"Matematika, Ilmu yang Mematikan"
Beberapa waktu yang lalu, Kak ilsa dan Dek Tristan tak henti-hentinya menyanyikan lagu dengan lirik diatas. Saya penasaran, emang benar ada lagu kayak gitu? Ternyata, saat menonton youtube bersama mereka, lagu tersebut memang benar adanya.
Lirik aslinya saya tak tahu. Tapi saya menebak pastilah "Matematika ilmu yang mengasyikkan"
Apanya yang mengasyikkan? Itulah yang saya fikirkan dan 5 hari yang lalu, Kak ilsa akhirnya sepakat dengan pendapat saya.
Malam itu, Kak Ilsa belajar bersama Bunda. Saya mendengarkan dari kejauhan dan dari beberapa kosakata yang mereka dialogkan, sepertinya Matematika adalah subjek yang sedang mereka pelajari. Suara istri saya terdengar redup dan kencang bergantian. Intonasinya secara dinamis bergerak dari rendah ke tinggi. Dari beberapa data tersebut saya bisa mengambil Kesimpulan bahwa ada yang sedang dalam bahaya. Guna melindungi spesies yang terancam tersebut saya mendekat. Tidak mengintervensi tidak pula mencoba membantu. Istri saya memutuskan untuk memberi jeda istirahat 15 menit kepada Kak Ilsa untuk menenangkan fikiran sejenak sebelum lanjut "berperang" lagi.
Disaat itulah saya dan dek Tristan kompak bernyanyi "Matematika Ilmu yang mematikan"
Respons Kak Ilsa ternyata tak seperti yang kami bayangkan. Ia yang biasanya ceria dan akan merespon dengan tawa penuh semangat, kala itu hanya diam saja. Tak ada suara keluar dari mulut gadis kelas 2 SD tersebut. Hanya mata sayu yang memandang ke satu arah dengan banjir air mata di kiri dan kanan sudutnya. Ekspresi wajahnya dingin dan datar. Tapi dari air mata yang menganak sungai itu saya faham apa yang ia rasakan.
Kak Ilsa menangis bukan karena dimarahin Bunda. Karena sepanjang proses belajar tadi tidak ada satu kata pun yang menunjukkan bunda diselimuti amarah. Intonasi yang meninggi iya, tapi semua masih dalam lingkup yang wajar dan (bagi saya) tidak ada kata-kata yang menyakitkan. Kak Ilsa menangis mungkin karena Ia frustasi, "mengapa aku tidak bisa bersahabat baik dengan kumpulan angka-angka ini?" atau "mengapa mereka berlompatan tanpa bisa aku kuasai?" atau pertanyaan serupa lainnya yang mengarahkan kepada "astaga, susah sekali matematika ini?"
Entahlah, saya tidak akan mengambil kesimpulan apapun. Tapi jika menarik garis turunan dari DNA saya, mungkin apa yang Kak Ilsa rasakan adalah sama persis dengan apa yang saya rasakan puluhan tahun yang lalu ketika saya kebingungan saat berhadapan dengan pecahan yang berbeda penyebut. Atau beberapa tahun setelahnya ketika saya benar-benar tak bisa memahami persamaan kuadrat. Sepertinya saya bisa menyelami isi fikiran anak saya sendiri dari air mata yang jatuh itu.
Saya yang berniat "mengejek" Kak Ilsa dengan lagu diatas langsung merasa bersalah. Tak ada satu spesies pun di muka bumi yang tega mengejek anaknya sendiri yang kesulitan mengerjakan matematika dengan lagu konyol tersebut, bahkan beruang dan kangguru sekalipun. Saya peluk Kak Ilsa dan saya usap air matanya. Saya besarkan hatinya dengan kata-kata Mutiara dari Mario Teguh, Dalai lama dan Nelson Mandela. Tapi kak Ilsa tidak merespon karena kata-kata tersebut terlalu mengawang-awang dan utopis.
"Gak apa-apa kak, namanya juga belajar. Nanti kakak pasti bisa kok mengerjakannya. Nanti pada saat kakak mempelajarinya untuk kedua kali pasti akan lebih faham. Yang penting jangan menyerah" Kak ilsa nampak mulai tenang dengan kata-kata hangat saya tersebut. Saya pun mulai memikirkan kalimat indah berikutnya untuk mengangkat moral kakak. Mulut saya hampir saja melanjutkannya dengan nasihat yang menggunakan diri saya sendiri sebagai contoh. meninggikan diri saya sendiri alias ujub berbalut nasihat.