Mohon tunggu...
Andy Fitrianto
Andy Fitrianto Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang waktu kecil pengen jadi baja hitam robo

a father, a teacher, a runner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Segitiga Restitusi, Sebuah Pendekatan Pembentukan Karakter Siswa

19 Mei 2024   14:01 Diperbarui: 19 Mei 2024   14:02 2606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga sebagai tempat membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, dilakukan lah berbagai pendekatan termasuk hukuman, hadiah dan yang terbaru di bawa ke ranah kurikulum merdeka ; "restitusi"
Restitusi adalah sebuah pendekatan untuk memecahkan masalah yang dilakukan oleh siswa. Sebuah pendekatan yang bertujuan membentuk karakter siswa dengan cara memberikan kesempatan kepada murid untuk disiplin positif, memulihkan diri dari kesalahan sehingga memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Penekanannya pada cara mereka menghargai nilai-nilai kebaikan yang diyakini, bukan berperilaku untuk menyenangkan orang lain. Tidak seperti Hukuman dan Konsekuensi yang dapat mengatur perilaku siswa secara eksternal, restitusi diharapkan menjadi pendekatan yang mampu mengarahkan perilaku siswa secara intrinsik karena didorong oleh kepercayaan terhadap nilai-nilai kebajikan universal. Dalam konteks pendidikan, restitusi diadopsi dari  pemikiran Diane Gossen dalam  bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) gossen merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle.  


Dalam pendekatan Restitusi, ketika siswa melakukan pelanggaran atau membuat kesalahan, mereka tidak serta merta mendapatkan hukuman. Tapi ada proses penggalian masalah, motif, pandangan dan harapan siswa, serta upaya perbaikan yang bisa dilakukan. Restitusi tidak berfokus pada masalah, tapi berfokus pada bagaimana siswa dapat belajar dari kesalahan tersebut, menemukan solusi untuk mengganti/membangun kembali apa yang telah terjadi dan menghubungkan dengan nilai-nilai kebaikan yang mereka percayai. Pada praktiknya, ada tiga tahapan restitusi yang harus dilalui yaitu Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity), Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehaviour) dan Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)
Tahapan pertama adalah Menstabilkan identitas. Pada fase ini, guru harus memulai dengan pertanyaan dan pernyataan yang tidak menghakimi dan dengan nada serta ekspresi wajah yang netral. Ini adalah fase dimana guru mencoba memulihkan identitas siswa yang merasa gagal atau bersalah berlebihan atas apa yang ia lakukan. Guru harus kembali mengangkat moral siswa dan fokus pada upaya mencari solusi bukan berfokus pada masalah semata.  Apabila tujuan kita adalah membuat jera, maka hukuman mungkin bisa digunakan walaupun pada kenyataanya hukuman hanya bersifat eksternal. Tidak ada keyakinan dalam diri terhadap kebenaran universal yang ditanamkan, namun hanya menciptakan rasa takut, rasa sakit bahkan rasa dendam. Dalam pendektan restitusi, siswa diminta untuk tidak terlalu meratapi kesalahan namun fokus pada bagaimana dapat memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat dan membentuk profil diri yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang dipercayai. Oleh karena itu penting pada fase pertama ini untuk kembali mengangkat mental siswa dan menstabilkan identitasnya. Untuk memudahkan, beberapa pertanyaan dan pernyataan berikut adalah contoh dari tahapan menstabilkan identitas seperti ; "Tidak ada manusia yang sempurna", "Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu", "Kita bisa menyelesaikan ini", "Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini".

Tahapan berikutnya adalah Validasi Tindakan yang salah. Pada tahapan ini guru harus membekali diri dengan pengetahuan bahwa setiap tindakan manusia itu memiliki motif pemenuhan. Baik itu tindakan yang positif maupun negatif. Motif itu biasanya merupakan upaya pemenuhan kebutuhan baik itu pemenuhan kebutuhan bertahan hidup, kebutuhan kasih sayang dan rasa diterima, kebutuhan akan kesenangan, kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan rasa berkuasa. Tindakan yang dilakukan oleh siswa pasti berpangkal dari salah satu kebutuhan diatas. Dengan menggali perasaan dan pandangan siswa, guru dapat menemukan motif. Dengan menemukan motif maka dapat dicari kebutuhan apa yang sedang ia coba penuhi. Hal ini penting untuk menjadi solusi dan simpulan apa yang akan diambil agar siswa tidak terjebak hal yang sama untuk kesekian kalinya. Beberapa pernyataan dan pertanyaan yang bisa diungkapkan guru pada fase ini adalah : "Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu". "Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu". "Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru."


Tahap berikutnya atau tahap terakhir dari segitiga restitusi adalah menanyakan keyakinan. Setiap dari kita pada dasarnya percaya akan nilai-nilai kebaikan universal. Hanya saja dalam perjalannya kita sering kali mengabaikan hal itu. Pada konsep restitusi ini, guru dan siswa diarahkan agar merumuskan bersama nilai keyakinan bersama. Nilai-nilai itulah yang akan dipegang bersama dan menjadi acuan dalam setiap tindakan. Setelah mental serta identitasnya dipulihkan dan tindakan yang salah telah ditelurusi motifnya, maka pada fase terakhir ini siswa dihubungkan kembali dengan nilai-nilai keyakinan dan kebaikan universal yang telah disusun sebelumnya. Siswa diminta menemukan nilai apa yang telah dilanggar dan bagiamana seharusnya nilai itu dijalankan. Pada fase ini juga jika memang dirasa siswa perlu memperbaiki kerusakan yang telah ia lakukan dengan solusi yang dibicarakan bersama. Kemudian anak juga diminta menemukan gambaran personal ataupun dunia berkualitas ideal yang ia harapkan serta bagaimana upaya yang perlu dilakukan agar dunia ideal yang ia harapkan dapat ia wujudkan. beberapa pertanyaan maupun pernyataan yang mungkin bisa membantu meliputi ; Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga? Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati? Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal? Kamu mau jadi orang yang seperti apa?


Ketiga langkah restitusi diatas adalah pendekatan yang baik untuk memunculkan kedisiplinan positif secara intrinsik dari dalam diri siswa. Pada praktiknya memang mungkin tidak akan mudah apalagi jika dihadapkan pada konteks nyata dimana tidak semua hal teoritis dapat serta merta aplikatif. Namun demikian, pendekatan ini perlu mendapat tempat baru pada cara kita memperlakukan siswa. New problems need new solutions. Mungkin itu istilah yang tepat menggambarkan betapa hukuman mungkin tidak selalu efektif dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan di sekolah dalam konteks kekinian. Merubah cara pandang dan tindakan yang telah berlangsung secara lama dan turun temurun memang tidak akan mudah. Ada keengganan untuk memulai, dan ada perasaan skeptis tentang hal baru yang ditemukan dan dipelajari. Namun, jika kita tidak pernah belajar dan mencoba, bagaimana kita bisa tahu bahwa sesuatu hal mungkin saja lebih baik dan lebih efektif dari yang selama ini kita yakini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun