Barangkali sudah banyak dari kita yang mengenal apa itu perencanaan keuangan pribadi maupun keluarga. Di antaranya, bahkan sudah mengenal apa itu perencanaan keuangan Islami. Tetapi, rasanya tak banyak tahu bahwa konsep perencanaan keuangan Islami sudah dikembangkan dan dituliskan oleh pemikir Islam sejak ratusan tahun yang lalu. Salah satunya ialah Abu Fadhl Ja’far bin Ali ad-Dimasyqi, seorang tokoh intelektual muslim yang hidup pada abad ke-6 Hijriyah atau abad ke-12 Masehi. Sebelum mengenali pemikiran beliau, mari kita tinjau sekilas apa itu perencanaan keuangan Islami.
Apa yang membedakan perencanaan keuangan konvensional dengan perencanaan keuangan Islami? Mungkin banyak yang mengira bahwa yang membedakan keduanya hanyalah persoalan instrumen. Sesungguhnya, perbedaan keduanya ibarat dua aliran sungai yang tak pernah bertemu sejak di hulu hingga ke hilir. Keduanya berbeda sejak persoalan niat, prinsip, metode, instrumen hingga persoalan tujuan keuangan yang hendak dicapai.
Secara prinsip, pokok-pokok perencanaan keuangan dan manajemennya telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al Hadits. Hal inilah menjadikan Islam begitu istimewa karena tuntunannya yang begitu lengkap dan menyeluruh terhadap seluruh aspek penting dalam kehidupan manusia. Hal ini pula yang menjadikan prinsip perencanaan keuangan Islami itu sendiri sangat komprehensif, mencakup persoalan niat sampai tujuan-tujuan keuangan yang ingin dicapai manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam Kitab al-Isharah ila Mahasin at-Tijarah wa Marifat Jayyid al-A’rad wa Kadiiha wa Ghush-ush al-Mudallisin fiha (Sebuah Panduan untuk Perdagangan yang Baik, Pengakuan terhadap Barang yang Baik maupun Rusak serta Penipuan oleh Pedagang yang Tidak Jujur), ad Dimasyqi menyinggung persoalan perencanaan keuangan Islami dalam kaitannya dengan prinsip pengaturan family cashflow (arus kas keluarga) sesuai ajaran Islam. Meski buku tersebut lebih banyak mengulas topik-topik makroekonomi seperti teori uang, teori harga dan nilai, teori pasar termasuk penawaran dan permintaan di dalamnya, ad Dimasyqi secara khusus membahas pula tentang pendapatan dan pengeluaran. Prinsip-prinsip tentang pendapatan dan pengeluaran di dalam buku ini dapat diaplikasikan dalam pengaturan keuangan pribadi dan keluarga , bahkan oleh penulisnya dikaitkan pula dengan keuangan negara pada skala yang lebih besar.
Pada bab yang mengulas tentang pendapatan dan pengeluaran, diungkapkan tiga prinsip utama pengaturan arus kas, yaitu:
- Pengeluaran tidak boleh melebihi pendapatan
- Pengeluaran tidak boleh sama dengan pendapatan
- Tidak melakukan sesuatu di luar kemampuan keuangan
Tiga prinsip utama ini, meski nampak sederhana, sesungguhnya mengandung kebenaran universal yang tetap berlaku sepanjang peradaban manusia. Pendapatan keluarga sebagai sumber pembiayaan pengeluaran harus dialokasikan sedemikian rupa sehingga arus kas keluar tidak melebihi arus kas masuk. Lebih jauh lagi, arus kas keluar tidak boleh sama dengan arus kas masuk yang artinya arus kas keluar harus lebih kecil dari kas masuk sehingga tercipta adanya surplus dalam keuangan keluarga. Sementara itu, pada prinsip ketiga terkandung sebuah pesan penting terkait pengendalian hawa nafsu, kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan, serta manajemen dalam menyusun prioritas keuangan.
Selanjutnya, ad Dimasyqi mengelaborasi lima hal yang harus diperhatikan untuk dihindari ketika hendak mengalokasikan dan membelanjakan nafkah. Kelima hal yang harus dihindari tersebut yaitu menutup pintu kebaikan, mempersempit belanja untuk kemaslahatan keluarga, berlebihan, melampaui batas serta manajemen yang buruk.
Hal pertama yang harus dihindari dalam menafkahkan harta atau mengalokasikan pengeluaran adalah menutup pintu kebaikan. Menutup pintu kebaikan dapat terjadi apabila seseorang terlalu banyak menahan harta sehingga tidak tersedia ruang yang memadai untuk mengalokasikan pengeluaran pada pos pengeluaran sosial. Bentuk dari terlalu banyak menahan harta dapat berupa tindakan mengalokasikan sebagian besar aset dalam bentuk non likuid atau terlalu sedikit mengalokasikan uang pada pos pengeluaran sosial. Pos pengeluaran sosial itu sendiri dapat berupa zakat, sedekah, waqaf maupun pinjaman yang baik bagi kerabat yang membutuhkan.
Sebagai panduan umum, agar kita tidak terlalu banyak menahan harta, alokasi pengeluaran hendaknya memperhatikan hak Allah, hak diri sendiri dan keluarga untuk masa kini dan masa mendatang serta hak orang lain. Pendekatan lain, kita dapat mengikuti hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pembagian nafkah menjadi sepertiga untuk sedekah, sepertiga untuk dikonsumsi dan sepertiga untuk dijadikan modal kerja atau investasi yang nantinya akan kembali menghasilkan.
Hal kedua, menghindari sikap terlalu irit dalam belanja keluarga mendekatkan kita pada sikap pertengahan. Belanja keluarga yang dimaksudkan di sini adalah pengeluaran-pengeluaran yang merupakan kebutuhan baik kebutuhan yang melekat pada diri seperti sandang, pangan dan papan, maupun kebutuhan eksternal seperti kesehatan dan pendidikan.
Sikap pertengahan dalam membelanjakan harta dianjurkan dalam Islam sebagaimana firman Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat Al Furqan ayat 67 yang artinya “…Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”