Tiga hari terakhir jagat media dihebohkan dengan hasil perhitungan cepat atau Quick Count (QC) perolehan hasil Pemilu Pilpres dan Pileg 2019. QC sendiri sudah diperkenalkan di Indonesia sejak Pemilu 2014. Di luar negeri, QC diperkenalkan lebih lama lagi.
Kini, mengetahui informasi atau kesimpulan awal perolehan suara masing-masing calon calon presiden/wakil, kepala daerah dalam Pilkada, tidak harus menunggu waktu berbulan-bulan. Hari itu pemilihan, sore hari sudah didapat kesimpulan awal siapa pemenangnya. Siaran TV pun 24 jam bahas perolehan suara, juga media sosial yang selalu berisik tak henti-henti.
QC biasanya dilakukan oleh lembaga survei yang selama ini intens mensurvei elektabiltas pasangan calon, baik Pilpres, Pilgub, Pilkota dan juga Pileg. Ada juga lembaga perguruan tinggi yang melakukan QC namun kalah populer.Â
Pada dasarnya, QC merupakan kegiatan akademis murni yang digunakan untuk hasil kerja politik. Sehingga metodologi yang digunakan murni akademis. Bisa jadi, prediksinya benar atau terjadi kesalahan (bukan bohong) yang masih bisa ditolelir, atau yang disebut dengan margin error.
Nah, sejak 2017 akhir saya agak intents terlibat menjadi surveyor lapangan dari berbagai lembaga survei di Indonesia. Surveyor ini bagi saya merupakan pekerjaan murni, profesional, dan mendapatkan upah.Â
Hal yang sama dalam proses Pemilu Pilpres/Pileg 2019 ini, saya juga terlibat menjadi petugas lapangan QC dan Exit Poll. QC dan Exit Poll ini sama-sama cara untuk menghasilkan prediksi perolehan suara dari lapangan berdasarkan metode tertentu yang biasanya dilakukan secara random.
Antara Survei Pra Pemilu (untuk mendapat angka elektabilitas), Exit Poll dan QC, ketiganya ada sedikit perbedaan. Untuk pertama kita bahas Exit Poll. Exit Poll dilakukan dengan cara langsung mewawancarai seseorang di sebuah TPS yang ditentukan sebelumnya. Waktu wawancara, begitu voter keluar dari bilik suara atau dari gedung tempat pemugutan dengan jam yang ditentukan.
Salah satu pertanyaan misalnya, siapa yang anda tadi pilih, paslon A, B atau C. Enumerator (pewawancara) langsung mencatat jawaban tersebut pada berkas EP. Pertanyaan cukup banyak, termasuk pilihan Caleg hingga pertanyaan kapan menentukan pilihannya.Â
Sebelumnya, pewawancara bertanya nama, usia, dan juga memastikan bahwa responden sudah memilih dan asli punya Kartu Keluarga (KK) di RT/RT tempat itu. Setelah proses ini selesai, enumerator mengunggah atau upload data pada aplikasi android yang telah disediakan. Selesailah proses EP di lapangan.
Kedua, Quick Count (QC). QC ini lebih mudah ketimbang EP. Tidak harus wawancara seperti di EP. Cukup menunggu hasil perolehan suara di masing-masing TPS yang telah ditentukan.Â
Hasil perolehan suara langsung diupload pada aplikasi. Tugas selesai. Enumerator tinggal minta tanda tangan kepada KPPS dan stempel pada berkas. Isinya salinan perolehan suara yang sudah dihitung tadi. Jadi kalau EP hasil perolehan suara dari per orang sedangkan QC hasil total perolehan suara dari TPS setelah perhitungan selesai.
Ketiga, survei elektabilitas yang biasanya dilakukan beberapa minggu, bulan bahkan tahun sebelum pemilihan secara berkala. Saya sendiri lebih dari 10 kali survei selama tahun 2018 sampai 2019 untuk Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Survei elektabilitas relatif rumit dibanding EP dan QC. Pewawancara harus memahami langkah-langkah yang ditentukan. Seperti menentukan RT yang warganya akan kena sampel/diwawancara hingga menentukan anggota keluarga yang harus diwawancara.
Prosesnya pun cukup panjang. Seorang surveyor sebelum turun ke RT tujuan harus datang ke kelurahan/desa. Selain menyampaikan perizinan juga harus mendapat informasi berapa jumlah RT/RW di desa tersebut. RT/RW ini untuk disusun pada kolom acak, sehingga akan keluar RT mana saja yang harus dituju.
Biasanya, dari total RT di kelurahan tersebut, beberapa survei mengambil 2 RT yang kemudian masing-masing RT diwawancara 5 orang. Jadi jumlah responden dari dua RT 10 orang. Laki laki dan perempuan. Sedangkan untuk beberapa lembaga survei, mengambil 5 RT untuk memilih 10 responden. Masing-masing RT diwawancarai 2 orang, responden laki-laki dan perempuan.
Menentukan RT yang dituju bukan berdasarkan pilihan seseorang atau ditentukan oleh lembaga survei atau oleh pihak desa, melainkan oleh metode lembar acak dalam kertas. Semua petugas survei akan mendapat lembar acak yang berbeda sehingga setiap kelurahan/desa yang didatangi, akan berbeda sampel RT dan tidak akan sama.
Setelah proses selesai, pewawancara mendatangi kepada RT yang telah ditemukan tadi. Di sinilah perjuangan surveyor dimulai. Mencari RT yang sedemikian banyak tidaklah mudah. Lokasinya bisa jadi mudah ditemukan, tapi petugas RT-nya lagi keluar rumah atau kerja.Â
Di pedesaan, bisa jadi antara RT yang satu dengan RT yang lain sangat jauh, bisa lintas sungai, pasir, dan gunung. Beda dengan di perkotaan. Sebelum ketemu RT tidak boleh wawancara ke warga. Karena selain pemberitahuan kepada RT, surveyor harus memperoleh nama-nama Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di RT tersebut.
Berdasarkan data RT, surveyor menyusun nama KK secara alfabet. Untuk kemudian dicari 2 KK atau 5 nama KK sebagai responden. Proses itu selesai, barulah surveyor mendatangi nama KK yang ditemukan tadi pada lembar acak. O iya, untuk menentukan siapa yang diwawancara bukan atas dasar petunjuk RT, tapi melalui metode acak bertingkat yang disediakan pada lembar kertas dari lembaga survei yang sudah baku.
Setelah itu, surveyor mendatangi KK. Setiap RT hanya dua warga, laki-laki satu dan perempuan satu. Disinilah proses perjuangan berikutnya bagi surveyor. Tak jarang, warga susah ditemui, karena kerja, sedang di luar kota bahkan ada yang tidak mau diwawancara karena alasan tertentu.
Setelah bertemu KK, belum pasti yang diwawancarai tersebut kepala keluarganya. Bisa jadi anaknya atau keluarga se-KK di rumah tersebut. Kalau nomor kuisioner genap, yang diwawancara harus perempuan seperti ibu, anak perempuannya atau orang se-KK perempuan di rumah itu. Kuesioner bernomor ganjil untuk responden laki-laki. Menentukan yang diwawancara ini melalui kish grid pada lembaran kertas yang dibawa surveyor.
Jika sudah ditemukan, barulah wawancara. Untuk pertanyaan lembaga survei tertentu, wawancara bisa sampai 1 jam bahkan lebih, lembar berkasnya banyak. Atau reponden terkadang tidak mau menjawab. Sekadar menjawab iya atau tidak pun kadang gak mau dan kesulitan.
Disinilah surveyor harus ekstra sabar dan mendapat strategi bagaimana menghadapi responden dengan karakter yang berbeda. Bagi surveyor yang sudah berpengalaman mungkin tidak jadi masalah. Bagi surveyor yang baru turun -bisa jadi- saat susah mencari RT sudah minta balik duluan kepada koordinatornya alias mengundurkan diri hehehe.
Dari pengalaman survei di lapangan, kontrol terhadap surveyor sangat ketat. Mulai telepon hingga setiap wawancara harus lapor kepada koordinator, baik melalui foto selfie dengan narasumber, pemberitahuan waktu mulai wawancara dan akhir wawancara. Untuk beberapa responden, setelah berhasil diwawancara, koordinator langsung menelepon reponden memastikan, di samping spot checking langsung ke lapangan.
Hal yang sama dalam EP dan QC. Sejak dua hari sebelum EP dan QC, enumerator melakukan simulasi upload data latihan pada aplikasi android untuk memastikan sistem berjalan lancar pada waktunya. Pada pelaksanaan, terus dipantau terutama jika enumerator telat dalam upload data perolehan yang terlihat dalam sistem.
Dari proses di atas, secara metodologi saya sangat yakin bahwa survei, EP, dan QC dilakukan secara ilmiah. Lepas dari perdebatan hasilnya yang mengundang polemik. Namanya politik sangat akrab dengan perdebatan. Toh hasil survei elektabilitas, EP, dan QC hanya sebagai prediksi ilmiah. Boleh dipercaya boleh tidak, validitasnya tentu dapat kita bandingkan dengan hasil-hasil sebelumnya.
Hal yang sama dalam perhitungan hasil Pilpres/Pileg 2019 ini, seperti yang dijelaskan beberapa lembaga survei, hasil QC sebatas kesimpulan awal dengan cara-cara ilmiah. Bukan cara dinujum, tapi dilakukan dengan proses seperti yang penulis paparkan secara singkat di atas.
Lalu apa sikap kita?Â
Hemat saya, untuk menghentikan perdebatan siapa yang menang atau kalah tidak akan bisa. Ini event politik yang menguras energi dan jutaan kepentingan ada di momen ini. Tunggu saja hasil rekapitulasi KPU yang berkekuatan hukum. Kenapa saat ini kedua belah pihak ngotot, saling menang? Keduanya berdasarkan keyakinannya.Â
Ruang perdebatan masih ada, selama belum pleno KPU, bahkan sampai keluar keputuan KPU-pun perdebatan masih bisa terjadi misalnya dengan dilanjutkan gugatan ke MK.
Maka kita nikmati saja gak usah saling menyalahkan. Inilah proses berdemokrasi. Adu gagasan, adu strategi untuk menjadi pemenang. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H