Lahir di tepian sungai musi dan suka makan udang hidup, biar pacak(bisa) berenang katnya, menbuat syam menjadi menjadi anak didikan semesta. Berbual di pematang sawah menbuat ia bisa mengerti arti nyayian kata dan bual si jangkrik , serta tau arti puisi seekor ulat bulu. Sagon itulah kawan sepinya, kadang ia makan bersama sapinya ,maksudnya sapi makan rumput dia disebelahnya makan daun sinkong sambil berbual tentang irama semesta. Pernah kupu hingap ditangannya karena kupu menyangka dan mengira ialah sahabat jiwanya ,kesadaran cosmis tampaknya telah ia masuki dengan jiwa riangnya. Hidup hanya untuk menari dan tertawa bersama semesta dan isinya. Ayahnya pusing ibunya bingung ,disuruh berbual dengan gadis remaja ,agar segera punya timangan dan rasakan di pangil kakek malah ia asik berbual dengan ulat sutra serta sang kupu serta sapinya. Disekolahkan tinggi agar menjadi bupati malah ia lebih suka mengangon sapi. "Sapi dan kupu tak pernah berdusta ,dunia politik hanya kumpulan penjilat belaka , sapi dan kupu mengerti bualanku karena mereka juga bagian sang jiwa dunia ,politik menbuat aku berhenti berbual dengan semesta karena menbuat aku jauh dari sang jiwa dunia" Itulah syam ,yang kukenal mengingatkanku pada seorang darwish teman rumi sang pencinta ,syam dari tabriz namanya. Ada jiwa anak disana , riang menari bersama bulan gemintang , hidup hanyalah rentetan syukur dan cinta katanya. Teruntuk sahabatku syam ,seorang pembual semesta. Salam damai selalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H