Mohon tunggu...
Andi Cipta Asmawaty
Andi Cipta Asmawaty Mohon Tunggu... -

Saya adalah pekerja sosial di lembaga yang bernama Solidaritas Perempuan. Hobi membaca dan menulis mengenai situasi sosial merupakan ketertarikan saya sejak di bangku SMA. Setelah saya menjadi pekerja sosial yang berkaitan dengan perspektif perempuan dan gender, saya terus mengamati sekaligus mengkritisi realitas dari mikro hingga makro. Blog saya: www.feminisgaul.wordpress.com dan personal blog saya: www.andycipta.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Gelar Perempuan Terkorup”: Sebuah Wacana Lain

19 Desember 2011   13:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini bukan untuk membela. Hanya saja tiba-tiba sinisme mendera ketika membaca artikel kompas.com berjudul  “Ini 7 Kandidat Wanita Terkorup Versi Warga Solo” yang dilansir Minggu, 18 Desember 2011 dan dibaca oleh 21579 dan mendapat komentar sebanyak 15 kali. Berita ini menengahkan sekelompok mahasiswa perempuan UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) yang beraksi keprihatinan tentang kandidat perempuan terkorup di Indonesia. Nama kandidat yang masuk adalah Angelina Sondakh, Nunun Nurbatei, MIndo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati, Miranda Goeltom, Malinda Dee dan Andi Nurpati. Gelar tersebut tentu saja untuk menyindir tindakan yang merugikan negara tersebut.

Saya coba menelaah ungkapan-ungkapan orator saat aksi “Car Free Day” di Jalan Slamet Riyadi tersebut. Poster-poster dengan predikat tersebut sungguh tidak etis. Sebagai pekerja sosial yang seringkali berkecimpung dalam demonstrasi, lembaga kami tidak pernah memperkenankan membawa gambar oknum meskipun sudah jelas-jelas bersalah. Figur yang disasar cukup disindir melalui jabatannya atau institusi asalnya melalui aksi teatrikal. Poster dengan foto apalagi melekatkan dengan predikat tertentu merupakan bentuk ketidaketisan. Gambar yang dipampang jelas menyorot wajahnya merupakan bentuk objektivikasi tanpa persetujuan. Pelabelan yang ditempeli merupakan bentuk restigmatisasi. Sudah cukup media mengeksploitasi kehidupan pribadi mereka habis-habisan, tentu sebagai orang yang memperhatikan sisi kemanusiaan, kami tidak akan melakukan tersebut.

Betul, kejahatannya merupakan bentuk pelanggaran ham. Setuju, perilakunya merugikan negara. Tapi tidak perlu dipublikasi ulang dan mereduplikasi apa yang sudah dilakukan. Apa lagi membawa-bawa perempuan. Tujuan mempampang poster tersebut pun kontra produktif yakni agar masyarakat Solo untuk menghapalnya.  Bisa anda bayangkan, ketika ketujuh perempuan tersebut datang ke Solo akan disambut dengan cibiran dan ini juga masuk tujuan dari kampanye ini: agar perempuan tersebut mendapat rasa malu. Aha, malu lagi! Dari hukuman cambuk di Aceh hingga pajangan foto tersebut bermuara pada kepentingan yang sama: rasa malu perempuan. Konsekuensi bukan tanpa campur tangan struktur nilai patriarki. Tanpa tanya-tanya alasan mereka berkorupsi, ujug-ujug pesolek doyan korupsi jadi tempelan seumur hidup. Bagaimana kabar dengan Akbar Tanjung? Soeharto? Tubuh laki-laki mereka tidak masuk dalam basis analisis argumentasi mereka berkorupsi.

Saya cukup sinis jika yang membawa isu ini adalah organisasi kampus dengan garis agama tertentu. Mereka seolah menempatkan diri sebagai kaum moral dan membawa status sebagai mahasiswa sebagai agen perubahan. Perubahan apa yang ingin diwujudkan? Bahwa perempuan tidak berkorupsi sedangkan laki-laki sah-sah saja? Suara yang dikeluarkan adalah suara perempuan tapi belum tentu memikirkan nasib perempuan. Perempuan versus perempuan adalah bentuk kemenangan dalam percaturan politik patriarkis dengan bagaimana caranya. Laki-laki yang membaca Koran atau membuka berita online senin pagi, tertawa dan merasa menang.

Bunyi kampanye ini punya deviasi lain. Pesannya bukan melarang pada tindak korupsi melainkan tubuh perempuan menjadi musabab korupsi.  Kata cantik dan seksi ditempatkan sebagai premis. Ironinya kata tersebut digelontorkan oleh sesama perempuan. Hal ini dapat ditemui dengan kalimat: "Saya membawa poster Malinda Dee. Wanita ini cantik dan seksi juga, tapi sayang suka menipu dan korup. Jadi pantas jika masuk nominasi sebagai tujuh wanita terkorup se-Indonesia," kata Yulia Nur Hayati, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang mengikuti aksi tersebut. Tubuh dan korupsi punya hubungan inkonsisten. Jika laki-laki yang berkorupsi, keluarga si pelaku-lah yang menjadi sasarannya. Terutama istrinya. Bukannya jarang, kita selalu mendengar analisis awam bahwa laki-laki berkorupsi itu sebab istrinya yang selalu menuntut lebih. Bahkan beberapa artikel di media memberi tips istri agar tidak membuat suaminya korupsi. Simpul yang didapatkan di sini, korupsi laki-laki bukan karena dirinya selalu tapi kalau perempuan berkorupsi maka itu murni salah perempuan sendiri. Betapa banyak kita melihat gambar tubuh Malinda Dee yang diekspose habis-habisan oleh media dan dikupas sebagai bagian dari tema korupsi. Bagi jurnalis laki-laki dan perempuan berpikir ala laki-laki, mereka itu guyonan. Tubuh perempuan adalah hak perempuan sendiri tapi jadi pesan mainan yang bisa menaikkan oplah dan animo pembaca. Tubuh perempuan memang empuk jadi sasaran. Mereka sadar betul soal ini dan sadar juga bagaimana cara seluruh penduduk Indonesia membenci sederet nama di atas bukan karena koruptornya tapi karena mereka itu perempuan.

Terakhir, judul artikelnya perlu ditimbang lagi. Ini suara mahasiswa dengan kampus tertentu, bukan suara warga Solo. Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk membela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun