[caption id="attachment_145938" align="alignleft" width="221" caption="theprass.japanesia.org"][/caption] DARAH pemilik tubuh ringkih itu tak lagi mengalir. Detak jantungnya terhenti. Tepat pukul 18.10, Kamis (20/5), sang maestro keroncong Indonesia itu dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Kabar itu seolah menghentak sukma. Di sela-sela berita mengenai Sri Mulyani yang menitikkan air mata dalam acara lepas sambut Menteri Keuangan, berkali-kali saya menatap running teks layar tivi untuk meyakinkan diri. Adakah kabar ini benar? Atau jangan-jangan seperti yang lalu! Beberapa jenak kemudian, media arus utama maupun media online sudah ramai mengabarkan kematian pencipta lagu "Bengawan Solo" ini. Gesang telah pergi untuk selama-lamanya. Ia telah kembali ke pangkuan-NYA. Innalillahi wainnalillahi rodjiun. Di kala masih kanak-kanak, saya sudah mengenal nama Gesang lewat lagu ciptaannya, Bengawan Solo, yang begitu masyhur. Lagu ini tidak hanya populer di tanah air, namun juga di luar negeri, terutama di Jepang. Bahkan, lagu ini sempat digunakan dalam salah satu film layar lebar Jepang. Lagu ini diciptakan pada tahun 1940, ketika ia masih berusia 23 tahun. Gesang muda ketika itu sedang duduk di tepi Bengawan Solo, ia yang selalu kagum dengan sungai tersebut, terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu. Dalam ceritanya, Gesang menuturkan, pada 1940 dia sering pergi ke pinggir Sungai Bengawan Solo. Saat kemarau airnya surut, tapi saat hujan meluap. "Lalu saya jadikan lirik 'Musim kemarau tak seberapa airmu, di musim hujan air meluap sampai jauh'," katanya kala itu seperti dikutipTEMPO Interaktif. Proses penciptaan lagu ini memakan waktu sekitar 6 bulan. Selain Bengawan Solo, lagu ciptaannya yang populer lainnya adalah Jembatan Merah, Pamitan (versi bahasa Indonesia dipopulerkan oleh Broery Pesulima), Caping Gunungdan Aja Lamis. (lihat Wikipedia) Nama besar pria bernama lengkap Gesang Martohartono yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917 itu memang tak diragukan lagi. Boleh dikata sudah mendunia. Ini terlihat dari penobatannya dari majalah Rolling Stones Indonesia pada 2008, sebagai sebagai salah satu dari 25 tokoh musik besar Indonesia. Bahkan pada tahun itu, televisi Cuang Xi China sempat mengabadikan sebagai bagian dari film dokumenter tentang ragam budaya negara-negara ASEAN. (lihat TEMPO Interaktif) Selama ini Gesang tinggal di di Jalan Bedoyo Nomor 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo bersama keponakan dan keluarganya, setelah sebelumnya tinggal di rumahnya Perumnas Palur pemberian Walikota Surakarta tahun 1984 selama 20 tahun. Ia telah berpisah dengan istrinya tahun 1962. Selepasnya, memilih untuk hidup sendiri. Ia tak mempunyai anak. Gesang pada awalnya bukanlah seorang pencipta lagu. Dulu, ia hanya seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan saja di kota Solo. Ia juga pernah menciptakan beberapa lagu, seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan, pada masa perang dunia II. Sayangnya, ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Nanti setelah lagu keroncong "Bengawan Solo" lahir, mengantar sang maestro ini dikenal dunia. Dan sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, pada tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang. [caption id="attachment_145969" align="aligncenter" width="351" caption="Ilustrasi not lagu "Bengawan Solo" (www.sino.uni-heidelberg.de)"][/caption] Gesang memang sangat mencintai lagu keroncong. Bahkan sebelum meninggal, ia sempat minta dituliskan tiga syair lagu keroncong, termasuk di antaranya "Bengawan Solo". Menurut salah seorang anak keponakan Gesang saat di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Solo, Yani Efendi, Kamis (20/5) sekitar pukul 07.00 WIB pagi, saat hendak disuapi makan dua sendok, beliau sempat minta dituliskan syair lagi keroncong oleh salah satu keponakannya yang lain, Yaniarti. "Beliau minta dituliskan tiga lagu kerongcong yakni Jembatan Merah, Sapu Tangan, dan Bengawan Solo," katanya seperti dikutip Antara. Setelah itu, kesehatan Gesang terus menurun dan sekitar pukul 13.30 WIB mengalami sesak nafas sehingga tim dokter yang menangani secara intensif dan sempat memberikan pengobatan untuk mengeluarkan lendir di tenggorokannya. Kesehatan Gesang sempat membaik beberapa jam, namun sekitar pukul 18.00 WIB kesehatannya kembali memburuk setekah mengalami sesak nafas diikuti gangguan jantung. Dan sepuluh menit kemudian Gesang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Itulah akhir riwayat sang maestro, yang rencananya akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Pracimalaya, Makam Haji Surakarta, Sabtu (21/5), hari ini. Selamat jalan, sang maestro keroncong Indonesia, selamat jalan sang "Bengawan Solo". Meski engkau telah tiada, namun namamu akan tetap abadi, Insya Allah. Salam Kompasiana, Andy Syoekry Amal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H