[caption id="" align="alignleft" width="349" caption="Illustrasi: (diunduh dari Google)"][/caption] KITA tentunya sudah tahu bahwa syarat berdirinya sebuah negara ada empat, yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Namun membaca tulisan Faisal Assegaf yang berjudul Dilarang Membela NKRI, dada saya rasanya sesak. Marah, tentunya. Apalagi mengatasnamakan Indonesia Timur. Tapi saya merasa tidak perlu berkomentar di tulisannya. Saya menghormati pikirannya untuk tidak setuju. Tapi jangan juga halangi bagi yang ingin membela NKRI. Bagi saya, keutuhan NKRI tidak dapat diganggu gugat dan harus terus dipertahankan. Ini harga mati, Bung!!! Saya masih ingat cuplikan sejarah perjalanan sejarah Bangsa Indonesia yang pernah saya baca. Pada saat digulirkannya tanam paksa (Cultuure Stelsel) tahun 1615 oleh pihak Belanda yang telah menyebabkan hancurnya struktur tanah yang dimiliki pribumi, di mana tanah sebagai modal dasar pribumi dalam menjalankan segala aktivitasnya. Dengan adanya tanam paksa yang diterapkan telah mengubah jenis tanaman pribumi dengan jenis tanaman yang didatangkan dari Eropa yang nota bene tidak di kuasai oleh pribumi, hal ini menyebabkan pribumi tidak lagi mampu mengelola tanah yang dimilikinya dan tidak mengerti jenis tanaman yang berasal dari Eropa , sehingga pribumi pada saat itu terbodohkan, termiskinkan, terbelakang dan tertindas. Hal inilah kemudian yang di manfaatkan oleh pihak Belanda untuk membangun pemerintahan yang dinamakan Hindia-Belanda guna mengatur kehidupan pribumi yang semakin tertindas, yang pada akhirnya terjadilah sistem kerja rodi untuk mengeksplorasi hasil bumi yang ada di Indonesia . Pada awal tahun 1900 pemerintah Hindia-Belanda menerapkan kebijakan politik ethis sebagai bentuk balas budi kepada pribumi dengan mengadakan suatu sistem pendidikan di wilayah Indonesia . Akan tetapi karena biaya yang dibebankan untuk mendapatkan pendidikan ini terlalu mahal, maknanya tidak semua pribumi mampu menikmati pendidikan yang diterapkan di Indonesia . Dari sinilah terbangun strata sosial di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Adapun bentuk strata sosial tersebut telah memposisikan pribumi sebagai kaum mayoritas berada pada kelas terbawah, kelas di atasnya adalah ningrat-ningratnya pribumi dan para pendatang dari Asia Timur (Cina, India, Arab, dsb), kemudian kelas teratas adalah orang-orang Eropa dan kulit putih lainnya. Hal ini menjadikan pribumi sebagai kaum mayoritas semakin terbodohkan, termiskinkan, terbelakang dan tertindas. Sehingga pada tahun 1908, Dr. Soetomo membangun pendidikan bagi kaum pribumi secara informal dan gratis dengan nama Budi Utomo sebagai bentuk kepedulian terhadap pribumi yang semakin tertindas. Pada akhirnya pendidikan pribumi tersebut diteruskan oleh Ki Hajar Dewantara dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1920 secara formal, pendidikan pribumi yang di jalankan oleh Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara telah membangkitkan jiwa-jiwa kebangsaan dan persatuan untuk melakukan perlawanan kepada Belanda, yang pada akhirnya mengakumulasi lahirnya Bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui momen Sumpah Pemuda pada kongres Pemuda II di Jakarta yang berasal dari Jong-jong atau pemuda-pemuda dari berbagai kepulauan di Indonesia yang memiliki komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup orang-orang Indonesia (pribumi). Bangsa Indonesia yang terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 kemudian bahu membahu mengadakan perlawanan kepada pihak Belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia dan barulah 17 tahun kurang 2 bulan kurang 11 hari atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 atas berkat rahmat Allah SWT Bangsa Indonesia dapat mencapai kemerdekaannya dalam bentuk Teks Proklamasi yang dibacakan oleh Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Bangsa Indonesia membentuk suatu Negara Republik Indonesia dengan disahkannya konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai aturan dasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekarang, meskipun sudah merdeka, namun kekhawatiran terhadap keruntuhan NKRI mulai menampakkan wujud yang lebih transparan. Perilaku subversif, baik oleh individu maupun berkelompok dan secara spontan maupun sistemik, menunjukkan kuantitas yang cukup memprihatinkan bagi penganut paham keutuhan negara. Gejala di atas sebenarnya merupakan efek dari lambannya perwujudan kehidupan demokratis. Dalam pola pikir mereka, kehidupan demokratis akan memberikan jaminan hidup yang lebih layak, sehingga sebagai bagian dari negara mereka akan menjadi loyalis. Namun, dalam proses menuju kehidupan demokratis yang kurang jelas, kurang terarah, dan kurang terukur ini akhirnya mereka mengalami kebimbangan, yang akhirnya mengantarkan mereka ke dalam situasi psikis yang bias konstitusi dan seolah mendapatkan justifikasi untuk menentukan sikap terhadap pemerintah. Meskipun kita sudah merdeka, namun kemerdekaan dalam wadah NKRI itu menghadapi ancaman disintegrasi, dan hal itu dimaknai sebagai bagian dari hak asasi manusia. Bahkan wacana-wacana seperti itu justru disikapi oleh orang-orang tertentu sebagai bagian dari kebebasan seseorang untuk menyatakan pikiran dan pendapat. Berangkat dari kondisi di atas, tentunya masih relevan jika kita menengok dan mengamalkan pesan moral para pejuang kebangkitan nasional. Dengan harapan, kita bisa bersinergi sehingga mampu menjaga dan memelihara keutuhan NKRI. “Keutuhan NKRI merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar”. Namun sekarang, sepertinya kekhawatiran mengenai keutuhan NKRI kembali menyeruak. Sepertinya, dua tokoh penting bangsa ini, Gus Dur dan Frans Seda , yang baru saja meninggalkan kita semua pun sudah merasakan kekhawatiran ini sehingga harus menitipkan pesan untuk itu. Gus Dur misalnya. Sebelum meninggal menitipkan pesan untuk itu. Salah satu santri Gus Dur yang lekat menemaninya semasa sakit, baik di kediamannya di Ciganjur, sebagaimana dikutip Republika (di SINI) mengatakan, “Beberapa hari sebelum sakit, beliau bahkan sempat berpesan agar kita teguh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan tegas beliau mengatakan, agar semua elemen dapat berkomitmen untuk bersatu mewujudkanya.” Demikian pula Frans Seda . Seperti dikutip KOMPAS (di SINI), dalam pertemuan terakhir, Juli 2009 di Jakarta, Frans Seda memberikan pesan khusus kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, yakni jangan mudah terprovokasi isu yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga NTT harus ikut menjaga keutuhan NKRI. Tentu saja, dengan adanya yang mencoba mengusik kembali soal NKRI, tentu bukan saja warga NTT atau Indonesia Timur saja yang akan siap membela. NKRI adalah satu kesatuan dari Sabang sampai Merauke, dari Miaggas sampai Pulau Rote, yang harus dipertahankan. Ini harga mati, Bung!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H