Kadang saya berpikir bahwa sebenarnya kata Nasionalisme itu tidak sebersih yang sering disangka banyak orang. Tidak se-agung definisi kasar yang terkandung dalam banyak pidato revolusioner. Nasionalisme sering membawa orang berlebihan dalam memandang negaranya…, cinta buta terhadap negara sebagai identiti patriotik (héritage masa perang) dan bukannya sebagai identiti bangsa, rasa cinta, warisan kultur dan memory.
Banyak contoh kecil dalam sejarah kontemporer indonesia, yang menunjukkan bahwa rasa berlebihan dalam Nasionalisme itu berbahaya dan sering kali menimbulkan perpecahan dalam badan indonesia sendiri, baik itu didalam dan diluar negeri. Banyak juga contoh berbahaya yang mengancam integritas dan kehormatan bangsa lain. Ini bisa terjadi dalam skala besar (seperti Hitler) maupun skala kecil. Sangat disayangkan.
Ingatkah anda pada kasus tari pedet dan rendang indonesia yang diakui secara official oleh malaysia ? Kasus yang banyak menimbulkan kemarahan bangsa Indonesia, baik itu di darat maupun di jaringan jaringan sosial internet seperti facebook, twitter dan bahkan blog-blog kecil. Saya pun sedih dan merasa bahwa tindakan malaysia itu tidak benar. Namun, beberapa saat kemudian, ketika guliran kasus tersebut semakin lama semakin berlebihan dan menunjukkan rasa benci kepada malaysia (kepada seluruh entiti masyarakat malaysia), saya sedih karena sekali lagi menyaksikan contoh nasionalisme buta indonesia terkuak dimata dunia. Ungkapan-ungkapan kasar anti malaysia berkumandang di banyak blog, youtube, jaringan social dan email. Sampai sampai kalimat yang mengajuk pada bagian sejarah lama indonesia keluar lagi : ganyang malaysia.
Benarkah kita musti berperang dengan malaysia hanya karena hal tersebut ? Bukankah tradisi itu sudah beratus tahun ada di indonesia dan tidak akan hilang hanya karena secarik kalimat dalam Akta warisan kebangsaan Budaya Malaysia ?
Beberapa tahun yg lalu saya mengambil kewarganegaraan di negara perancis untuk menjawab kebutuhan ekonomi keluarga untuk menjadi status pegawai negeri di pemda kota ini.
Pertimbangan pribadi dan analisa global (yg tidak memihak) mengenai hal tersebut (khususnya bagi pasangan campuran) saya tulis di sebuah website. Ini dimaksudkan untuk membantu memberi titik titik pokok bagi mereka yang dihadapkan pada dilema yg sama. Sayangnya, tulisan saya tersebut mendapat beberapa tanggapan sangat negatif (bahkan insult), di email pribadi saya yang berkonsentrasi pada kata “pengkhianat bangsa”
Konsep nasionalisme saya terhadap indonesia dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme yg mereka agungkan. Mereka menggugat bahwa dengan memiliki passport negara lain, maka identitas saya sebagai bangsa indonesia saya runtuh dan tidak dapat dipercaya lagi. Mereka menganggap bahwa saya adalah si pengkhianat, pembelot, yang layak dibuang dari indonesia…
………………………Hey, come on, we are not in a state of war !................................
Masyarakat Indonesia membutuhkan kearifan dalam memandang kata nasionalisme. Mencintai ibu pertiwi bukan berarti kita harus jumawa terhadap bangsa lain. Norma-norma kesopanan, kearifan dan kebijaksanaan Indonesia juga termasuk heritage bangsa Indonesia yang harus kita agungkan, harus kita hormati, karena itulah salah satu wajah dan identitas indonesia.
Kehormatan suatu bangsa yang besar terlihat dari bagaimana kemampuan kita menghormati bangsa lainnya di dunia.
Jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran setan post anti colonialisme, yang menghalangi kita untuk menjadi bangsa yang percaya diri dan terhormat. Bangsa « Indonesia » bukanlah hanya bendera dan lagu indonesia raya yang berkumandang di instansi pemerintah dan sekolah-sekolah. Bukanlah hanya secarik passport indonesia, tapi lebih besar daripada itu. Nasionalisme tidak bisa diukur oleh bungkus-bungkus dan simbol-simbol indonesia. Insan indonesia bukan hanya mereka yang menggunakan batik ataupun kebaya pada acara-acara nasional, bukan hanya mereka yang berada di indonesia dan bukan hanya mereka yang hapal diluar kepala UUD 45.