[caption id="" align="alignright" width="130" caption="ANDY SYOEKRY AMAL"][/caption] Lelaki paruh baya itu gelisah. Begitu banyak keingintahuan yang menggulati kepalanya. Ia berupaya untuk mempelajari, ingin tahu dan tahu.... Ia ingin mengungkapkan pengembaraannya di dunia menuju akhirat secara utuh. Di bumi tempatnya berpijak, ia menengadah ke bintang-bintang. Ia berdiri di puncak bukit, memandang ke ngarai dan lembah yang luas. Lalu, ia menyadari eksistensi dan hakikat dirinya dalam kesemestaan yang maha luas ini. Mungkin seperti sebutir garam di lautan, atau malah setitik debu di gurun sahara. Ternyata, semakin ia mencari sebuah keberadaan, dirinya pun merasa kian bodoh. Gejolak keingintahuannya malah membuat dirinya semakin tidak tahu, semakin bodoh...! Bahkan begitu bodohnya sampai ia kembali ke titik nol: tidak mengenal dirinya sendiri...! Saya teringat pesan Socrates yang selalu mengakui bahwa dia seorang yang bodoh sebab dia belum mengenal dirinya sendiri. Socrates menemukan dirinya tidak akan dapat mengetahui sesuatu apapun kecuali kalau dia telah mengetahui dirinya sendiri. Sebab itu ia mengajarkan bahwa manusia haruslah mengenal dirinya lebih dulu. Dan seperti Socrates, lelaki paruh baya itu ia hanya mampu berkata: "Yang saya tahu adalah saya tak tahu apa-apa...!" Tapi itulah jenis kemampuan pengetahuan manusia. Ada orang yang tahu bahwa dia tahu. Ada orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Ada orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ada orang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Juga itulah jenis kemampuan pengelihatan manusia. Ada orang yang mampu melihat apa yang dapat dilihat oleh mata. Ada orang yang mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata... Ada orang yang tidak mampu melihat apa yang dapat dilihat oleh mata. Ada orang yang tidak mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata... Tetapi penelitian untuk membuktikan "ketidaktahuan" manusia sepertinya tak pernah surut. Tak lagi dengan menengadah, teknologi membuat manusia bahkan ingin menggapai langit. Mengapa manusia ambisi untuk menggapai langit? Adakah akhirat bersemayam di sana? Adakah Tuhan bertahta di langit? Adakah jembatan pengembaraan itu membuat keberadaan manusia akan utuh untuk mencapai akhirat dan menuju "Tuhan"? Entahlah, mungkin manusia berupaya, karena ia tidak tahu. Ia tak tahu karena ia bodoh. Karena bodoh, maka ia ingin tahu. Lalu ia berjuang mengenali dirinya, berperang melawan kebodohannya. Seperti pembaca Kompasiana yang saat ini membaca esai tentang kebodohan saya. Makassar, 13 September 2009 Salam Kompasiana ANDY SYOEKRY AMAL Catatan: kepada mereka yang merasa pintar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H