"Harusnya, tak ada satu pembenaran tindak yang mengatasnamakan kesejahteraan untuk menghancurkan lingkungan dan menginjak-menginjak martabat manusia, Pun jika itu terjadi, maka lonceng solidaritas untuk perlawanan sebaiknya telah berbunyi sejak sedetik ini. Dan hal itu berlaku pada siapa dan apapun itu tanpa kecuali".
Akhir-akhir ini, sederet peristiwa jengah nan memilukan dari berbagai sudut daerah akibat ketidak seriusan pemerintah mendstribusi kekuasaan menjadi kerap kita dengar, bahkan kadang berwajah tragedi di hadapan kita. Bukan hanya tentang ambiguitas lelucon kebijakan ekonomi politik yang tertuang dalam regulasi, atau tentang semunya mimpi kesejahteraan sosial yang terus dihembuskan, juga fenomena wabah yang berhasil menelanjangi bobroknya sistem pemerintah belakangan ini. Lebih dari itu, jika kita berpikir lebih jauh untuk mencermati substansi peristiwa yang pernah ada bahwa hampir semua peta kasusnya  sering berakhir dengan ketidak pastian.
Tambang pasir  di Desa Balo Bone misalnya, setelah diadvokasi oleh beberapa mahasiswa di tahun 2018 sampai tahun 2019 lalu yang menuntut penghentian aktivitas tambang galian C di wilayah pesisir pantai sampai hari ini belum jelas seperti apa kepastiannya, atau bagaimana sikap daerah menengahi itu dalam arti regulasi. Ironinya, alibi tentang itu malah diserahkan pada pemilik lahan dan mandat propinsi yang secara jelas melepas prinsip tujuan dari daerah otonom, lalu membiarkan wilayah pesisir itu terus di eksploitasi.
Tentu kita juga masih ingat kasus seorang bayi bernama Silfia yang naas akibat tak mendapat perlakuan serius di puskesmas Mawasangka karena tenaga medis yang tak dibekali alat pelindung diri saat wabah berkecamuk, lalu terjadi pelimpahan kesalahan kepada pelaku medis di forum hering dengan amuk yang tak jelas sementara beban psikologi keluarga Silfia yang diterjemhakan dalam permintaan maaf daerah atau pemutusan justifikasi sosial kalau bayi tersebut memang mengidap asma bukan covid tak juga dilakukan, Belum usai pada titik itu, konfilk horizontal akibat distribusi Bansos saat Pandemi, Â peningkatan sumber daya manusia yang ambigu, dan semua peta kasus yang pernah ada terlihat abai dan berlalu begitu saja.
Memang kita harus mengapresiasi itikad pemerintah dalam menjalankan roda daerah belakangan ini, namun kacamata kuasa seharusnya tidak diparsialisasi sebatas pembangunan fisik semata. Kesejahteraan sosial, akses pendidikan dan kesehatan serta hak asasi tiap-tiap manusia di dalamnya harus dijunjung tinggi dalam gulirnya roda daerah. Dan hal itu berlaku pada siapa saja tanpa membedakan agama atau dari kalangan mana dia berasal. Lantas bagaimana kita kembali menguji absennya pemerintah dalam hal di atas.
Tangis Masyarakat Desa Wulu.
Semesta tak habis-habisnya memberikan berkah kepada masyarakat di desa wulu kec. Talaga. Selain hasil laut yang berlimpah, hasil tani juga menjadi sumber penghidupan seluruh masyarakat di desa tersebut. Namun semua ketentraman itu perlahan menjelang sirna, petaka datang  tidak hanya menghabisi lahan garapan untuk bertani, laut yang juga sumber ikan kini mulai tercemar akibat ekspolorasi tambang PT. AMI yang kembali beroperasi sejak paruh 2019.Â
Di sisi lainnya, tuai konflik antara masyarakat setempat dan pihak perusahaan menukik tajam akibat  keluh kesah tentang perilaku tambang yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat utamanya menyangkut harga tanah dan pohon yang sampai hari ini belum jelas pembayarannya, belum lagi menyangkut tanggung jawab perusuhaan "CSR" yang tak pernah terang seperti apa peruntuhannya.Â
Bahkan aktifitas tambang itu menjadi sangat layak untuk dikritisi ketika permintaan masyarakat kepada pihak perusahaan agar menaluk sumber mata air yang belum terpenuhi. Pasalnya mata air itu adalah satu-satu sumber air bersih untuk keperluan konsumsi seperti minum dan meramu makanan (mencuci beras dll) Â yang jika hujan mata air itu menjadi lumpur keruh bahkan mengalir mengotori laut. Pun jika musim kemarau kendaraan tranportasi tambang lalu lalang memasuki pemukiman hingga meninggalkan debu di rumah-rumah warga.Â
Di atas semua realitas itu harusnya daerah hadir, di sanalah kebijakan sebaik-baiknya berdiri untuk memberi penjelasan setelah banyaknya peristiwa kelam yang berhujung tragedi akibat ekspansi industri ekstraktif sudah sering kita saksiakan. Di lumajang ada Salim Kancil yang tewas dibunuh, di Rembang ada sekolompok ibu-ibu yang memilukan saat melawan PT TONASA, di Kaltim ada Remaja  (Edi Kurniawan) yang berakhir maut tenggelam di lubang Tambang. Dan sebagai catatan Penting : "di dalam peta korban itu, yang terjadi bukan hanya tragedi kemanusiaan, kejahatan lingkungan juga adalah tontonan yang tidak terpisahkan dari bagian itu". Apalagi fokus utama penetrasi itu material melalui proses ekstraktif yang cepat dengan menyisakan limbah, kehancuran ekologis dan perampasan lahan.
Di antara onak kekacauan yang terjadi di desa wulu, memang ada rilis bertita tertanggal 02 juli 2020 yang di muat portal berita online lokal sebagai pertanggung jawaban dari ketua DPRD Buteng untuk menjembatani kepentingan warga dengan pihak perusahaan, namun pada tanggal 22 januari 2021 masyarakat desa wulu masih melakukan demonstrasi untuk menuntut hak mereka yang belum di bayar (tanah dan pohon).Â