[caption id="" align="alignnone" width="589" caption="Kompasiana Nangkring bareng BI tentang Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di KBI Jogjakarta, Sabtu )1/11/2014)"][/caption] Sabtu (1/11/2014) lalu saya mengikuti acara Kompasiana Nangkring Bareng Bank Indonesia (BI) di Kantor Perwakilan BI Jogjakata. Acara tersebut merupakan rangkaian ketiga Kompasiana Nangkring Bareng BI dengan tema utama Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yakni di Medan dan Balikpapan.
Saya sempat minta wawancara langsung dengan Pak Piter Jakob sebagai Direktur Departeman Komunikasi Bank Indonesia Pusat. Dia bersedia diwawancara dalam bentuk video DI SINI
Menjadi pertanyaan saya mengapa melibatkan para blogger dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Para blogger tidak secara langsung terlibat dalam kebijakan SSK yang tentunya tidak memiliki pengaruh terhadap sistem keuangan di Indonesia?
Pak Piter menyebutkan efektifitas mengajak blogger menjaga stabilitas sistem keuangan memang belum teruji. Hasilnya harus dievaluasi apakah berhasil atau tidak. Namun hal itu berdasarakan pemikiran bahwa mereka sering sekali menulis. Diharapkan ketika menulis tentang SSK, isi tulisannya benar dan masyarakat yang membacanya akan mendapat informasi yang benar pula.
Sebaliknya jika para blogger menulis tidak tepat soal SSK, dikhawatirkan persepsi masyarakat juga keliru. Jadi BI berkepentingan terhadap persepsi publik serta mengedukasinya, diantaranya melalui para blogger. Bank Indonesia melakukan upaya transparansi dan akuntabilitas terkait fungsi serta implementasi kebijakan macroprudensial yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia.
SSK dan Fenomana DC Tarik Kendaraan di Jalan
Persoalan Debt Collector (DC) sebenarnya persoalan sosial dan hukum, sehingga tidak bisa dikaitkan langsung dengan SSK. Akan tetapi lingkaran fenomena tersebut berkait erat satu dengan yang lainnya. Diawali kebijakan Bank Indonesia tentang SSK, perilaku konsumen hingga berujung maraknya DC akhir-akhir ini.
Kejadian kendaraan diambil oleh DC di jalan (dengan alasan kesepakatan) diawali konsumen menunggak kredit kendaraan dalam jangka waktu tertentu. Alasan konsumen juga bergam, mulai usaha bangkrut, ekonomi keluarga memburuk hingga dipecat dari pekerjaan.
Pihak perusahaan yang menyewa DC tidak mau tahu, yang penting bayar kredit. Dalam kontrak sudah tegas konsumen wajib membayar displin setiap bulan.
Jika ditelisik lebih jauh mengapa konsumen gagal dalam membayar cicilan kredit?, selain masalah itikad, juga terlalu mudahnya lembaga pembiayaan memberikan kredit kendaraan. Kita sering mendapat penawaran dari brosur, “dengan DP Rp500.000 bahkan Rp250.000, kendaraan baru anda sudah bisa dibawa ke rumah”. Padahal cicilannya lebih besar dari pada DP. Giliran mencicial setiap bulan, cukup kesulitan.
Lembaga keuangan banyak merugi, bertindak keras sendirian kepada konsumen cukup repot. Solusinya DC atau istilahnya bagian external yang baraksi.
Tahun 2013, BI mengeluarkan surat edaran Nomor 15/40/DKMP perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Dalam aturan tersebut salah satu pointnya diatur, DP kendaraan roda 2 minimal 20 persen dan kendaraan roda empat 30 persen. Sedangkan kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau uang muka (DP) sebesar 30 persen dari harga jual, rumah kedua 60 persen (DP 40 persen), rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP) 50 persen.
Sepintas, aturan tersebut membatasi kepemilikan rumah dan kendaraan bagi masyarakat. Namun ketahuilah bahwa BI sedang menjalankan tugasnya menjaga sistem keuangan supaya tetap stabil, juga menghindari fenomena sosial dan hukum seperti kasus DC tarik kendaraan di jalan raya.
Apa itu Sistem Keuangan?
Dari beberapa literatur yang dikeluarkan Bank Indonesia, sistem keuangan merupakan perangkat sistem yang memfasilitasi simpan-pinjam dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang berkekurangan dana, melalui fungsi intermediasinya.
Sistem keuangan di Indonesia terdiri dari empat komponen utama. Yakni penyedia jasa keuangan, pengguna jasa keuangan, pasar dan infrastruktur. Penyedia jasa keuangan merupakan lembaga atau institusi keuangan yang terdiri dari bank dan dan non bank.
Lembaga bank seperti Bank Umum (BU), BPR juga Bank Umum Syariah (BUS) dan BPRS. Sedangkan lembaga keuangan non bank seperti penyelenggara dana pensiun, asuransi, perusahan leasing, perusahaan sekuritas dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Sementara pasar keuangan terdiri dari koorporasi atau perusahaan dan rumah tangga yang keduanya disebut sektor rill. Keempat sistem ini saling terkait satu sama lain sehingga saling mempengaruhi.
Stabilitas sistem keungan tergantung pada kesehatan institusi keuangan dan stabilitas pasar keuangan. Institusi keuangan dikatakan sehat apabila mereka mampu melaksanakan fungsi utamanya baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi tertekan.
Dalam menjalankan kewenangn terkait Stabilitas Sistem Keuangan BI melakukan dua pendekatan. Yakni pendekatan makroprudensial dan mikroprudensial. Namun pasca diterbitkannya UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Otorotas Jasa Keuangan (OJK) pendekatan mikroprudensial dialihkan kepada OJK.
Dengan pendekatan makroprudensial, BI menganalisa perkembangan sistem keuangan secara keseluruhan sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan. Dalam hal ini fungsi BI antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta mengatur menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Sedangkan pendekatan microprudensial yang dialihkan kepada OJK, lebih mengarah pada analisa perkembangan individu lembaga keuangan. Seperti pengaturan dan pengawasan kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian serta pemeriksaaan bank.
Mengapa Sistem Keuangan Harus Stabil?
Sistem keuangan memiliki peran penting dalam perekonomian sebuah negara. Apabila sistem keuangan tidak stabil, akan menganggu terhadap sistem ekonomi keseluruhan.
Dalam hal ini lembaga keuangan seperti bank harus mampu menjalankan fungsi intermediasinya. Bank menyalurkan dana kepada pihak ketiga, bank juga harus siap kapan saja bila dana pihak ketiga ditarik.
Sistem keuangan yang tidak stabil akan berdampak pada krisis seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Di mana sejumlah bank tidak bisa menjalankan lagi fungsinya bahkan sebagian dilikuidasi.
Sistem keuangan tidak stabil juga akan rentan terhadap gejolak. Sedangkan untuk penyelamatan memerlukan dana yang cukup besar. Lagi-lagi hal ini seperti yang terjadi pada krisis ekonomi yang diawali krisis keuangan tahun 1998 di Indonesia hingga berdampak pada situasai politik yang kacau.
Berdasarakan argumen di atas, sistem keuangan harus stabil dan karenanya harus dijaga. Pertama, bila sistem keuangan tidak stabil, kebijakan moneter tidak efektif akibat transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi normal.
Kedua, fungsi intermediasi lembaga keuangan tidak dapat berjalan seperti seharusnya akibat alokasi dana bukan peruntukannya. Dampaknya menghambat laju pertumbuhan ekonomi baik jangka pendek maupun panjang.
Ketiga, jika sistem keuangan tidak stabil menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan. Ketidakperayaan selalu diikuti perilaku panik para investor, menarik dananya sehingga terjadinya kesulitan likuiditas.
Keempat, jika sistem ekonomi tidak stabil, akan memerlukan biaya tinggi untuk penyelamatannya dan akan menyedot keuangan lebih besar apalagi jika krisis yang terjadi bersifat sistemik.
Pendekatan makroprudensial BI tidak hanya dalam bentuk analisa tetapi bentuk kebijakan. Tujuannya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik.
Risko sistemik diartikan sebagai risiko yang kaitannya dengan sistem keuangan berasal dari internal. Antara lain akibat terbatasnya likuiditas institusi keuangan itu sendiri.
Kebijakan BI yang cukup baru dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, antara lain mendorong kontribusi sistem keuangan syariah yang lebih luas. Melalui persiapan perangkat hukum, kelembagaan serta pendukung perbankan syariah. Implementasinya berupa gerakan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang telah dilaunching 2013 lalu.
BI juga terus melakukan edukasi keuangan terutama kepada masyarakat berpenghasilan rendah serta meningkatkan akses pembayaran yang didukung penguatan infrastruktur keuangan.
Perlindungan terhadap hak-hak konsumen terus ditingkatkan melalui kemudahan akses pada sistem keuangan serta pengurangan informasi asimetris melalui penyediaan data profil keuangan bagi masyarakat yang belum tersentuh data informasi perbankan.
Selanjutnya, BI menerbitkan peraturan yang mengarah pada terjaganya stabilitas sistem keuangan maupun rekomendasi kebijakan kepada otoritas terkait.
Cara Saya Menjaga SSK
Terkait peran serta blogger dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, ada baiknya kita menyoroti penguatan kebijakan BI. Antara lain, mengurangi informasi asimetris terhadap sistem keuangan melalui penyediaan data profil keuangan bagi masyarakat yang belum tersentuh informasi data keuangan.
Di pihak lain dalam rangkaian prosedur macroprudensial survailence, BI memberikan sinyal risiko baik kepada kalangan internal maupun eksternal. Sinyal kepada internal berupa informasi kondisi sistem keuangan terkini yang harus diketahui oleh pemangku kebijakan keuangan. Sedangkan pemberian sinyal kepada eksternal, menyampaikan informasi risiko kepada palaku pasar terkait kondisi keuangan terkini.
Disinilah hemat penulis, letak peran serta para blogger dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Salah Satunya menyebarkan informasi yang benar tentang kondisi aktual sistem keuangan melalui blog dan media sosial.
Secara pribadi saya sering menjelaskan kepada keluarga atau teman yang mempertanyakan mengapa LTV kredit properti dan DP untuk kendaraan bermotor begitu tinggi. Sayang, masyarakat secara umum belum memahami tujuan aturan tersebut, bahkan pelaku usah sekalipun. Penjual kendaran bermotor dan rumah bahkan sempat menyayangkan tingginya DP dan LTV karena berdampak penurunan capaian target penjualan yang dibebankan perusahaan masing-masing.
Mereka tidak sadar, di samping penjualan tinggi selama ini, terjadi kredit macet baik kredit rumah atau kendaraan sepeda motor, itu dampak terlalu mudahnya memberi kredit tanpa pembatasan DP minimal.
Bank Indonsia termasuk di daerah juga perlu sosialisasi lebih luas. Selain kepada pihak terkait langsung seperti perbankan juga kepada pelaku usaha. Bagaimana para manager-manager perusahanan pembiayaan yang berafiliasi kepada perbankan bisa mengerem kemudahan kredit kendaraan, sementara mereka ditarget meningkatkan omzet oleh perusahaan pusat? Evaluasi ketat juga perlu dilakukan apakah perbankan sudah melaksanakan aturan tersebut atau belum?
Sedangkan kepada masyarakat, BI harus menyampaikan informasi bahwa perilaku konsumtif yang tidak terukur, selain berbahaya bagi kelangsungan keuangan keluarga juga membahayakan sistem keuangan dan ekonomi secara umum (bila sangat massif).
Dengan pemahaman yang benar di masyarakat dan pelaku usaha tentang sistem keuangan sesuai kontirbusi dan akses masing-masing terhadap sistem keuangan, setidaknya membantu tugas BI dalam menjaga sistem keuangan tetap stabil juga menghindari ekses sosial dan hukum seperti fenomena DC tarik kendaraan di jalan raya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H