Indonesia memiliki sumber pendapatan yang beragam salah satunya dari pajak yang melingkupi bea cukai dan pajak dari rokok (tembakau). Hal ini tentu tidak mengagetkan lagi karena angka atau jumlah perokok di Indonesia cukup tinggi dan termasuk ke salah satu yang tertinggi di dunia. Dengan melihat jumlah yang besar ini, potensi pajak yang dihasilkan negara dari segi tembakau tentu besar dan menyumbang pendapatan yang tinggi bagi pemerintah. Animo masyarakat Indonesia untuk membeli barang-barang dari luar negeri dan cukup banyaknya turis Indonesia yang bepergian ke luar negeri menjadi pemicu negara menerapkan aturan bea cukai yang cukup ketat. Muncul pro kontra dari penerapan pajak tembakau (rokok) dan bea cukai yang beberapa kali muncul kontroversi di masyarakat.Â
Bila ditelaah lebih baik merokok merupakan perilaku yang menimbulkan lebih banyak dampak negatif bagi perokok itu sendiri dan warga sekitarnya contohnya masyarakat yang menghirup asap rokok atau yang lebih umum dikenal dengan perokok pasif. Bahkan, di beberapa riset perokok pasif akan mendapatkan kerugian lebih signifikan dibanding perokok itu sendiri. Jumlah pengidap penyakit yang ditimbulkan oleh rokok menjadi salah satu penyakit yang paling tinggi jumlah pengidapnya yakni kanker paru-paru. Tiap tahunnya nyawa-nyawa masyarakat yang seharusnya bisa dicegah melayang akibat komplikasi akibat merokok. Dari segi kesehatan tentu ini menjadi lampu merah besar yang mengkhawatirkan bagi seluruh elemen bangsa.Â
Namun, dari segi ekonomi dan keuangan negara yang merupakan faktor besar penunjang suatu negara untuk melanjutkan bahtera negara ini. Tingginya angka penerimaan negara dari tembakau dan bea cukai di impor ekspor tentu tidak mudah apabila skenario kedua pemasukan ini dihapus begitu saja terutama bila tidak ada alternatif pendapatan negara yang begitu potensial ini. Berbagai ahli di bidang ekonomi dan kesehatan sering beradu pendapat apa yang terbaik bagi masyarakat baik di sisi kesehatan maupun kesejahteraan masyarakat. Angka pengidap penyakit yang ditimbulkan rokok menjadi pertimbangan pemerintah apabila menerapkan pajak rokok. Penghasilan negara ini dapat digunakan dalam proses perbaikan kesehatan masyarakat Indonesia. Masih banyak kasus masyarakat yang tidak terlayani jika sedang sakit, tidak hanya dari sisi pasien para tenaga kesehatan juga masih dipertanyakan nasibnya.Â
Jika pada kenyataannya pajak rokok diterapkan maka harga rokok itu sendiri akan meningkat sehingga respon masyarakat tentu beragam. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih banyak merokok di kehidupan sehari-hari tentu reaksi negatif akan ditemukan. Mirisnya beberapa masyarakat mengaku lebih mudah untuk merokok dibanding makan nasi. Namun, merokok juga menimbulkan masalah yang sudah dijelaskan di atas yakni adanya masalah kesehatan yang dapat menjadi "boomerang" Â bagi perokok itu sendiri dan pemerintah. Solusi untuk mengatasi permasalahan ini ialah diperlukan kebijakan yang dapat menanggulangi segala efek terutamanya yang negatif sehingga kestabilan negara di berbagai aspek dapat terjaga. Kesejahteraan sosial sesuai dengan sila ke-5 Pancasila dan isi Pembukaan UUD 1945 harus menjadi dasar pengambilan keputusan para pihak berwenang agar dapat melayani semua elemen masyarakat. Masalah kesehatan perlu diperhatikan lebih lanjut karena angka kematian Indonesia cukup tinggi dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan rokok. Sistem kesehatan Indonesia yang masih rentan dan belum maksimal perlu menjadi perhatian agar skenario terburuk dapat dihindari. Namun, masih banyak juga aspek negara yang masih miris kondisinya sehingga diharapkan pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai harus tepat sasaran sehingga Indonesia dapat terwujud menjadi negara yang adil dan makmur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H