Akhir Agustus 2023
Aku masih ingat setiap detil perjuanganku. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, aku sudah bangun untuk berlatih. Jari-jariku terasa kaku saat memainkan alat musik itu, tapi aku terus melawan rasa lelah. Saat teman-temanku bermain atau bersantai, aku tetap di sudut ruang latihan, mengulang-ulang melodi hingga terasa sempurna. Aku bahkan mengorbankan akhir pekan untuk mengikuti bimbingan tambahan demi menyempurnakan penampilanku. Tapi kini, semua itu seolah tidak berarti.
Setelah acara selesai, aula mulai sepi. Orang-orang pulang dengan senyum kemenangan atau obrolan ringan, sementara aku masih duduk terpaku di tempatku. Rasti dan Lila tetap di sisiku, meski aku tahu mereka ingin pulang. "Ayo, Irma. Kita keluar saja," ajak Lila, mencoba memberiku dorongan. Aku mengangguk lemah, lalu bangkit dengan langkah berat.
Di perjalanan pulang, kami melewati taman kecil di dekat gedung lomba. Rasti mengajak kami duduk sejenak di bangku taman. "Irma, aku tahu sekarang kamu kecewa. Tapi kamu harus tahu, kegagalan ini bukan akhir segalanya," katanya. "Kadang, jalan menuju sukses memang berliku-liku."
"Aku tahu," jawabku pelan. "Tapi kenapa rasanya tetap sesakit ini?"
Lila tersenyum kecil. "Itu karena kamu peduli, Irma. Rasa sakit itu adalah bukti betapa besar arti kemenangan ini bagimu. Tapi, justru dari rasa sakit itu, kamu bisa belajar dan jadi lebih kuat."
Aku terdiam, memandang ke arah langit senja yang mulai memerah. Kata-kata mereka perlahan meresap ke dalam pikiranku. Mungkin benar, kegagalan ini bukanlah akhir. Tapi bagaimana aku bisa bangkit dari sini?
Hari-hari berikutnya, aku masih merasa sulit untuk kembali ke rutinitas. Tapi, dorongan dari Rasti dan Lila terus memotivasiku. Mereka mengajakku berjalan-jalan, mendengarkan ceritaku, dan bahkan membantuku mencoba hobi baru. "Kamu harus coba sesuatu yang segar," kata Rasti suatu hari sambil menyeretku ke kelas melukis. Awalnya aku hanya ikut-ikutan, tapi lama-lama, aku mulai menikmatinya.
Melalui melukis, aku menemukan cara baru untuk mengekspresikan diriku. Aku mulai melukis emosi yang kurasakan—rasa kecewa, marah, hingga harapan. Anehnya, setiap kali aku menyelesaikan sebuah lukisan, hatiku terasa lebih ringan.
Lalu, suatu hari, sebuah lomba melukis diumumkan di kota kami. Rasti dan Lila yang lebih bersemangat daripada aku. "Ikut, dong! Ini kesempatan kamu buat tunjukin bakatmu yang baru," ujar Lila dengan mata berbinar. Aku sempat ragu, takut gagal lagi, tapi mereka terus mendorongku.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mendaftar. Prosesnya tidak mudah. Aku kembali merasakan tekanan dan keraguan. Namun, kali ini, aku mencoba melihat kegagalan dengan cara berbeda. Jika aku kalah lagi, setidaknya aku sudah berusaha dan belajar sesuatu. Aku melukis dengan sepenuh hati, menuangkan segala emosi yang tersisa dalam diriku.