Mohon tunggu...
Anfasa CholidatuzZuhro
Anfasa CholidatuzZuhro Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Univeritas Jember

https://unej.ac.id/id/

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Food Estate sebagai Pengganti Program Lahan Gambut di Era Soeharto

28 April 2021   20:46 Diperbarui: 28 April 2021   21:18 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Agri estate dengan nama lain food estate adalah salah satu program pemerintah terkait ketahanan pangan nasional. Pada bulan juni 2020 tahun silam, bapak presiden Indonesia Joko Widodo melakukan kunjungan ke Kalimantan tengah untuk meninjau lahan terkait pelaksanaan baru  tersebut. Hingga pada Februari 2021 silam, program tersebut terus dikembangkan untuk memperbaiki ketahanan pangan yang ada di Indonesia melalui 3 daerah yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sumba Tengah Provinsi NTT. 

Secara harfiah, food estate adalah suatu program pengembangan pangan yang dilakukan untuk memperbaiki ketahanan pangan yang ada di Indonesia melalui integrasi antara pertanian, perkebunan bahkan peternakan di suatu Kawasan tersebut (Ulasan Kaprodi s3 Ilmu Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif). 

Presiden Republik Indonesia menjelaskan rencana adanya food estate ini di program untuk tahun 2020 -- 2024 sebagai salah satu program strategi nasional (PSN). Tujuan dari adanya program tersebut selain menjadi solusi pengembangan akan ketahanan pangan nasional, program tersebut juga diharapkan menjadi peningkatan indeks pertanaman, produktivitas padi menjadi 5 ton perhektar dan jagung 6 ton perhektar serta menjadi peningkatan daya beli pendapatan petani dan peningkatan produk olahan.  

Program ini muncul dari pemikiran orang pemerintah akibat dari adanya Pandemi Covid -- 19 ini, pihak FAO (food and Agriculture Organization) menjelaskan kemungkinan apabila keadaan negara tetap sama seperti ini akan terjadi krisis pangan di dunia. Hal itu dapat terjadi akibat dari krisis ekonomi yang telah mematahkan perekonomian negara.  Presiden Joko Widodo merencanakan program tersebut di Kalimantan Tengah pada pertengahan tahun 2020 dengan rencana luasan lahan adalah 30.000 Ha. 

Dan proses proyek food estate tersebut hingga di bulan April tahun 2021 sudah bekerja sekitar 90% dan Presiden Jokowi memperkirakan ditahun 2021, program tersebut telah terlaksana dengan baik sebagai pembukaan Rakernas Pembangunan Pertanian 2021. Kepala negara menegaskan akan adanya evaluasi terkait permasalahan pembangunan lumbung pangan di lapangan nantinya yang diharapkan bisa menjadi salah satu acuan bagi lumbung pangan di provinsi lainnya, sehingga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan impor pangan.

Program food estate ini adalah bentuk program yang mirip dengan program yang telah dibangun di tahun 1995 oleh Presiden Soeharto pada masa menjabatnya sebagai presiden Republik Indonesia yang telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 82 tentang proyek PLG (Program Lahan Gambut) tersebut dan juga dengan persiapan  yang telah dilakukan. Bahkan saat itu sudah ada transmigran yang sengaja berpindah ke Kalimantan Tengah untuk mengerjakan proyek tersebut. Selain bentuk program yang memiliki kemiripan, lahan yang akan dijadikan sebagai food estate tersebut juga merupakan bekas proyek pangan di era Orde Baru. 

Namun program Presiden Soeharto tersebut dinyatakan gagal pada tahun 1999 seiring dengan tumbangnya rezim orde baru di kala itu. Hal itu juga dapat berpotensi menimbulkan kebakaran lahan. Selain itu, karena adanya bekas lahan PLG (Program Lahan Gambut) yang dilakukan di masa pemerintahan Soeharto, lahan tersebut juga memberi pengaruh terhadap kesuburannya. Factor lain dari kegagalan proyek ini adalah adanya kekeringan karena irigasi yang gagal, dan juga pada tahap perencanaan dan perancangan terkait Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang terjadi kesalahan. Sehingga selanjutnya program tersebut pada salah satu lokasi yang ada di Kabupaten Pulang pisau, Kalimantan Tengah dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010, namun program tersebut gagal juga dan menterinya ditangkap KPK.

Dari adanya program yang di realisasi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo tersebut, dinyatakan berhasil pada bulan februari 2021 silam. Para petani merasa puas akan program tersebut karena produktivitas hasil panen mengalami kenaikan 1 -- 2 ton tiap hektarnya. Menurut Moeldoko sebagai kepala staf kepresidenan menjelaskan bahwa program Presiden Soeharto yang menjadi awal mula program tersebut muncul menjadikan Sebagian lahan yang ada di Kalimantan Tengah sudah eksisting dan menjadikan lahan tersebut bisa bagus lahannya.

Pada rencana tersebut memperkirakan seluas 5.000 hektare dengan luas 3.000 Ha di tumbuhi tanaman padi dan 2.000 Ha lahan tersebut ditumbuhi tanaman jagung pada lokasi Kalimantan Tengah. Namun diperkirakan di tahun mendatang lahan diperluas lagi menjadi 10.000 Ha yang nantinya lahan seluas 5.600 Ha tersebut ditumbuhi tanaman padi dan lahan sebesar 4.400 Ha dijadikan lahan dengan tanaman jagung di lokasi Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Namun terkait program food estate yang berlokasi di Kabupaten Sumba Tengah ditemukan sebuah masalah yaitu terkait maslaah air. Memang sebelumnya di tahun 2015 -- 2018 pemerintah telah membangun sejumlah sumur bor yang dpaat digunakan untuk kebutuhan sawah yang ada di lokasi tersebut. Namun langkah tersebut dirasa masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan air. Kunci dadi kesuksesan program food estate ini adalah adanya ketersediaan infrastruktur dasar yang baik dan memadai serta beriringan dengan teknologi pertanian yang baik untuk mewujudkan perkembangan food estate yang modern dan terintegrasi dari hulu ke hilir.

Didalam sebuah program dan pemahaman tentu adanya pro dan kontra dari pendapat berbagai pihak. Dari program tersebut juga menjadikan sejumlah pihak mengkhawatirkan program yang dilakukan Presiden Joko Widodo ini dirasa gagal seperti tahun -- tahun sebelumnya dan akan menimbulkan masalah baru terkait kerusakan lingkungan. Zainal Arifin Fuad sebagai Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Pertanian Indonesia (SPI) menjelaskan konsep tersebut sangat bertentangan dengan kedaulatan pangan dimana para petani yang menjadi kekuasaan tertinggi akan lahan dan pengelolahan pertanian secara mandiri. Hal itu dilakukan karena berdasarkan permasalahan petani secara global terkait akan cuaca, hama dan bencana alam juga menjadi tantangan yang utama sehingga perlu adanya mekanisme pertanian yang modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun