Ditemani secangkir teh hangat, saya mencoba "mengutak-atik" Kompasiana. Mungkin karena lama tak main di "rumah sehat" ini, saya masih merasa kaku, seperti orang baru belajar ngeblog. Sambil mencoba fitur-fiturnya, saya membaca sejumlah tulisan teman yang ada di beranda saya, salah satunya Reportase Kompasiana, Reportase Kehidupan yang ditulis sahabat Yusran Darmawan, Awalnya, sempat muncul pikiran untuk mengabaikan tulisan itu. Namun di sisi lain, saya penasaran membaca judulnya yang begitu menggoda, dan saya tak mampu melawannya. Godaan inilah kemudian mendorong hasrat saya untuk sesegera mungkin mengklik tautannya. Saya merasa seperti ada magnet yang menarik fokus perhatian mata agar membacanya. Sebagai penggemar, saya tak memungkiri bila selama ini hampir tak melewatkan semua postingan Yusran, baik di Kompasiana, blog pribadi maupun fanpagenya di jejaring sosial Facebook. Saya suka gaya penulisan, juga penyajiannya. Di mata saya, alumni Unhas dan UI yang baru saja menyelesaikan studinya di Ohio University at Athens, Amerika Serikat, ini, laiknya Master Chef yang sajiannya selain padat gizi, juga selalu "maknyuusss" . Mencermati tulisan Yusran, perasaan saya jadi campur aduk, pikiran saya melayang, terutama saat membaca kalimat yang menggambarkan pengalaman sang Kompasianer of The Year 2013 itu ngeblog di Kompasiana, "Pada masa itu, penguasa rubrik “Terpopuler” adalah Mariska Lubis dan Bang Asa..." Beberapa jenak, jantung saya berdegup kencang, aliran darah berdesir, sekujur tubuh terasa lemas. Betapa tidak. Kalimat tersebut seolah membangunkan saya dari tidur panjang. Menyadarkan kalau ternyata sudah lama saya tidak mampir di rumah saya sendiri. Ada perasaan salah, juga malu. Hiksss.... Tiba-tiba terbesit kerinduan yang dalam. Rindu dengan sahabat kompasianers, merindukan suasana sharing connecting yang hangat seperti "pada masa itu" .Saya membayangkan sejumlah dedengkot kompasianer, khususnya yang tergabung dalam geng ngocol "Negeri Ngotjoleria". Lapaknya satu persatu saya sambangi. Sebagian besar sepi, walau masih ada juga yang tetap bertahan, seperti Hazmi Srondol dan Tante Paku. Sedih juga rasanya. Terbayang oleh saya bagaimana kehangatan Kompasiana di masa itu. Penuh canda dan tawa. Dan itu dilakukan tidak semata-mata di dunia maya, tapi juga di dunia nyata. Saya pernah bertemu sebagian dari mereka dalam suatu acar Kopdar di TIM ( baca Kopdar Bersama Kompasianer Andy Syoekry Amal) dan Kompasiana Menyatukan hati Kami)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H