MINGGU pagi, hari ketiga lebaran. Jarum jam menunjukkan pukul 09.30 Wita, saat anggota keluarga berkumpul. Kami rencananya akan berkunjung ke Malino. Tahu Malino, kan? Bagi yang belum tahu, saya akan jelaskan sedikit. Malino adalah salah satu objek wisata alam yang jaraknnya sekitar 90 km dari kota Makassar, tepatnya di Kecamatan Tingimoncong Kabupaten Gowa. Malino tak hanya terkenal karena alamnya yang sejuk. Malino pun menghasilkan buah-buahan dan sayuran khas yang tumbuh di lereng gunung Bawakaraeng. Selain itu, Malino juga menyimpan sejarah penting. Beberapa tahun silam di sinilah perundingan perdamaian Poso dan Maluku dilakukan. Malino terletak di sebelah selatan kota Makassar. Menuju ke sana, rombongan kami memilih tak melewati Sungguminasa. Kami mendapatkan informasi bahwa pada hari-hari libur, khususnya Sabtu dan Minggu, jalan menuju Malino melalui Sungguminasa sangat padat. Kabarnya kita bisa terjebak macet hingga berjam-jam, tak ubahnya jalur Jakarta-Puncak. Apalagi dalam suasana libur seperti ini. Di samping itu, jalan menuju ke sana juga masih dalam tahap perbaikan. Jalan yang sebelumnya aspal ditingkatkan menjadi beton. Kami akhirnya memilih jalan alternatif. Lewat Jalan Tun Abdul Razak, tembus di Kecamatan Pallangga. Namun lewat jalan ini ternyata tak kalah payahnya. Kubangan di sana-sini. Meski demikian, kami tetap memilih jalan ini. "Kalau berangkat pagi lebih baik lewat di sini, nanti kalau pulangnya lewat Sungguminasa," ujar Andi Tenri, ipar saya yang sudah sering berkunjung ke Malino. Berangkat dengan tiga mobil, rombongan kami berjumlah 21 orang. Sekitar 20-an km kami merasakan seperti di tengah ombak karena parahnya kondisi jalanan. Capek juga rasanya. Namun memasuki Pakkatto, jalanan sudah agak mending. Perjalanan menuju Malino kami tempuh sekitar dua setengah jam. Ini lantaran ketika masih di Makassar, kami kali sempat singgah untuk mengisi bahan bakar dan membeli bekal perjalanan. Kami tiba di Kota Malino sekitar pukul 12.00. Di sekitar Hotel Celebes, kami singgah sejenak untuk mengambil gambar. Kami menganggap penting untuk mengabadikan. Karena di hotel inilah dulu perundingan Malino yang digagas Jusuf Kalla digelar. Sinar matahari sudah berada di atas kepala. Meski demikian tak terlalu terasa karena sejuknya hawa pengunungan di lereng Gunung Bawakaraeng itu. Rasa letih di jalan seolah hilang lantaran Malino juga menyajikan pemandangan batu gamping dan pinus, serta berbagai jenis tanaman Tropis yang indah. Tiba di Malino, perut sudah mulai keroncongan. Kami pun singgah di Rumah Makan "Family" yang terletak di pusat kota Malino. Rumah Makan ini menawarkan aneka menu masakan. Ada mie dan nasi goreng dalam berbagai jenis, termasuk masakan Cina. Juga tak ketinggalan ayam goreng, cap cay dan lainnya. Masakan di rumah makan ini sangat enak. Pemiliknya orang Cina dari Makassar. Menurut seorang pelayannya, rumah makan ini hanya dibuka setiap Sabtu dan Minggu. "Kalau hari-hari biasa tutup," ujarnya. Usai makan siang, rombongan kami menuju Hutan Pinus. Di sini suasananya cukup ramai. Di sini pengunjung ditawari kuda. Cukup dengan Rp. 10 ribu, sudah bisa menunggang kuda keliling gunung untuk satu kali. Kalau ingin puas, bisa disewa per jam. Tarifnya Rp. 50 ribu. Ponakan-ponakan saya tampaknya tak sabar untuk itu. Ketika turun dari mobil, mereka langsung merengek minta naik kuda. Di lerang pegunungan itu, tampak pengunjung lain menggelar tikar. Ada yang duduk bercengkerama, sembari makan-makan. Untuk menggelar tikar tak perlu capek-capek bawa tikar. Di sini banyak bocah-bocah yang menawarkan tikar. Tarifnya, Rp. 5 ribu untuk sebuah tikar. Kami menyewa tiga buah tikar dan menggelarnya di antara pohon-pohon pinus. Di situ, kami hanya bercengkerama ngalur ngidul sambil menikmati pemandangan, sedangkan ponakan saya Dirga dan Putra bergantian memetik gitar. Puas di Hutan Pinus, kami pun hengkang. Tujuan kami adalah di perkebunan teh yang ada di puncak Malino. Dari Hutan Pinus, kami menempuh perjalanan sekira 15 menit. Jalan masuk ke perkebunan teh itu sangat sempit. Saya teringat jalan masuk di Genting Highlands, Malaysia. Bedanya karena di Genting jalanan itu tak lagi dilewati untuk umum, karena kita menggunakan gondola untuk masuk ke Genting. Sedangkan di Malino, tidak ada gondola. Untung saja kendaraan tidak begitu ramai. Di perkebunan teh milik PT Malino itu, udaranya sangat sejuk. Lebih dingin dibandingkan di Hutan Pinus tadi. Di kebun teh itu tampak pengunjung ramai. Kami menghabiskan waktu sampai sore, sambil menikmati teh Malino yang aromanya khas, sembari berfoto ria sampai puas. Saya benar-benar menikmatinya. Rindu dendam saya akan Malino kini terobati sudah. Waktu menunjukkan pukul 16.00. Kabut mulai turun ketika kami hendak pulang. Di jalan, beberapa saat kabut tampak semakin tebal. Kendaraan harus menyalakan lampu. Hujan pun turun rintik-rintik. Mobil kami berjalan pelan. Di depan Pasanggarahan Malino, saya singgah mengambil gambar. Pasanggarahan peninggalan Belanda yang dibuat 1927 ini, juga menjadi saksi bisu perundingan perdamaian Poso dan Maluku. Syukurlah, kabut tebal tak berlangsung lama. Namun mobil kami berjalan pelan. Pukul 18.30, kami tiba di Bili-bili. Di sini ada warung yang cukup terkenal dan buka 24 jam. Menurut ipar saya, Andi Tenri, warung makan di sini menawarkan menu khusus, yaitu ikan nila yang merupakan hasil tangkapan di Bendungan Bili-Bili. "Di sini kita makan malam," kata Andi Tenri. Wah, ternyata tidak salah. Menu ikan nila, baik bakar maupun gorengnya sangat gurih. Apalagi dengan cobek-cobek terasi dan tumis kangkung, menambah selera makan. Saya sampai lupa bahwa saya pantangan dengan kangkung karena mengidap penyakit asam urat, he-he-he. Yang jelas malam itu, di Warung "Cinnong" kita benar-benar menikmati makanan ala rumahan sambil duduk lesehan di pinggir Bendungan Bili-bili. Waktu berlalu. Tak terasa, hampir sejam kita di Warung Cinnong. Kami meninggalkan Bili-bili dengan sejuta kesan. Puku 19.30 kami kembali ke Makassar. Kami benar-benar puas setelah melepaskan rindu di puncak Malino. Soalnya sudah lama sekali saya tidak mengunjunginya. Itulah reportase saya kali ini. Dan untuk lebih lengkapnya, saya sajikan dengan foto-foto. Semoga terinsipirasi untuk mengunjungi Malino.
Salam rekreasi, Andy Syoekry Amal Baca juga tulisan sebelumnya:
- Musibah di Malam Lebaran
- Menteri Perhubungan Badan (HRC-07)
- Raja Selangor Turunan Pelaut Miskin dari Bugis?
- Nasi Kuning Mbak Ani
- Riwayat Kebugisan Najib Tun Razak
- Somasi Buat Presiden SBY
- Senjata Pemusnah Massal Raja Cikeas (HRC-06)
- Malaysia Takut dengan Tabung Gas Indonesia…
- Nasionalisme Bule Palsu
- Adolf Hitler Ternyata Keturunan Yahudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H