Kisruh terjadi kembali di republik ini. Berawal dari pengajuan calon Kapolri BG oleh Presiden Bapak Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR. Sehari sebelum DPR melakukan uji kelayakan, KPK menetapkan Bapak BG sebagai tersangka diduga karena memiliki “rekening gendut”.
Reaksi politisi beragam. Yang berkepentingan terhadap kekuasaan, membela ajuan presiden tanpa basa-basi. Salah satu argumen hukumnya berlaku, “azas praduga tak bersalah”. Sebaliknya yang pro terhadap pemberantasan korupsi, mempertanyakan mengapa langkah pengajuan bapak BG kepada DPR keukeuh dilakukan presiden.
Apalagi KPK sebelumnya sudah memberi tanda merah (entah tanda apa). Seperti pengakuan Ketua KPK Bapak Abraham Samad. Tanda itu diberikan juga kepada sejumlah nama calon menteri saat diminta Bapak Presiden Jokowi menelusuri rekam jejak calon menterinya terkait bersih atau tidaknya dari dugaan korupsi.
“Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, pada saat Presiden Jokowi meminta informasi terkait rekam jejak calon-calon menterinya, KPK telah memberi penjelasan bahwa yang bersangkutan masuk dalam kasus yang sedang diselidiki. Bahkan, KPK memberi catatan merah untuk mantan ajudan Megawati tersebut.
"Pada saat itu (pengajuan calon menteri), KPK sedang menangani kasusnya, jadi sejak jauh sebelumnya kita sudah memberi tahu bahwa yang bersangkutan punya catatan merah," katanya di gedung KPK, Selasa (13/1).
Namun drama belum selesai. Ibarat sinetron kejar tayang, publik dikejutan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK BW oleh Polri, Jumat (23/1/2014) pagi. BW disangka telah melanggar hukum, menyuruh salah satu saksi sengketa Pilkada di mana BW menjadi penasihat hukumnya, supaya berbohong di hadapan hakim persidangan.
Polisi juga berargumen, mentersangkakan BW dan menangkapnya karena BW telah dilaporkan oleh masyarakat dan cukup bukti sebagai terangka. Masyarakat yang dimaksud Polri yakni Sugianto. Tempomemberitakan sosok Sugianto,
“tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringinbarat, Kalimantan Tengah”.
Sebelumnya serangan terhadap KPK dilakukan oleh Hasto Kristianto yang juga pucuk pimpinan PDIP dengan tuduhan Abraham Samad telah aktif melobi PDIP di masa Pilpres, karena ingin mendampingi Jokowi sebagai Calon Wakil Presiden.
“Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristianto menuding Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad berbohong terkait pernyataannya bahwa cerita "rumah kaca Abraham Samad" adalah fitnah.
Cerita itu beredar di situs citizen journalism Kompasiana. Hasto mengatakan, cerita itu benar adanya. (baca: Rumah Kaca Abraham Samad)
"Memang terjadi pertemuan antara petinggi PDI-P, partai koalisi dengan Abraham Samad. Saya sendiri menjadi saksi pertemuan itu," ujar Hasto di rumah bekas media center di Jalan Cemara, 19, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (22/1/2015).”
Meskipun rentetan peristiwa itu selalu dibantah tidak ada keterkaitan satu sama lain dari pihak terkait, namun publik mempertanyakan “Apa iya rentetan peristiwa yang sangat dekat tidak ada keterkaitan satu sama lain sama sekali”?
Malah Budayawan Butet Kertaradjasa mengatakan seperti diberitakan Detik “Segoblok-gobloknya Orang, Kita Bisa Baca Penangkapan Bambang Terkait Budi Gunawan.
Sementara komentar Bapak Presiden Joko Widodo, yang diharapkan rakyat bisa meredakan ketegangan nampaknya tidak membuahkan hasil. Seorang teman yang berkarir sebagai jurnalis di perusahaan pers terbesar di negeri ini dalam statu FB nya menulis “pernyataan presiden normatif- senormatifnya”.
Rakyat cukup kuat membela KPK. Di media sosial, jelang Jumat beredar pengumuman, “usai Jumat ditunggu untuk berkumpul di gedung KPK, mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi”. Aksi heroik terjadi. Bukan hanya di gedung KPK, disejumlah daerah, di media sosial, di warung kopi bahkan obrolan rumah tangga. Semua sependapat, “KPK harus diselamatkan, benteng terakhir Negeri ini”.
Sejumah wajah aktifis pun kembali nongol di TV sambil mengepalkan tangan. Beberapa wajah sangat akrab saat dulu aksi dukung mendukung capres-cawapres terbaiknya. Mereka dulu lantang meneriakkan, pilihan terbaik pemimpin negeri ini adalah pilihannya yang menjamin mampu menegakkan hukum termasuk memberantas korupsi tanpa tedengg aling-aling.
Lantas apakah yang terjadi kini fakta sebaliknya? Namun yang sangat jelas, mereka juga kini tampil sebagai “Pahlawan” maju di barisan paling depan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H