Sore itu saya menyaksikan keterangan pers dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terkait panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran dan tahun akademik baru di masa panemi covid-19. Kementrian mengeluarkan 4 kebijakan yang dijadikan pedoman dalam menggelar pembelajaran tatap muka. Setelah itu di beberapa group komunikasi yang saya ikuti, banyak teman-teman pengelola sekolah yang curhat, walaupun bukan ke saya secara pribadi, namun hal tersebut menggugah perhatian saya.
Tidak sedikit teman-teman yang menceritakan akibat dari Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kementrian tersebut beliau menjadi kehilangan murid karena tidak jadi menyekolahkan anaknya di sekolah yang dikelola oleh teman saya ini, itu hanya satu contoh kejadian, saya kira masih banyak kejadian-kejadian lain di luar sana seperti sekolah yang ditutup karena tidak ada pemasukan, kemudian pemberhentian guru, dan lain sebagainya.
Saya teringat obrolan teman baik saya beberapa bulan yang lalu, teman saya mengelola sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus secara mandiri, sekolah beliau menjadi salah satu sekolah yang terdampak dan terancam tutup jika kondisi pandemi ini tidak segera membaik. Dan ternyata beliau tidak sendirian mengalami hal demikian, banyak teman-teman beliau yang kebetulan saya juga mengenal, juga terdampak oleh pandemi ini.
Curhatan beliau dengan sesama pengelola sekolah swasta di Propinsi Bali justru memunculkan ide cemerlang bagi para pengelola ini. Melalui forum yang diinisiasi oleh Jentina Yulyanti, Jeanne Selvya Damorita Rotte, dan Sutaningrat Puspa Dewi, melakukan survey dampak pandemi bagi sekolah swasta di Bali. Dan ternyata survei ini berhasil menghimpun data 160 pengelola sekolah yang bertindak sebagai pengambil keputusan tertinggi seperti Ketua Yayasan, Direktur, Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah.
Para pengelola ada yang membawahi 1 jenjang pendidikan, beberapa jenjang pendidikan dan beberapa cabang sekolah. Demografi responden tergolong lengkap dari 9 kabupaten/kota dengan proporsi Badung (45), Bangli (20), Buleleng (6), Denpasar (36), Gianyar (5), Jembrana (5), Karangasem (9), Klungkung (25), dan Tabanan (9).
Berdasarkan status ijin operasionalnya responden termasuk dalam 3 kategori: Sekolah (148), Madrasah (7) dan PKBM (5). Secara umum temuan yang didapat meliputi:
1) Rata-rata siswa yang tidak membayar SPP secara penuh adalah 54%,
2) Rata-rata guru yang mengalami pemotongan gaji sebanyak 41%,
3) Sebanyak 29% sekolah termasuk dalam resiko penutupan dan 19% sekolah sedang/akan melakukan pemutusan kontrak kerja karena defisit anggaran dalam periode Mei-Desember 2020, dan
4) Sebanyak 40% sekolah masih terbebani dengan biaya sewa baik bangunan maupun tanah. Wah luarbiasa ya, survey ini dilakukan dalam kurun waktu 14-17 Mei 2020, dan itulah temuan yang beliau-beliau ini dapatkan. Namun masih ada lagi lanjutan hasilnya.
Sehubungan dengan pengalaman belajar siswa selama pandemi, beberapa masalah yang berkembang antara lain kemampuan orang tua membelikan kuota, ketersediaan perangkat (Laptop, HP), kebutuhan pendampingan dari orang tua atau orang dewasa saat belajar di rumah, ketersediaan sinyal, capaian belajar yang tidak berkesinambungan dan motivasi, fokus serta efektivitas belajar di rumah.