'Freedom of speech' (kebebasan berpendapat) dan 'hate speech' (ujaran kebencian) sama tidak sih? Ada tidak perbedaannya? Menurut penulis, berpendapat dan ujaran kebencian memiliki tembok tinggi yang memisahkan keduanya dan jelas dapat dilihat perbedaan.
Kebebasan berpendapat (freedom of speech) adalah ketika seseorang mengeluarkan pernyataannya dengan tujuan untuk bertukar pikiran bersama orang lain sesuai dengan pengetahuan dan data yang dimiliki. Dalam berpendapat pun, sejatinya tak ada maksud menjatuhkan pihak lain dan murni hanya bertukar pandangan, membuka pikiran lebih terbuka secara luas dan melihat sesuatu dari perspektif lain tanpa perlu menjatuhkan atau menghinanya.
Contoh kebebasan berpendapat:
'Menurut saya, pemerintahan Joko Widodo saat ini kurang baik dibandingkan sebelumnya seperti tingginya angka impor dan keadaan lingkungan semakin kritis. Tetapi bukan berarti tak ada nilai positif dari pemerintahan Joko Widodo, karena dapat dilihat pembangunan infrastruktur, Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang memudahkan masyarakat. Jadi, ada plus dan minus dalam pemerintahan Joko Widodo."
Sementara itu, ujaran kebencian (hate speech) adalah ketika orang menyampaikan pernyataan dan disertai dengan penggunaan kata provokatif untuk menjatuhkan, mengejek bahkan menghina salah satu pihak. Biasanya orang yang melakukan hate speech melindungi dirinya di balik prinsip kebebasan berpendapat. Padahal, provokatif tidak ada dalam prinsip kebebasan berpendapat yang pada hakikatnya untuk menambah pengetahuan umum dan bertukar pandangan saja.Â
Walau demikian, sebagian besar masyarakat masih kurang bisa membedakan antara 'freedom of speech' (kebebasan berpendapat) dan 'hate speech' (ujaran kebencian). Tak sedikit diantaranya menganggap keduanya adalah hal serupa hingga banyak orang merasa bebas untuk menuliskan apapun tanpa memikirkan konsekuensi dan menyaring kalimat.Â
Kasus ujaran kebencian saat ini banyak terjadi di Indonesia melalui media sosial dan biasanya dilakukan oleh orang terkenal yang memiliki banyak pengikut (followers). Salah satu contoh kasusnya adalah Jerinx 'IDI dan RS Kacung WHO' dan Revina (public figure) yang mengatakan bahwa pengunjung gym dengan punggung tidak mulus dan bokong hitam adalah polusi visual. Faktanya, Jerinx adalah musisi terkenal dan Revina pernah menjadi pembicara dalam acara kesehatan mental yang keduanya memiliki banyak jumlah pengikut di media sosialnya.Â
"Katanya bebas berpendapat, tapi kok dibilang dengan ujaran kebencian? Itu 'kan hanya pendapat saja. Terus 'kan itu media sosial gue, bebas dong mau nulis apa saja."Â
Memang setiap orang bebas menuliskan apapun di media sosialnya tapi tak semua masuk dalam 'freedom of speech' dan bisa jadi termasuk 'hate speech'. Memang media sosial adalah properti pribadi, tapi tidaklah sama dengan buku harian yang hanya dapat dilihat oleh diri kita sendiri. Masih ingatkah kita dengan nasihat 'bijak dalam menggunakan media sosial'?Â
"I really hate people when people think that 'freedom of speech' means that 'I can be as rude as I want and you're not allowed to get mad" - Dave Vescio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H