Mohon tunggu...
Andy Firmansyah
Andy Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pengawas dasar

Hanyalah seorang pengawas madrasah dasar di Pujon kabupaten Malang Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malu Bertanya…..? Tanya Lagi

28 September 2012   00:25 Diperbarui: 1 November 2015   15:07 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam keseharian mengajar saya sebagai guru, seringkali selalu saya tekankan kepada anak-anak untuk mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bebas, pertanyaan apa saja. Kalau bisa jawab, saya jawab, dan kalau tidak bisa jawab, akan saya buat PR untuk saya cari jawabannya dirumah. Banyak terlihat wajah anak-anak kesulitan dalam mencari apa yang akan ditanyakan. Apakah memang pelajaran yang saya terangkan terlalu membingungkan ataukah memang tak ada minat mereka mengikuti pelajaran saya, saya kurang tahu. Akibatnya jikalau sesi pertanyaan saya lontarkan, suasana jadi hening sejenak. Kemudian saya kembali menekankan. Tak ada orang bodoh karena bertanya. Jangan berfikir banyak tanya itu layaknya seperti orang yang tidak tahu apa-apa….Tapi karena ia kepingin ilmu yang lebih saja, menjadikan seseorang itu akan mempertanyakan sesuatu yang dianggapnya kurang bisa dipahami. Ada pepatah mengatakan “Malu bertanya sesat dijalan”. Ini seperti kita analogikan, jikalu dijalan kita tersesat, maka jalan yang paling mudah adalah bertanya pada setiap orang yang ada dikiri kanan jalan. Jadi kita tidak akan tersesat selama orang yang kita tanya itu jujur dan mengerti. Begitu juga dengan segala macam ilmu, haruslah ditanyakan terus sampai kita mengerti. Oleh daripada itu maka muncul kalimat selanjutnya “Malu betanya, tanya lagi”. Sampai kita mengerti dan paham. Dengan semakin paham diri kita, maka semakin kritis dan cerdaslah pikiran. Menjadikan lebih bijak diri kita dalam menjalani kehidupan ini. Bukankah banyak profesi bergengsi yang menuntut segala macam pertanyaan? Semisal wartawan, dokter atau masih banyak lagi yang lainnya. Wartawan contohnya, harus banyak pertanyaan ini dan itu untuk mengorek suatu berita sebuah kejadian agar menghasilkan sebuah liputan berita yang enak dibaca. Dokter juga begitu setiap berhadapan dengan pasiennya, pasti akan mengajukan berbagai macam pertanyaan. Semisal, si pasien sakit perut. Maka diajukan pertanyaan, yang sakit sebelah mana? berapa kali ke kamar kecil? Tadi barusan makan apa? Dan blablablabla……Dengan begitu dokter akan bisa mendetaksi penyakit apa yang sedang pasien derita.

 

 

 

 

 

Nabi SAW juga pernah bersabda:

 

“Ilmu itu perbendaharaan, kunci-kuncinya pertanyaan. Karena itu bertanyalah kalian, karena diberi pahala dalam bertanya empat orang. Yang bertanya, yang mengetahui, yang mendengarkan, dan yang menyukai semua yang bertanya” (Ihya 1: 19)

 

Maka daripada itu, teramat besarnya manfaat bertanya. Sampai-sampai Nabi menganjurkannya dalam sabdanya. Ada juga seorang pengarang besar Indonesia Pramoedya Ananta toer. Karya-karyanya telah banyak diterjemahkan kedalam berbagai macam bahasa. Dia pernah mengkritisi tentang perkembangan pendidikan di Indonesia sekarang ini yang banyak menghasilkan anak yang kurang begitu bisa mengajukan pertanyaan. Pram begitu orang biasa memanggilnya, mengkritisi sistem pendidikan selama ini yang kurang begitu berfungsi secara maksiamal. Sistem belajar yang menempatkan guru sebagai sumber belajar saja dan orang yang paling tahu. Sementara murid ditempatkan sebagai orang yang tidak tahu dan tidak mengerti , bahkan tidak tahu sama sekali. Pram menginginkan proses belajar mengajar adalah dialogis. Mendorong guru kreatif untuk memotivasi muridnya selalu bertanya dan menyukai pengetahuan secara simpatik. Masalah sistem, dalam hal ini sistem pendidikan. Sistem itu suatu hal yang harus bekerja sendiri, berjalan sendiri. Kalau yang dinamakan system tidak bekerja, tidak jalan, berarti tidak ada system. Ada sistem, tidak perlu yang dinamakan himbauan. Ada himbauan berarti tidak ada sistem.

 

Akhirnya, seperti kita lihat sekarang. Mutu pendidikan kita lebih rendah dibandingkan mutu pendidikan di zaman Hindia-Belanda. Ini akibat cara himbauan. Kita harus mengubah cara ini. Anak-anak harus dibiasakan bertanya, berbicara mengadu argumentasi, berdebat. Dan itu harus dimulai dari bawah sekali. SMP dan SMA itu sudah terlambat. Guru harus pandai bercerita dan mendorong anak-anak berkarya dan berbicara. Ini yang tidak ada di Indonesia. Pernah waktu SD saya (Pram) bertanya kepada guru Pak Karnadi, “Apa sebab air laut asin?” gelagepan dia, nggak bias menjawab. Tukang obat di Malang malah lebih bisa menjawab pertanyaan itu. Karena beribu-ribu tahun lamanya ikan-ikan itu berkeringat!. Lalu pernah saya bertanya kepada guru lain. Pak Ngusman, “Apa sebab langit berwarna biru?” dia muter-muter, tapi kesimpulannya ia nggak tahu. Guru-guru harus bias berbicara dengan murid. Di Barat, mulai kecil anak-anak sudah diajak bertanya dan bicara. Sekali dia bertanya, selanjutnya dia akan jalan dengan sendirinya. Makanya, persiapkan pertanyaanmu mulai sekarang….

 

 

 

Kab. Malang

 

25 sepetember 2012

 

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun