewirjo? Menurut catatan saya memang sudah lama. Tetapi Kartosoewirjo bukanlah sosok muslim yang ekstrim bahkan cenderung moderat. Dia tidak pernah naik haji, belajar Islam dari beberapa kyai, antara lain dari Tasikmalaya ada Kyai Taujiri dan beberapa kyai lain yang dianggap bukan kyai-kyai top seperti tokoh-tokoh teras ormas kala itu. Aspirasi Islam jelas ada pada Kartosoewirjo dan menurut saya memang diwariskan oleh H.O.S Tjokroaminoto yang merupakan gurunya. Saya punya buku (1895) karya seorang penulis Belanda dan ada tanda tangan asli Kartosoewirjo di dalamnya, ini menunjukkan bahwa dia bukanlah orang sembarangan dari kalangan intelektual. Selain itu digambarkan oleh banyak kalangan waktu itu dia seoarang orator yang cukup ulung dan juga seorang pemikir. Walaupun pada umumnya di zaman itu rata-rata politisi adalah seorang pemikir, orator dan intelektual. Contoh lain adalah Wahid Hasyim, Aidit dan M. Natsir. Berbeda halnya dengan politisi sekarang yang jarang sekali ada seoarang pemikir.

Kembali pada sosok Kartosoewirjo, mengapa mendeklarasikan NII, ini masih menjadi kajian yang menarik. Menurut saya - dalam buku ini saya kan tidak banyak menulis tetapi lebih kepada pendekatan visual history, ada artefak, foto, kemudian kita kasih pengantar dan kita sajikan menjadi fakta apa adanya -  kalau kita lihat setelah Perjanjian Linggarjati dan Renville wilayah kekuasaan Indonesia dibagi-dibagi sehingga menjadi kecil. Perjanjian Renville berlangsung semasa kepemimpinan Kabinet Amir Syarifuddin, dia orang kiri, kemudian jatuh karena dua partai menarik dukungan yaitu PNI dan Masyumi. Selanjutnya Bung Karno menunjuk Bung Hatta, Wapres sekaligus pemimpin pemerintahan (Perdana Menteri). Kejadian ini membuat kelompok kiri marah. Saya kira hal ini ada kaitannya dengan motif pemberontakan Muso. Pemberontakan Muso (PKI) berawal dari sini setelah kejatuhan Kabinet Amir Syarifuddin.

Bung Hatta membuat program ReRa (Reorganisasi dan Rasonalisasi) di tubuh militer. Di mana dalam program ini banyak orang-orang militer kiri yang disingkirkan. Lalu kelompok kiri membuat organisasi yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). FDR dipimpin langsung oleh Amir Syarifuddin baru kemudian Muso datang. Muso datang dari Moscow melalui Ceko mampir di Mesir kemudian sampai di Bukittinggi baru di Batavia dan akhirnya memimpin pemberontakan PKI. Dan kalau kita lihat ketika  pemberontakan PKI 1948 yang banyak menjadi korban justru dari kalangan NU yaitu pimpinan-pimpinan Ponpes. Banyak sekali tokoh-tokoh kyai dan dari pemerintahan yang menjadi korban pembantaian pemberontakan PKI Muso. Saya ceritakan ini karena ini adalah paralel sejarah yang terjadi waktu itu.

Sementara kelompok Kartosoewirjo yang mana dia sendiri merupakan pemimpin dua laskar, Laskar Hizbullah dan Sabilillah, kedua laskar ini merupakan bagian dari tentara perjuangan sewaktu organisasi militer negara belum stabil. Nah, ketika setelah perjanjian Renville Jawa Barat sudah bukan lagi menjadi bagian wilayah NKRI. Banyak yang tidak setuju dan marah, bahkan di antara para pemimpin sendiri banyak yang berbeda pendapat. Sebagian pemimpin memilih untuk tetap berkompromi dengan jalan perundingan seperti Soekarno, Hatta dan kawan-kawan. Tetapi ada juga yang memilih jalan militer seperti Tan Malaka, K.H. Zainal Mustofa dan kelompok-kelompok fisik termasuk Jendral Soedirman. Kartosoewirjo sendiri masuk kedalam kelompk ke-2 yaitu ingin merdeka 100% dan tidak  mau berkolaborasi dengan Belanda. Kalau Soekarno-Hatta mereka melihat yang terpenting bagaimana ada pengakuan  kedaulatan terhadap Indonesia.

Kita sudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 dan secara defacto Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Tetapi, penyerahan Jepang secara resmi (dejure) kepada sekutu pada 02 September 1945. Sehingga di antara 15 Agustus 1945 sampai 02 September 1945 ada vacuum of power. Dalam proses penyerahan kekuasaan Jepang atas Indonesia kepada Belanda (sekutu) di Jepang terdapat dua pendapat. Pendapat pertama dari Angkatan Darat Jepang yang ingin menyerahkan sepenuhnya kekuasaan kepada Belanda dan pendapat kedua dari Angkatan Laut seperti Laksamana Maeda yang ingin Indonesia merdeka. Jadi sebenarnya proklmasi Indonesia adalah proklamasi yang sah karena dilakukan pada saat vacuum of power. Tidak ada kekuasaan karena Jepang sudah menyerah dan Belanda-Inggris baru datang di Indonesia pada September 1945. Sehingga tahun 1945-1949 adalah proses perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Ini setting sejarah kala itu.

Nah, terjadi banyak perbedaan pendapat di antara para pemimpin di Indonesia saat itu. Termasuk para pemimpin dari beragam ideologi. Ideologi nasionalis, kiri dan Islam. Tiga ideologi ini adalah yang dominan yang belakangan Bung Karno berusaha untuk menyatukan ketiga ideologi ini melalui Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Kartosoewirjo temasuk yang melihat Perjanjian Renville ini sangat merugikan. Karena tentara harus melakukan hijrah dari Jabar ke Jateng pada 1948. Kemudian ada long march tentara dari divisi Siliwangi berjalan kaki ke Jateng. Ini mengapa pada saat operasi penumpasan pemberontakan komunis di Solo dan Madiun dapat berlangsung secara cepat karena tentara Siliwangi sudah berada di Jateng.

Ketika itu Kartosoewirjo mengatakan dia akan menduduki secara fisik wilayah Jabar. Jadi ketika terjadi kekosongan, Kartosoewirjo yang menguasai Jabar bersama Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah. Dan ini diketahui oleh Nasution dan tokoh-tokoh dari kalangan Masyumi. Nah, ketika tentara Siliwangi kembali long march ke Jabar tentu terjadi bentrok. Kalau kita menonton Film “Mereka Kembali” kelompok Kartosoewirjo digambarkan sebagai gerombolan perampok dan perusak walaupun memang ada juga oknumknya. Jadi terjadi apa yang disebut “Perang Segitiga” sebetulnya karena tidak ada settlement antara Pasukan Siliwangi, Pasukan Republik dan Pasukan Pimpinan Kartosoewirjo. Kartosowirjo juga merasa punya jasa mempertahankan wilayah Jabar. Tetapi tidak pernah diajak bicara.

Hal krusialnya terutama terjadi ketika Perjanjian Roem-Roijen. Kita ketahui Belanda berusaha mengambil alih lagi Indonesia dengan Agresi Militer Belanda ke-2 pada 19 Desember 1948 yaitu pendudukan di Jogja. Ketika itu Soekarno-Hatta sempat memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan PDRI (Pemerintah Darurat Indonesia) di Bukittinggi. Ini diperlukan karena waktu itu di New York, Belanda sudah mengklaim yang mana Indonesia belum diakui oleh PBB. Jadi waktu itu hanya ada 5 orang perwakilan RI di NY yaitu LN Palar, Soemitro Djojohadikusumo, Charles Tambu, Soedjatmoko dan Soedarpo Sastrosatomo, berunding melawan Belanda yang dipimpin oleh Van Roijen berunding dengan Roem.

Van Roijen mengatakan RI sudah habis. Ibu kota di Jogjakarta sudah dikuasai dan pemimpinnya Soekarno-Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka berikut Sutan Sjahrir dan KH. Agus Salim ditangkap. Untunglah sebelum itu ada mandat kepada Syafruddin untuk mendirikan PDRI di Bukittinggi. Dan ada perwakilan dari AURI melalui siaran radio yang mengirimkan berita ke internasional Indonesia masih ada. Dan ini dipakai oleh perwakilan Indonesia di NY, mengatakan Indonesia masih ada. Ada yang namanya Emergency Government, PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi. Dan inilah yang membuat Belanda kalah dalam berdiplomasi. Selama pemerintahan PDRI, di Sumatera dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, di Jawa dipimpin oleh Jendral Soedirman. Termasuk ketika memimpin serangan 6 jam di Jogjakarta untuk membuktikan bahwa Indonesia masih ada.

Sampailah pada perjanjian Roem-Rojian 7 Mei 1949. Ini adalah titik krusial karena hampir terjadi perpecahan antara para pemimpin. Di antaranya Syafruddin Prawiranegara tidak pernah diajak bicara soal adanya perjanjian ini. Sehingga Syafruddin dan orang-orang Kabinetnya mau memboikot, tidak mengakui Soekarno-Hatta karena keduanya adalah tawanan perang dan tidak bisa menjadi perwakilan perundingan. Jadi waktu itu ada dua kelompok besar, Soekarno-Hatta di Bangka dan kelompok Syafruddin-PDRI di Bukittinggi. Jendral Soedirman juga termasuk yang menolak Soekarno-Hatta. Barulah setelah perjanjian Roem-Rojian pada Juni 1949 dikirim tiga orang ke Bukittinggi untuk membujuk Syafruddin kembali ke jogja. Yang ketiga orang itu adalah Muhammad Natsir, Johannes Leimena dan dr. Abdul Halim dan akhirnya berhasil membujuk kelompok Syafruddin-PDRI untuk kembali ke Jogjakarta.  Kemudian orang yang ditunjuk untuk membujuk Jendral Soedirman agar kembali dari gerilya dan datang ke Jogjakarta adalah Letkol Soeharto ditemani Rosihan Anwar sebagai saksi hidup yang merupakan seorang wartawan.

Akhirnya terjadilah pertemuan pada tanggal 13 Juli 1949 di Jogjakarta, rekonsiliasi tokoh-tokoh pemimpin. Yang menarik adalah bagaimana dengan  wilayah Jawa Barat? Jabar dalam hal ini Kartosoewirjo tidak pernah diajak berunding. Sehingga menurut hipotesisi saya salah satu trigger deklarasi NII oleh Kartosoewirjo karena tidak ada usaha dari Soekarno-Hatta waktu itu untuk mengajak berunding Kartosoewirjo dan kelompoknya yang secara defacto menguasai Jabar. Sehingga pada 07 Agustus 1949 dideklarasikanlah Negara Islam Indonesia (NII) oleh Kartosoewirjo. Sehingga terjadi pertempuran yang cukup panjang antara 1949-1962. Selama 13 tahun kelompok ini dihadang oleh tentara Indonesia. Kalau ada usaha gerilya berhasil bertahan selama 13 tahun itu kan menandakan mendapat dukungan dari rakyat.

Barulah setelah Operasi Pagar Betis yang dipimpin oleh Kolonel Ibrahim Aji, Kartosoewirjo tertangkap berikut pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang jumlahnya cukup banyak. Dalam operasi ini Kartosoewirjo tertembak bersarang tiga peluru dalam tubuhnya dan diketahui dia sakit gula sehingga oleh dokter disembuhkan dan kemudian dibawa ke Majelis Pengadilan pada bulan Agustus didakwa dengan tiga dakwaan. Perlu saya koreksi yang pertama merongrong pemerintahan yang sah, yang kedua ingin keluar dari NKRI atau makar, dan yang ketiga mau membunuh Presiden Soekarno dalam peristiwa Idul Adha. Yang diakui oleh Kartosoewirjo hanya yang pertama, dia mau menjatuhkan pemerintahan tapi dia tidak mau makar ke luar dari NKRI dan dia tidak terlibat dalam peristiwa Idul Adha.

Jadi kita melihat sosok Kartosoewirjo ini sebagai sosok yanga ada putih, ada hitam, ada kelebihan dan ada kekurangan sebagaimana tokoh di Indonesia pada umumnya. Kalau kita lihat, dari foto-foto ini ada banyak hal yang memuat human interest. Yang pertama ternyata Kartosoewirjo adalah seorang perokok. Jadi sebelum dieksekusi dia merokok dulu. Ini perlu dikaji karena kalau menurut pandangan garis yang sekarang merokok dapat diharamkan. Yang menarik juga, jamnya adalah jam Rolex. Kita juga tidak melihat mukanya terlihat seperti orang ketakutan. Dia dengan tegar menghadap bertanggungjawab apa yang dia lakukan. Yang juga terungkap, makamnya Kartosoewirjo bukan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Makamnya adalah di Pulau Ubi, sekitar 3 km dari Pulau Onrust. Dulu Pulau Ubi disebut dengan Pulau Nyamuk. Karena banyak nyamuk penduduknya pindah ke pulau lain yang masih dalam gugusan Kepulauan Seribu sehingga kosong. Eksekusi dilakukan di situ. Termasuk  pada tahun 1964 dilaksanakan eksekusi terhadap pimpinan RMS, Soumokil. Baru pada 1980-an ketika pendirian Bandara Soetta di Tangerang, Banten, konon Pulau Ubi termasuk salah satu yang diambil pasirnya. Sehingga kita tidak pernah tahu sekarang jenazahnya Kartosoewirjo ada di mana. Ini adalah salah satu kisah pemimpin yang sedikit-banyak menginspirasi sebagian orang sampai sekarang. Sebagai pengantar itu dulu. Terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Dr. H. Noor Achmad, MA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Di sini ada banyak tokoh-tokoh muslim, di antaranya KH. Ubaidillah Shodaqoh yang sangat paham terkait perkembangan-perkembangan Islam di Indoensia dan saya kira nanti bisa melengkapi pemkiran-pemikiran yang sudah ada. Selain itu ada banyak intelektual lainnya.

Yang menarik dari yang disampaikan Pak Fadli, bukunya setebal ini dengan banyak berisi foto ekslusif yang tidak banyak orang bisa menemukannya. Hanya, saya agak curiga foto ini  dikeluarkan 50 tahun setelah kematian Kartosoewirjo. Dalam istilah inteljen, setelah 50 tahun berselang tidak ada masalah dokumentasi foto-foto disebarlusakan. Bahkan bebas mau diapakan seperti apa foto-foto itu tidak menjadi soal. Persoalan-persoalan lama yang sebelumnya dirahasiakan oleh inteljen setelah selang 50 tahun itu mau dibeberkan tidak apa-apa. Tapi, apakah ini kebetulan mau dibeberkan dan ketemu dengan orang pecinta barang-barang lama atau memang foto-foto ini sangat dirahasiakan?

Masalahnya zaman Soekarno dan Soeharto sejarah terbelenggu betul. Apalagi yang menyangkut Kartosoewirjo. Seandainya foto-foto ini diumumkan saat masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, Pak Fadli Zon bisa ditangkap sebab dianggap akan menimbulkan gejolak sosial. Alhamdulillah, sekarang tidak ada gejolak karena masyarakat beranggapan ini sudah biasa, tetapi menjadi luar biasa karena foto-foto ini baru dikeluarkan sekarang dari salah seorang yang memiliki sejarah di Indonesia. Sehingga dengan foto-foto ini terungkap meninggalnya di mana, seperti apa dan makamnya di mana. Sebab, ada yang mengatakan dari orang-orang DI/TII bahwa dia masih hidup dan itu menambah semangat mereka. Dengan foto ini jelas sekali Kartosoewirjo sudah meninggal. Jadi, terutama apakah ini semacam blessing in disguise dari rencana yang sengaja untuk dibeberkan setelah 50 tahun.

Kedua, tidak mungkin memang foto-foto ini dikeluarkan pada zaman pemerintahan Orla dan Orba. Berikutnya, ini kan foto-foto terakhir dari orang yang mempunyai sejarah besar di Indonsia. Saya sebenarnya menginnginkan apakah ada foto-foto yang menggambarkan saat Kartosoewirjo bergerilya. Jadi, Pak Fadli Zon masih berhutang tugas kepada kita untuk mencari fragmen foto-foto pada saat gerilya, barangkali ada.   Karena kecurigaan kami begini, sampai saat ini Jabar masih dianggap sebagai pusat NII/DI, termasuk di Pesantren Al Zaitun itu. Artinya bahwa pada saat itu Soekarno tidak segera menyelesaikan Jabar sehingga sejarah menjadi kacau. Kalau seandainya pada saat itu segera dislesaikan, Kartosoewrijo dan kelompoknya tidak akan menjadi masalah sehingga menjadi seperti yang sekarang ini.

Namun demikian, apa yang dilakukan Kartosoewirjo adalah sesuatu yang wajar. Menjadi kawan dekat Soekarno dan sama-sama berguru pada HOS Tjokroaminoto, pada saat merancang kemerdekaan dia tidak diikutkan.  Kenapa pada saat akan mencapai cita-cita bersama justru ditinggalkan. Mungkin pertama-tama adalah emosi Kartosoewirjo mengapa dia tidak diikutkan dalam proses persiapan kemerdekaan. Atau mungkin Soekarno sudah paham betul kekuatan Kartosoewirjo sehingga dipandang tidak perlu untuk diikutkan dalam proses persiapan kemerdekaan. Tapi menurut hemat kami kesalahan fatal Soekarno adalah dia tidak mengikutsertakan Kartosoewirjo dalam proses persiapan kemerdekaan sehingga mendirikan NII/ DI. Karena pada saat itu rencananya Kartoseowirjo akan mendirikan NII pada 14 Agutus 1945. Dia berkonsultasi dengan kyainya tetapi disarankan mundur dan tahu-tahu pada 17 Agustus 1945 sudah ada proklamasi Indonesia merdeka.

Akhirnya jelas Kartosoewirjo menjadi orang yang antara mau bergabung atau tetap bertahan. Saya kira potensi sakit hati terhadap Soekarno masih ada. Sehingga pada tahun 1949 saat Indonesia menghadapi banyak pesoalan dia berani mendirikan NII. Pada titik ini  kami menganggap kalau itu makar yang luar biasa. Kalau toh pada saat perjanjian Renville Indonesia mengalami vacuum of power, tetapi negara itu kan masih ada, proklamasi masih tetap berlaku. Sekalipun ada agresi militer Belanda I&II dan negara dibuat sempat tidak berdaya, bagaimanapun negara tetap sah sejak diproklamirkannya kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Yang kemudian kalau ada orang mendirikan negara berarti itu otomatis makar. Dan itu diakui sendiri oleh Kartosoewirjo.

Bangunan hukum bagaimana Indonesia didirikan saat itu ada tokoh nasionalis, komunis dan agamis. Tetapi, komunis ditinggalkan oleh Soekarno berikut kelompok yang terlalu kanan macam Kartosoewirjo. Saya kira sama, pemberontkan PKI di Madiun pada 1948 adalah bentuk iri hati dari kelmpok yang tidak dilibatkan dalam proses persiapan kemerdekaan. Persoalan akan menjadi berbeda  manakala sejak awal tokoh-tokoh itu dilibatkan. Nah, kami ingin menanggapi secara berbeda berbicara mengenai Kartosoewirjo berarti dalah kita berbicara mengenai bagaimana sejarah Indonesia didirikan dan bagaimana komitmen Indonesia didirikan.

Jadi banyak tokoh yang ingin mendirikan negara sendiri, termasuk KH. Abdul Wahid Hasyim yang pada saat itu ingin mendirikan negara berbasis Islam. Tetapi kemudian terjadi kompromi bersama. Umat Islam menyadari Indonesia adalah negara bhinneka. Itulah mengapa seringkali dikatakan Indonesia adalah hadiah terbesar umat Islam Indonesia. Dan hadiah terbesar dari umat Islam Indonesia itu terutama adalah dari NU yang kalau seandainya pada saat itu KH. Abdul Wahid Hasyim membangkang yang terjadi bisa jadi lebih dahsyat dari Kartosoewirjo. Menurut hemat kami keberadaan seperti Kartosoewirjo dan Muso adalah bagian dari sejarah berdirinya RI. Memang harus begitu adanya agar Indonesia bisa sepert ini. Saya kira begitu, terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Rukardi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Merasa terhormat duduk bersama dengan 2 doktor yang punya banyak reputasi baik nasional maupun internasional. Tadi Pak Fadli Zon sudah bicara banyak tentang Kartosoewirjo dari berbagai sudut pandang mulai dari profil pribadi hingga latarbelakang politik yang melingkupi kenapa Kartosoewirjo bisa memberontak. Maka saya hanya akan membahas ikhwal buku dari pak Fadli Zon. Sebagai sebuah karya sejarah ini bisa dikatakan sebagai varian baru. Selama ini kita mengenal sejarah ditulis secara konvensional, menggunakan kata-kata tertulis. Saya tidak menyebut ini buku yang pertama. Sebut saja misalnya karya foto yang dibukukan oleh salah seorang fotografer Belanda, karyanya juga bagian dari genre ini. Bahkan mungkin sketsa karya Henk Ngantung dalam pristiwa-peristiwa penting sejarah misalnya dia hadir dalam Perjanjian Linggarjati & Perjanjian Renville dan membuat sketsa adalah karya sejarah dengan genre visual juga.

Saya sepakat dengan Pak Noor, ini foto yang mengejutkan karena sudah bicara dengan sendirinya tanpa banyak dibumbui dengan kata-kata. Meminjam istilah Tempo, foto bisa berbicara menyamai seribu kata-kata. Dengan kekuatan foto-foto ini Pak Fadli Zon tidak perlu melakukan “semacam prosesi untuk menulis sejarah” yang disebut dengan metodologi. Dengan foto-foto ini siapapun orang yang selama ini banyak memperdebatkan ikhwal kematian Kartosoewirjo -yang misalnya pengikutnya beranggapan dan bahkan mengatakan sang imam masih hidup dengan kesaksian-kesaksian pernah melihat Kartosoewirjo di banyak tempat- keyakinan-keyakinan itu seperti dibunuh. Kartosoewirjo memang sudah mati pada 5 September 1962 di eksekusi di Pulau Ubi.

Kita melihat dengan jelas dari foto ini gambar yang sangat runtut. Mulai dari bagaimana permintaan terakhir Kartosoewirjo dikabulkan untuk bertemu dengan keluarga, bertemu dengan istri Dewi Siti Kalsum dan kelima anaknya yang kemudian mereka makan bersama. Nah, semua yang selama ini samar itu seperti dibuka. Kemudian foto-foto ini sudah banyak berbicara. Memang kekuatan foto ini ada kalanya melebihi kekuatan data-data tekstual. Dari foto kita bisa melihat suasana, bahkan melihat jiwa zaman dari peristiwa yang tersaji dalam foto. Kita tentu melihat contoh foto-foto yang menggambarkan jiwa zaman adalah karya Frans Mendur yang memotret peristiwa bersejarah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Dalam tiga angel yang diambil karena memang hanya memiliki tiga plat, harus berusaha disembunyikan agar tidak disita oleh tentara Jepang. Terlihat sekali suasana pada saat itu. Foto-foto itu bisa berbicara dan bahkan menjadi alat dilplomasi internasional RI.

Di luar negeri kita bisa melihat karya foto Perang Vietnam yang mendapatkan penghrgaan. Di situ digambarkan seorang polisi Vietnam yang menodongkan pistol di kepala seoarang gerilyawan Vietcong. Foto itu kemudian dimuat di berbagai media di AS. Dan di luar dugaan dari hanya selember foto bisa mempengaruhi opini publik AS. Mereka tidak menyangka perang di Vietnam sekejam itu. Maka mereka membentuk gerakan terutama dari kalangan anak-anak muda dan lahirlah “generasi bunga”, generasi yang menolak perang dan memperjuangkan kedamaian. Tetapi, meskipun punya kekuatan, foto tetaplah harus ditempatkan sebagai data sejarah yang harus dikritik. Saya belum melihat bagaimana Pak Fadli Zon -mungkin nanti bisa dijelaskan- belum menyebut sumber foto. Bagaimana proses mendapatkan foto beberapa kali disampaikan tetapi sejauh ini Pak Fadli Zon belum pernah menyebut sumber sebenarnya dari siapa foto ini. Saya tidak tahu apakah ini semacam kode entik antar-sesama kolektor tetapi saya harap dalam pertemuan kali ini Pak Fadli Zon mau membuka, karena ini penting, dalam metodologi sejarah asal-usul foto ini penting.

Sekilas kita percaya foto-foto ini, tetapi tanpa adanya sanad yang jelas kita tidak tahu. Ini bagian dari kritik sumber, metodologi sejarah. Tanpa itu karya ini secara metodologi belum memenuhi untuk tidak mengatakan cacat. Juga Soal kritik internalnya saya akan membandingkan apa yang ditulis Pak Fadli Zon yang menyebut Kartosoewirjo dalam peristiwa menjelang eksekusinya terlihat tegar termasuk keluarga yang menyertainya seperti yang tergambar di dalam foto-foto. Tapi dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo 1980-an, ibu Dewi cerita, bahwa pada saat Kartosoewirjo diminta menyebutkan semacam wejangan terakhir, dikatakannya bahwa mungkin perjuangan ini tidak akan terulang lagi sampai 100 tahun ke depan, itu ibu Dewi menangis dan Kartosoewirjo yang sebelumnya ingin terlihat tegar di hadapan keluarga juga ikut menangis. Ini yang perlu saya kritik di foto tidak menggambarkan sesuatu yang senyatanya. Inilah perlunya kritik menurut hemat saya.

Soal lokasi, masyarakat seperti disadarkan bahwa lokasi eksekusi dan makam Kartosoewirjo yang selama ini diyakini di Pulau Onrust, tetapi di Pulau Ubi sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru. Karena bebrapa hari menjelang eksekusi, keluarga didatangi oleh beberapa orang yang tidak diketahui dengan pasti apakah dari militer atau bukan, menyerahkan surat keterangan atau berita acara eksekusi. Dan di situ di surat berkop TNI jelas tercatat bahwa Kartosoewirjo akan dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Ubi. Mendapatkan informasi seperti itu keluarga berembug dan memutuskan untuk tidak berziarah ke Pulau Ubi dengan maksud mengantisipasi jebakan dari militer yang mungkin saja berkepentingan untuk mengukur sisa-sisa kekuatan pengikut Kartosoewirjo yang masih ada.

Dalam perjalanan waktu muncul informasi lain bahwa Kartosoewirjo dieksukusi di Pulau Onrust. Soal “penyesatan” informasi lain ini bisa ditelusuri dari cerita Alwi Shahab, seorang wartawan senior dan budayawan asli Betawi. Dia mendengar cerita dari Solichin Salam perihal lokasi itu. Alwi Shahab sangat percaya terhadap infomasi yang diberikan oleh Solichin Salam karena Solicihin Salam mengaku mendapatkan informsi itu langsung dari Presiden Soekarno. Terlebih pada saat itu Solichin Salam notabene pernah menulis buku tentang Bung Karno sehingga menjadi dekat. Kalau mislanya inforamasi dari Alwi Shahab ini betul berarti memang ada semacam upaya sistematis dari pemerintah untuk menyesatkan infomrasi itu. Ini bisa dipahami ke konteks bahwa pemerintah saat itu khawatir kalau makam itu diketahui oleh para pengikut Kartosoewirjo akan memunculkan semacam pengkultusan makam Kartosoewirjo dan menimbulkan semangat perlawanan.

Apapun yang ada dalam buku ini, kita patut mengapresiasi ikhtiar Pak Fadli Zon yang sudah berupaya menyelamatkan dokumen penting sejarah ini. Sebagai sebuah karya buku sejarah ini saya tidak tahu apakan nanti genre buku sejarah visual bisa manjadi semacam batu loncat, titik pijak penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai Kartosoewirjo. Dalam 50 tahun sejarah Kartosoewirjo dan DI/TII masih gelap. Buku ini akan melengkapi puzzle-puzzle sejarah tentang Kartosoewijo yang hilang. Barangkali itu. Terimakasih.

KH. Ubaidillah Shodaqoh (Pengasuh Ponpes. Al-Itqon, Semarang)

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Terimakasih atas pencerahan pemahaman tentang Kartosoewirjo yang diberikan oleh para narasumber dalam diskusi bedah buku ini. Sebab, bagaimanapun di Jawa Tengah ini ada beberapa Ponpes yang diisukan mengikuti Kartosoewirjo karena desas-desus politik dan fitnah. Maaf, termasuk bapak saya sendiri pernah diisukan demikian tetapi ketika tabayyun sama grunya yaitu Kyai Machrus semuanya sudah jelas apa-apa tentang Kartosuewirjo. Kami punya Ponpes namanya Al Watoniyah. Kami juga punya lagu khubbul waton minal iman.

Kemudian yang saya ambil dari para narasumber, bahwa memang sangat sulit sekali untuk memahamkan tentang keagamaan dengan kebangsaan. Benang merah antara keduanya memang sangat sulit. Sebagaimana kami saat ini menjelaskan bahwa Pancasila bisa diterima oleh agama dan negara bangsa absah menurut Al Qur’an dan Hadist. Itu merupakan penjelasan yang sangat panjang. Lain halnya dengan orang-orang yang memiliki paham fundamentalis yang hanya memilih Al Qur’an sebagai rujukan keagamaannya. Pada hal Kitab Kuning merupakan penafsiran dari Al Qur’an itu sendiri. Sehingga mereka dengan mudah merujuk bila Al Qur’an sudah beres.

Karena pemahaman Islam yang minim sekali pada saat itu, saya faham bahwa Islam hanya dijadikan sebagai alat saja untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu bahkan untuk kemarahan-kemarahan tertentu. Sebgaimana Pak Kartosoewirjo yang tidak diajuk rembug dengan Pak Karno maka ada semacam perasaan sentimentil kemudian dibangunlah sikap-sikap itu dengan justifikasi agama. Ini sangat berbahaya.

Kemudian yang ketiga, kalau kita lihat Pak Kartosoewirjo tenang-tenang saja menjelang dieksekusi, saya yakin beliau sebagai seorang cendekiawan dan intelektual akan memiliki keyakinan begitu. Apalagi beliau telah membantah tiga tuduhan keculai satu saja. Namun  yang bahaya adalah ketika orang memahami saat ini bahwa Kartosoewirjo memiliki keyakinan sedemikian rupa karena dia Lillah untuk agama Allah atau karena dia berjihad fi sabilillah makaini akan ditiru oleh mereka. Artinya, pemahaman-pemahaman yang dikembangkan saat sekarang ini itu merupakan bagian dari pemahaman  Kartosoewirjo yang kemudian disolidkan, dikeraskan, yang kemudian dimodifikasi menjadi pemahaman Islam yang ekstrim. Saya khawatir dengan ini. Oleh karena itu, saya sangat setuju sekali apabila sebagaimana fakta-fakta tadi betul-betul disebarluaskan di lingkungan masyarakat kita, terutama kepada mereka yang berpaham kekanan-kananan. Sebab, disinyalir gerakan-gerakan yang kekanan-kananan ini masih membawa semangat Kartosoewirjo.

Yang keempat, bahwa pemahaman tentang agama itu memang harus melalui pintunya. Saya yakin dari berita-berita tadi yang ada, Kartosoewirjo tidak belajar agama pada ahlinya. Nah, siapa saja yang tidak belajar agama pada ahlinya tentu saja akan menjadi tekstual. Dan karakteristik orang yang membaca Al Qur’an secara tekstual saja pasti akan menjadi ekstrim. Tidak menerima Pancasila sebagai asaz tunggal. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun