Mohon tunggu...
Andy Firmansyah
Andy Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pengawas dasar

Hanyalah seorang pengawas madrasah dasar di Pujon kabupaten Malang Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

....menulislah, menulis dan menulis

29 Desember 2012   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
( Pramoedya Ananta Toer)
Kata-kata tersebut melecut hatiku untuk membuat sebuah tulisan. Tidak peduli nanti ada yang mau membaca atau tidak, yang terpenting adalah aku akan mempunyai warisan buat anak cucuku kelak. Tak bisa kubayangkan jikalau setelah aku mati, anak cucuku masih memiliki buah tulisku. Dengan percaya dirinya mereka bilang, “Ini loh buku Ayahku. Ini loh buku karangan kakekku...yang pasti aku akan tersenyum senang dalam peristirahatanku. Bukankah orang-orang besar tidak akan hilang namanya ditelan bumi jikalau sudah tiada bernyawa dia? Yang dikenang selalu hasil buah karangannya yang akan selalu abadi sepanjang masa. Tengoklah Imam Al-Ghazali dengan karyanya yang terbesar Ihya’ Ulum Addin (Menghidupkan Kembali Ilmu Agama) , Hamka dengan tafsir al-Azharnya, Bung Karno dengan Dibawah Bendera Revolusinya dan masih banyak lagi penulis-penulis besar yang lainnya. Itulah yang memberikan bukti otentik yang kuat bahwa mereka semua dikenang lewat tulisan-tulisannya. Dan dengan tulisannya itu, akhirnya dipelajarilah oleh para generasi muda saat ini, bahkan dikembangkan lagi menjadi lebih baik dan lebih baik lagi sesuai konteks jaman kekinian. Akhirnya peradaban semakin maju berkembang ke arah yang lebih baik lagi.
Kenapa para penulis itu bisa dengan tekun menghasilkan karya yang begitu banyak? Jawabannya adalah mereka melakukannya dengan senang hati, tanpa ada paksaan dari orang lain, karena itu merupakan panggilan jiwanya masing-masing. Prinsipnya dengan menulis mereka akan mampu merubah keadaan yang kurang baik menjadi baik. Ada sebuah cerita yang yang dapat menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan menulis itu. Ada seorang wanita di Callifornia. Dia tertimpa sebuah malapetaka yang terbesar sepanjang hidupnya. Dirinya diperkosa oleh orang yang tak dikenal. Setelah kejadian itu, dia selalu mengutuki dirinya, hidupnya seperti sudah tak ada artinya lagi. Sampai akhirnya, ia berkonsultasi dengan seorang psikiater. Apa yang dianjurkan oleh Psikiaternya? Psikiaternya berkata. “Tulislah apa saja masalahmu di buku diary, nanti kau akan merasakan akibatnya”. Wanita itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Psikiaternya, dan apa yang terjadi, ia menulis dengan senang hati dan lama kelamaan Ia sembuh dari depresinya. Dan akhirnya Ia pun bisa menjalani kehidupan normalnya kembali.
Tak beda jauh dengan apa yang dialami oleh penulis remaja Anne franks. Dengan pemerintahan fasis Jerman, hidupnya hanya didalam rumah saja. Apa yang dilakukannya, ia menulis diary, menulis dan menulis terus. Ia jadikan dunianya sendiri didalam kepalanya, sampai akhirnya kediktatoran jerman tumbang dan selamatlah ia dari kepungan para tentara Nazi. Dan akhirnya diarynya di bukukan dan dicetak banyak, disebarkan keseluruh dunia.
Maka oleh karena itu, tidak ada yang bilang bahwa menulis itu sangat sulit, dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang  berbakat saja. Mudah, mudah dan sangat mudah karena menulis bisa dipelajari tentunya harus dilengkapi dengan minat terus-menerus yang tak mudah patah, maka menulis akan sampai pada tingkat rasa yang menyenangkan dan dapat memuaskan jiwa.
Mengacu pada pernyataan yang diungkapkan penulis Herien Priyono bahwa  “Sejatinya, setiap manusia memendam banyak ide di dalam otaknya. Namun sedikit di antara mereka yang sanggup menuangkannya... Dan penulis, berada di golongan yang sedikit itu. Maka memotivasi seseorang untuk menulis lebih penting daripada belajar teori bahasa...”, maka penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu upaya menggugah jiwa untuk menumbuhkan semangat menulis.

A.    Fakta Dunia Bahasa Kita
Sastra Indonesia, dewasa kini telah lepas dari pelajaran Bahasa Indonesia. Keduanya sudah bukan lagi dalam satu kurun mata pelajaran. Adalah sebuah fenomena yang mengerikan, bahwa Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) yang adalah tempat para mahasiswa berinteraksi dengan literature bahasa, jarang sekali menghasilkan penulis-penulis handal. Seolah mereka hanya mempelajari literature bahasa saja, tanpa adanya niat untuk menuliskan literature tersebut, atau menjadikannya lebih bermanfaat untuk khalayak. Maka makin mengenaskan ranah bahasa kita.
Dengan demikian lebih tertariklah generasi kita kepada Ilmu Matematika, Fisika, Kimia dll. Yang diasumsikan sebagai mata pelajaran yang lebih efektif untuk perubahan bangsa, (dengan memenangkannya di setiap efen adu edukasi antar Negara). Ditambah lagi dengan kenyataan di sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia diberlakukan layaknya anak tiri. Bahasa yang substansinya menjunjung nilai afeksi (kasih sayang) menjadi ilmu yang tak tersentuh kecintaan para siswa. Dan apa efek negatif dari perihal di atas?
Tak lain adalah semakin menjauhnya sastra dari wacana anak Bangsa. Sastra hampir terhapus. Seperti terhapusnya pelajaran Budipekerti dari ranah tanah air. Maka lengkap sudah wabah dehumanisasi (ketidakmanusiawian) di negeri ini.
Jadi, sekarang ini dunia Bahasa sangat merindukan karya-karya sastra kita sebagai manusia yang manusiawi. SEGERA...!

B.    Modal Awal Sebagai Penulis
1) Bercermin: Banyak Membaca
Pada dasarnya belajar menulis itu tak ada bedanya dengan bercermin. Dengan hanya berdiam diri sambil membaca buku, kita bisa berproses dalam kepenulisan, bahkan tanpa bantuan guru atau pun mentor. Dengan membaca, kita bisa mengoreksi diri sendiri, sekaligus menimbang karya orang lain.
Buku itulah cermin kita. Bercermin adalah melihat “bayangan diri” dan sangat efektif diterapkan di dunia kepenulisan. Maka kita harus rajin-rajin membaca di tengah proses menulis.
Adalah baik kalau setiap calon penulis mengkliping sendiri karya-karya sastra misalnya cerpen terjemahan yang bagus, atau membeli dan mengumpulkan buku-buku cerpen dunia dan Indonesia yang bagus. Inilah modal dasar untuk menulis karya yang baik tanpa harus alergi karena berbau teori. Kita bisa mengenal dan menghayati karya-karya bernilai, dan pada gilirannya akan mencoba menulis karya yang bernilai.
Kalau kita menghanyutkan diri dalam tradisi besar karya-karya abadi, maka kita juga akan menjadi bagian dari mereka. Kalau kita hanya menghanyutkan diri dalam karya-karya, misalnya cerpen pop remaja, maka harga harga karya kita juga sebatas itu saja.

2) Jadilah Interlegos Sejati!
Apakah kita bercita-cita  sebagai penulis? Jadilah Interlegos sejati!.
Interlegos merupakan asal kata dari intelektual. Interlegos adalah sosok intelek yang memiliki tiga bangunan kuat yang membawahinya sebagai seorang yang cerdas. Tiga bangunan tersebut adalah:
    Paham dengan mendalam
    Prihatin dengan sepenuh hati
    Tergerak ingin memperbaikinya
Seorang intelektual atau cendekiawan sejati harus mempunyai tiga fondasi pokok di atas, bila di antara tiga elemen di atas, kita hanya bermodalkan satu saja, maka dirasa sangat perlu kita mengevaluasi status intelektual kita.
Sebagai contoh Kyai (Kyai, juga merupakan sosok intelektual)  bila hanya memiliki poin pertama saja, (yakni, hanya bermodalakan Agama saja. Tanpa adanya bentuk solidaritas dan rasa ingin mengintropeksi diri) maka pantaslah kita sebut munafik. Ia hanya berbicara, dan tak mampu memberikan penteladanan kepada masyarakat.
Nampaknya teori di atas juga dibebankan kepada mereka yang hendak terjun ke dunia kepenulisan.
“Paham dengan teori-mempunyai kepekaan- dan sudi bercermin dalam berkarya, adalah kunci sukses penulis handal.”
Dalam kaitannya dengan kita, sebagai penulis pemula yang sering menjadi pertanyaan adalah: Besar manakah modal teori dengan modal motivasi dalam dunia kepenulisan? Manakah yang harus kita kedepankan?
Dua hal diatas, mempunyai kesamaan guna yaitu untuk memperbaiki kualitas sebuah tulisan. Siapa yang hendak menulis, maka terlebih dahulu harus meminum dua suplemen itu sekaligus.
Akan tetapi kita juga harus bisa menempatkan dimana kita harus berpikir mengenai teori, dan bagaimana kita harus terlebih dahulu melecut diri untuk bangkit.
Telah disebutkan bahwa modal teori dan modal motivasi keduanya mempunyai goal untuk memperbaiki kualitas sebuah tulisan, maka kita harus memperinci artikulasi kualitas itu sendiri. Teori, lebih merujuk pada kualitas pembenahan bahasa, sedang motivasi, lebih bagaimana membuata ungkapan yang menyentuh dan komunikatif.
Sebagai manusia yang ingin menjadi Penulis, yang harus kita lakukan adalah “Marilah kita menulis dan biarkan kita mencintai dunia tulis, maka kesadaran untuk paham dasar teori itu akan muncul dengan sendirinya.”

C.    Teknik Produktif Menulis.
Ketrampilan menulis, ketrampilan mengatakan dan menggambarkan sesuatu sehingga menjadi jelas bagi orang lain tak mungkin diperoleh hanya dengan bakat alam. Akan tetapi harus terus dilatih, sampai akhirnya bisa menemukan gaya menulis kita. Cara seseorang pengarang menggambarkan suatu kenyataan mencerminkan pribadi, gaya hidupnya sendiri.

Para penulis yang menghendaki produktifitas maka harus memiliki interlegos yang utuh ketiga-tiganya. Penulis juga harus meneliti (investigasi), turun ke lapangan, merekam denyut nadi kehidupan masyarakatnya, memiliki kelengkapan ilmu pendamping, seperti psikologi, sosiologi, ilmu ekonomi, kebudayaan, politik dan sebagainya.
Berikut ini serangkaian teknik agar kita menjadi penulis yang produktif yaitu:
1)    Menemukan Tema: Apa yang Harus Saya Ceritakan?
Seorang penulis dapat bercerita tentang apa saja, tetapi perlu di beri catatan: Bila kita perhatikan pengarang-pengarang besar nasional maupun dunia, mereka tidak sembarangan saja menceritakan segala sesuatu atau tentang segala sesuatu. Selalu nampak adanya kecenderungan “spesialisasi”. Misalnya Pramoedya ananta Toer. Ia adalah Seorang sastrawan Indonesia yang secara kuantitas yang dihasilkan, jumlah yang diterjemahkan dalam bahasa asing, dan kualitasnya belum ada yang melampaui. Dan Pram adalah spesialis novel sejarah yang sarat nilai kemanusiaan; perjuangan dari tokoh tradisional seperti Ken Arok dan Ken Dedes sampai tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Suryo; kekuatan para perempuan melalui tokoh-tokoh novelnya seperti Nyai Ontosoroh, Kartini dan Larasati. Bahkan Pram juga menulis karya tentang kekuatan maritim Indonesia yang dulu pernah ada dan jaya yang harusnya dibangkitkan kembali masa kini.
Untuk menemukan tema cerita, setidaknya ada dua hal yang perlu kita lakukan:
a.    Melalui pembatasan setting cerita (misal: kehidupan guru, kehidupan cinta remaja, kehidupan nelayan, militer, buruh, orang-orang elit, gelandangan dan sebagainya), kemudian diuraikan bagian-bagian masalahnya.
b.    Mencari bahan cerita bisa berdasarkan obsesi dasar. Misalnya saja seseorang karena pengalaman hidupnya terguncang oleh masalah ketidakadilan hidup. Maka orang ini akan mempunyai pertanyaan dasar; apakah memang benar ada keadilan dalam hidup ini? Pertanyaan dasar atau obsesi inilah yang membuat dia selalu tergerak untuk menulis masalah itu setiap dia menyaksikan peristiwa kehidupan.
2)    Menulis Lewat Curah Acak 5W + 2H
John Mills, seorang aktor Inggris pernah berdampingan kamar dengan seorang sastrawan pemenang Nobel Sastra John Steinbeck dan John Mills merasa tertarik ketika pagi-pagi ia melihat Steinbeck selalu menulis memenuhi kertas dan lantas kertas itu dibuangnya ke keranjang sampah. Beberapa waktu kemudian Steinbeck mulai menulis lagi dan kertas yang terakhir ini disusunnya dengan rapih dalam filenya. Ketika John Mills menanyakan perbuatan Steinbeck ini, Mills mendapat jawaban yang mengagetkan. Jawabannya: “yang saya tulis pada kertas pertama tadi adalah hanya sekedar warming up. Saya memerlukan waktu untuk ‘pemanasan’ sebelum menulis yang sesungghnya.”
Apa yang ditulis Steinbeck pada kertasnya yang pertama? Ternyata ia melatih dirinya untuk menggambarkan secara tepat dan jelas suasana kamarnya sendiri, cuaca di luarnya, letak meja, gorden, cendela dan pintu. Apakah ia telah menggambarkannya secara tepat dan jelas dan sekaligus indah.
Untuk menggambarkan secara tepat, jelas dan sekaligus indah tentang sesuatu misalnya tentang ‘suasana kamar’ seperti apa yang dilakukan Steinbeck tersebut kita bisa mulai dengan 5W + 2H (what, who, why, when, where + how, how many/how much).
Untuk mengembangkan topik atau tema tulisan tentang ‘suasana kamar’ tersebut, kita bisa awali dengan 5 W, misalnya: apa saja yang ada di dalam kamar? Siapakah penghuni kamar? Dan seterusnya, lalu kita bisa tambahkan unsur 2H. Penggunaan 5W + 2H tidak harus berurutan tetapi kita bisa juga gunakan secara acak sesuai kebutuhan dan tentu saja bisa memenuhi unsur penggambaran secara tepat, jelas dan sekaligus indah, sehingga pada akhirnya bisa menemukan gaya menulis yang menjadi ‘trade mark’ kita.
Ada hal dahsyat dalam membudidayakan instrumen 5W + 2H ini, yaitu misalnya hanya dengan menggunakan pertanyaan mengapa saja, akan selalu melahirkan jawaban yang mengandung elemen  5W + 2H turunan sampai lapis tak terbatas. Semakin pandai kita melemparkan pertanyaan “mengapa” secara kritis, dan pada tempat yang tepat, akan semakin banyak jawaban yang kita peroleh. Dengan konsep seperti ini tama atau topik tulisan menjadi lebih padat.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan 5W + 2H sebagai proses menulis “curah acak/bebas” ini, yaitu bersikaplah bebas, merdeka, buang segala ketakutan dan kekhawatiran.
Kombinasi aplikasi dari curah acak 5W + 2H plus metode “khayalan pakar” akan memberi manfaat yang luar biasa dalam proses menulis, yaitu:
•    Topik yang tadinya kelihatan beku tiba-tiba menjadi cair, sehingga tema seolah hidup dan menggerak-gerakkan alam bawah sadar untuk segera menulis.
•    Curah acak 5W + 2H seringkali membelah topik yang tadinya tunggal, menjadi sub-sub topik baru yang potensial untuk ditulis tersendiri.
•    Curah acak 5W + 2H juga mematangkan syaraf guna menentukan perdebatan yang kerap terjadi di pikiran kita, biasanya melingkup seputar tema apakah yang layak aku garap?
•    Penggunaan Curah acak 5W + 2H membuat perdebatan tersebut menjadi asyik dan tidak membosankan, bahkan akan mengalirkan energi positif dan semangat dalam menulis.
•    Perdebatan tersebut, bila bisa dikelola dengan baik maka akan menghasilkan diksi, intonasi, rasa bahasa, kalimat inversi, dan sebagainya. Keindahan tat bahasa lahir dari perdebatan ini, dan  Curah acak 5W + 2H berfungsi mematangkannya.
Ada beberapa tips penggunaan Curah acak 5W + 2H agar lebih terasa manfaatnya baik dalam hal memilih topik maupun saat mengekskusi topik dalam penulisan sebuah karya, yaitu:
•    Mengambil topik yang paling menantang, tapi juga yang paling dikuasai. Banyak topik menantang tapi jika tidak kita kuasai bahannya, bisa membuat kita lari dari proses kepenulisan.
•    Setelah topik kita kuasai, selanjutnya kita “menembak” topik tersebut dengan pertanyann “mengapa”. Misalnya: mengapa kamu pilih topik itu? Saat otak menjawab beberapa alasan, tembak lagi dengan pertanyaan: mengapa alasan itu yang kau pilih?, apakah tidak ada alasan lain yang lebih baik?, apa saja yang dibahas alasan tadi?, dan seterusnya.
•    Saat kita selesai melakukan  5W + 2H topik-topik akan bermunculan layaknya “pasar tradisional”: apa saja yang diperlukan seseorang, tersedia di dalamnya. Apapun topik yang bermunculan, apakah itu berisi ide yang besar maupun ide yang kecil itu kita catat saja guna membantu daya ingat kita.
•    Topik menjadi tampak lebih besar atau lebih kecil tergantung pada seberapa besar perangkat mental kita untuk memahami topik tersebut. Dan perangkat mental tersebut, bisa berupa pengalaman tulis dan baca kita.
•    Pada saat bersenang-senang dengan  5W + 2H, sebaiknya kita pilih tempat yang sesuai dengan gaya belajar kita masing-masing. Untuk tipe pembelajar auditif (pembelajar sangat tergantung dengan alunan suara). Dianjurkan memutar lagu-lagu yang disukai, bekerja di pinggir sawah yang banyak suara katak, gemericik air sungai atau suara apapun yang bisa menimbulkan perasaan senang.
Jika kita tipe pembelajar visual (pembelajar yang cenderung terangsang dengan pemandangan), maka dinajurkan bekerja dengan menghadap pemandangan alam dan hindari bekerja di ruang yang tertutup tembok,
Untuk tipe pembelajar kinestik dianjurkan bekerja sambil melakukan aktivitas yang bisa mendukung konsentrasi, asalkan aktivitas itu tidak dominan.
3)    Jangan Dengarkan Omongan Otak Kritis
Dalam menulis, janganlah kita menyatukan keinginan menulis dengan hasrat untuk mengoreksi. Lakukan satu persatu dan sisihkan otak kritis kita. Setelah selesai menulis, barulah otak kritis kita gunakan untuk mengoreksi.
Sepanjang kita bergelut dengan ide, sejenak kita sisihkan “otak kritis” tersebut. Dialah yang cenderung menjadi predator pengganggu. Ada masanya bagi dia untuk mengkritisi tulisan kita dan ada masanya kita menganggurkan otak penting itu.
4).  Menjerat Kilatan Ide
Kilatan ide sangat cepat sekali melintasnya, secepat kilatan petir di angkasa. Terlebih kalau ide yang datang adalah ide yang “mengawini” ide: yakni ide yang datang menyusul ide yang kita temukan di awal kepenulisan.
Jadi meskipun kita mengetik dengan komputer, tetaplah kita harus menyediakan kertas kosong di dekat komputer kita. Dengan begitu, di otak kita akan tersimpan dua simbol yang membantu dalam membuat klasifikasi bahan secara visual. Klasifikasi bahan yang dimaksud adalah:
•    Ketikan yang tertera di layar adalah bahan yang sudah ada dalam kendali kita sepenuhnya, sedangkan,
•    Tulisan tangan di kertas kita adalah catatan atas “kilatan ide” yang datang di tengah proses kepenulisan.
5)    Menyusun Tema/Topik dan Ide-ide Menjadi Karya yang Baik
Bagaimana menyusun sebuah cerita? Apa kiatnya? Tentu saja tak ada resep yang baku, sebab bercerita adalah sebuah seni yang menekankan pada keunikan-keunikan dari kreatifitas tukang cerita untuk menciptakan sebuah cerita yang menarik.
Pada dasarnya bentuk cerita disebut plot atau alur. Struktur sebuah cerita secara mudah dapat digambarkan: bagian permulaan, bagian tengah, dan bagian akhir.
Ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan acuan sebagai kriteria karya (misalnya cerpen) yang baik yaitu:
•    Pertama adalah masalah permulaan.
Pada bagian permulaan dituturkan tentang apa, siapa, di mana, kapan dan munculnya konflik. Untuk cerpen lebih cepat, tepat dan ringkas bagian ini lebih baik, sehingga konflik lebih cepat dimunculkan, yakni unsur yang menceritakan timbulnya persoalan cerita.
Permulaan yang bertele-tele dan pemakaian kata-kata pembukaan tentang apa yang akan dikisahkan sebagai kesimpulan akhir, harus kita hindari. Untuk penulisan cerpen haruslah ringkas, padat dan selektif karena pembaca ingin sesuatu yang perlu saja, tidak perlu terlalu banyak penjelasan. Kesan bercerita seperlunya berarti menghormati sekaligus menunjukkan sikap jujur apa adanya, kalau kita tahu sedikit tidak perlu memperpanjang masalah.
•    Kedua, bagian tengah cerita.
Yakni berisi perkembangan konflik yang diajukan pengarang. Kalau konfliknya besar dan berat, ditambah pemilihan penokohan yang banyak dan rumit karakternya, maka perkembangan ceritanya akan panjang. Bagian tengah cerita inilah yang menantang pengarang untuk unjuk ketrampilannya dalam menggiring semua bahan cerita menuju suatu klimaks cerita. Konflik yang semakin menimbulkan suspend (ketegangan) dan bisa  merangsang rasa ingin tahu pembaca akan menjadi cerita yang menarik.
Jadi sebenarnya menulis cerita adalah menemukan masalah, menemukan persoalan, dan menemukan konflik. Akan lebih menarik jika pengarang memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga sepanjang masih dalam kesatuan tema.
•    Ketiga, bagian akhir cerita.
Yakni bagian penutup cerita yang berisi pemecahan konflik atau permasalahan. Apakah penjahat itu akhirnya bertobat, apakah guru itu akhirnya dapat menaklukkan si murid dan sebagainya.
Kompisisi karya harus mempunyai konsep yang matang yang berarti: pengenalan yang ringkas, pembangunan konflik yang cukup jelas, luas dan lengkap, serta pengakhiran konflik yang secukupnya saja.
Dengan demikian proporsi susunan cerita diberikan sebagai berikut:
Permulaan                            Bagian Tengah                    Bagian Akhir
(5-10%)                                 (80-90%)                             (5-10%)
1.    Perkenalan                   1. Perkembangan                   1. Pemecahan konflik
2.    Munculnya konflik      2. Suspense klimaks               2. surprise
3. klimaks

Jadi tiap pengarang akan menemukan caranya sendiri, ada yang bisa menulis karena banyak membaca,ada yang menulis kalau mengalami peristiwa itu sendiri, atau bisa menulis jika ngobrol dengan teman. Bahkan ada yang baru lancar menulis kalau sudah mendapatkan judul yang bisa merangsang kreativitasnya.

Daftar Pustaka:

Atmowiloto, Arswendo. 1982. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: Gramedia
Priyono, Herien. 2010. Mind Writing. Yogyakarta: Leutika
Lubis, Muchtar. 1950. Tehnik Mengarang. Jakarta: Balai Pustaka
Rifai, Muhammad. 2010. Biografi Singkat 1925-2006 Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Garasi House of Books.
Sumardjo, Jakob. 2007. Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

I Ketut Suweca, update 29 January 2012,  Untaian Kata Penggugah Semangat Menulis, http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/29/untaian-kata-penggugah-semangat-menulis/, akses  7 desember 2012

Gambar:
Fachrulkhairuddin, Pram (foto: In-Docs.Org). update 06 Agustus 2012, http://2.bp.blogspot.com/yO8gZuXapW8/UB8x7N20zzI/AAAAAAAABbg/3bzKHdm0H8g/s1600/pramoedya.jpg, akses  7 desember 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun