RAKYAT Luwu di masa perjuangan dulu memiliki lambang berupa foto tiga serangkai -- Andi Djemma – Andi Tenripadang dan Andi Achmad. Dalam foto hitam putih itu, Raja Luwu Andi Djemma duduk di sebelah kiri mengenakan jas tutup dan songkok pamiring pulaweng dengan kalungan bunga bersama Permaisuri Andi Tenripadang Opu Datu yang memakai baju bodo dengan rambut yang disanggul duduk di sebalah kanan. Lalu di tengah tampak Andi Achmad, salah seorang putera Andi Djemma, yang mengenakan kemeja dan peci hitam.
Awalnya saya mengira gambar itu foto kenangan biasa. Di rumah, foto tersebut dipajang dengan bingkai di ruang tamu. Di rumah sejumlah keluarga khususnya pejuang Luwu, saya juga biasa melihat gambar semacam itu. Sama persis. Kesan saya, mungkin gambar tersebut dicetak dalam jumlah yang besar. Didorong rasa penasaran, foto yang ada di rumah pernah saya lepas bingkainya. Tampak sekali sudah usang termakan waktu. Kertasnya sudah aus, gambarnya pun mulai buram.
Pada bagian atas gambar terdapat teks tulisan yang bunyinya "S.P. DATU LUWU DENGAN PERMAISURI - Lambang Perdjuangan putera (i) Indonesia di Luwu kini dan nanti". Sedangkan di bawah gambar ada keterangan "Pulang dari Pengasingan 1-3-1950 - Bapak Agung A.Djemma dgn Ibu Agung A. Tenripadang ditengah2 A.Ahmad putera beliau".
Mencermati lebih jauh, di pojok kiri dan kanan sebelah bawah gambar, terdapat tulisan kecil. Yang di pojok kiri tertulis “Diusahakan: KEBAL Mks”, sedangkan yang di pojok kanan tertulis “Foto: Ipphos”. Dari informasi yang saya dapatkan, yang dibuat 1 Maret 1950 itu pengambilan gambarnya dilakukan Indonesia Press Photo Service atau IPPHOS, kantor berita foto pertama di Indonesia. Foto itu lalu diperbanyak oleh percetakan KEBAL-Makassar untuk disebar secara luas kepada rakyat Luwu.
Mendiang Andi Baso Rahman, bekas ketua LVRI Kota Palopo semasa hidupnya pernah menceritakan kepada saya, bahwa gambar tersebut dibuat untuk disebarluaskan kepada masyarakat sebagai pesan bahwa pemimpin perjuangan rakyat Luwu masih ada, mereka masih hidup . Foto itu dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada para pejuang Luwu. Dengan foto tersebut, kata Andi Rahman, rakyat Luwu diharapkan bisa yakin bahwa benar Andi Djemma dan permaisuri telah kembali dari pengasingan, begitupula Andi Achmad telah bebas dari penjara.
Datu Luwu Andi Djemma yang lahir di Palopo, Sulawesi Selatan 15 Januari 1901 itu diasingkan di Ternate bersama Permaisuri Andi Tenripadang untuk menjalani hukuman pembuangan selama 25 tahun.
Andi Djemma diasingkan ke Ternate karena dianggap melakukan pembangkangan terhadap penjajah Belanda, dengan memimpin sejumlah gerakan perjuangan. Putra dari Andi Tenrilengka gelar Opu Cenning dari perkawinannya dengan Andi Kambo Opu Daeng Risompa (Datu Luwu ke 33) merupakan raja pertama di luar Yogyakarta yang menyatakan berdiri di belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setelah mengetahui adanya berita proklamasi 17 Agustus 1945, bahkan memprakarsai pertemuan raja-raja di Sulawesi Selatan untuk itu.
Andi Djemma yang mewarisi Kerajaan Luwu dari ibunya itu dengan tegas menyatakan wilayah kekuasaannya, yang saat itu meliputi beberapa wilayah yang saat ini menjadi daerah otonom -- Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Timur dan Tana Toraja, di Sulawesi Selatan , Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara -- adalah bagian dari wilayah NKRI. Sebagai pejuang, Andi Djemma yang saat ini telah mendapat pengakuan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 073/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002 itu, tertangkap oleh Belanda pada 3 Juli 1946 di Benteng Batupute setelah memimpin berbagai gerakan perjuangan termasuk perlawanan semesta rakyat luwu 23 Januari 1946 yang kemudian diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Luwu.
Oleh rakyat Luwu, Sri Paduka Datu Luwu Andi Djemma dianggap Bapak Agung dan Permaisuri Andi Tenripadang Opu Datu adalah Ibu Agung.
Ibu Agung Andi Tenripadang Opu Datu adalah sumber semangat Andi Djemma. Beliau adalah istri kediga Andi Djemma. Berdasarkan silsilah keluarga, Andi Djemma menikah tiga kali, pertama dengan Andi Kasirang mempunyai satu orang anak bernama Andi Makkulau Opu Daeng Parebba, istri kedua bernama Intang Daeng Mawero, lahir tiga anak yaitu Andi Achmad Opu To Addi Luwu, Andi Nuhung dan Andi Iskandar dan dari istri ketiga Andi Tenripadang gelar Opu Datu lahir seorang putra bernama Andi Alamsyah Jemma Barue. Permaisuri Andi Tenripadang -- yang merupakan putri dari Andi Mappanyukki Raja Bone dari permaisurinya I Mane'ne Karaengta Balla Sari – adalah sosok yang banyak menemani Andi Djemma dalam perjuangan termasuk ketika menjalani pembuangan di Ternate, yang hanya dijalani sekitar 4 tahun, kemudian dibebaskan menyusul adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag 27 Desember 1949.
Bersama Andi Djemma, Andi Tenripadang tiba di Makassar 1-3-1950 dengan KM Kasimbar. Saat itu, Andi Achmad, salah seorang putra Andi Djemma yang sebelumnya telah divonis mati oleh Pengadilan Militer Belanda dan ditahan di penjara Cipinang juga sudah berada di Makassar.
Andi Achmad sebelumnya divonis mati bersama empat pimpinan PKR lainnya, yaitu M. Yusuf Arief, Andi Tenriadjeng, M. Landau Dg. Mabbate, dan M. Djufri Tambora 4 Juli 1948.
Andi Achmad adalah tokoh sentral perjuangan kemerdekaan di Luwu yang memiliki perannya sangat penting. Beliau selain merupakan orang pertama yang mengetahui berita Proklamasi Kemerdekaan RI, dari temannya seorang perwira Jepang yang bernama Sakata pada 18 Agustus 1945, Andi Achmad – bersama Yusuf Arief dan Andi Tenriadjeng adalah tokoh yang memprakarsai pertemuan tujuh tokoh pemuda dengan membentuk organisasi semi rahasia bernama Soekarno Muda yang merupakan cikal-bakal terbentuknya laskar bersenjata, PRI/PKR Luwu. Ia mempimpin sejumlah gerakan perjuangan dan pertempuran, baik di darat maupun di laut, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala Staf PKR dan Kepala Polisi Istimewa. Ditangkap di Benteng Batupute 2 Juli 1946, divonis 4 Juli di Pengadilan Militer di Makassar, dibawa ke Jakarta dan dipenjara di Cipinang untuk menunggu eksekusi dilaksanakan, Andi Achmad dan keempat pimpinan PKR lainnya dibebaskan 2 Februari 1950, sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag 27 Desember 1949. Andi Achmad kemudian kembali ke Makassar, menunggu ayahnya, Andi Djemma Datu Luwu dan permaisuri yang kembali dari pengasingan, 1 Maret 1950.
Boleh jadi itulah makna yang terkandung dalam foto tiga serangkai "simbol perjuangan rakyat Luwu" yang saat ini mungkin belum diketahui umum khususnya di Tana Luwu. Semoga kita semua dapat memaknainya. Wallahu a’lam bissawab. (facebook.com/bang.asa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H