Mohon tunggu...
Bang Asa
Bang Asa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Terpopuler 2010

Tunggu beta bale, sodara!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Selesaikan Kasus Bibit-Chandra Secara Adat!

22 April 2010   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi kemenangan Anggodo atas praperadilan kasus Bibit-Chandra agaknya menjadi isu baru yang kembali menyita perhatian publik. Ada yang menganggapnya sebagai kemenangan hukum, tapi ada pula yang menganggap sebagai kekalahan rasa keadilan masyarakat. Terlepas dari pro kontra tersebut, fenomena ini adalah realita yang menunjukkan betapa tidak jelasnya hukum di negeri para bedebah ini (meminjam istilah Adhie Massardi).

Tidak jelas, karena sebelum kasus ini dihentikan, kejaksaan sendiri begitu yakin bahwa bukti permulaan sudah cukup untuk menggiring kasus ini ke pengadilan. Sayangnya, ketika kasus ini menggelinding di ranah publik, fakta hukum ini seolah digugurkan sendiri oleh kejaksaan atas saran Presiden SBY agar kasus ini diselesaikan ''secara adat''. Bahkan buntut kasus ini, Komjen Pol Susno Duadji dilengserkan dari Kabareskrim Mabes Polri.

Disebut secara adat, karena alasan pertimbangan untuk menghentikan kasus Bibit-Chandra ini
lebih cenderung mempertimbangkan aspek sosiologis, yaitu suasana kebatinan masyarakat. Sayangnya pula, untuk menilai suasana kebatinan masyarakat ini tidak jelas alat ukurnya. Tapi namanya saja secara adat, tentu saran Presiden ini patut diamankan oleh kejaksaan, apalagi, tekanan publik melalui gerakan dukungan pembebasan Bibit-Chandra di jejaring sosial seperti Facebook saat itu mengalir deras, walau tentu tidak semua yang mendukung tersebut memahami subtansi permasalahan.

Tak ada yang salah dengan tekanan publik seperti itu. Boleh jadi itulah suasana kebatinan masyarakat melihat kasus ini dari sudut pandangan subyektifnya. Akan tetapi jika suasana kebatinan seperti ini yang dijadikan landasan dalam proses penegakan hukum, maka tentu saja ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum itu sendiri.

Apatah lagi publik juga tidak semuanya mengetahui substansi persoalan yang sesungguhnya. Bisa saja dukungan mereka itu dilakukan karena terlanjur terpengaruh dari pemberitaan media dan besarnya kepercayaan publik terhadap KPK.

KPK sebagai institusi diakui atau tidak memang telah merebut hati masyarakat. Akan tetapi publik juga sepatunya bijak pula untuk membedakan antara KPK dengan oknum komisionernya, termasuk di dalamnya Bibit-Chandra. Betapapun, keduanya bukanlah malaikat. Jadi segala kemungkinan, termasuk di dalamnya adanya fakta mengenai bukti permulaan dugaan suap bisa saja terjadi.

Di negeri ini tidak ada yang tidak mungkin. Jangankan anggota KPK, hakim yang oleh banyak orang dianggap manusia setengah dewa saja bisa disuap. Sudah ada fakta mengenai hal ini. Padahal, di tangan hakim, publik berharap hukum bisa ditegakkan secara adil.

Dengan menggiring kasus ini ke pengadilan, publik akan lebih mengetahui dengan terang-benderang, bagaimana duduk persoalan kasus Bibit-Chandra ini. Publik akan tahu bahwa apakah keduanya benar-benar steril dari dugaan suap itu atau tidak. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap KPK justru akan semakin meningkat. Publik akan angkat jempol dan menganggap keduanya adalah figur yang diharapkan untuk memberantas korupsi.

Tulisan ini, tentu saja bukan bermaksud untuk mendukung Anggodo, yang oleh publik sudah terlanjur dicap sebagai makelar kasus. Sebaliknya, justru untuk mendukung pemberantasan korupsi secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Menggiring kasus ini ke pengadilan bukan berarti hendak mengkriminalkan KPK. Jika dirunut-runut, kesan kriminalisasi KPK justru lebih dominan terasa dalam kasus Antasari. Kita berharap kasus ini diselesaikan murni secara hukum, bukan secara adat! Intinya, jangan selesaikan kasus Bibit-Chandra secara adat.

Salam Kompasiana

Bang ASA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun