Mohon tunggu...
Sesar_____
Sesar_____ Mohon Tunggu... Lainnya - Conten Writer

Menuju Waktu Yang Akan Datang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mangga Muda

22 September 2020   14:56 Diperbarui: 23 September 2020   12:56 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mati-matian ia lari dari kejaran anjing kampung milik salah satu warga dan setelah lima belas menit akhirnya ia lepas juga dari horornya taring anjing kampung itu. "Dasar asu!" makinya. 

Hampir saja ia tergigit karena kebodohanya yang tidak dapat ditolerir lagi saat hendak mengambil mangga muda di rumah Hasan Sadili yang kaya raya. Kalau saja istrinya tidak hamil ia tidak akan mau repot-repot mengambil itu.

Sebetulnya, Norman, sahabatnya, telah memberikan saran padanya untuk izin saja dengan alasan masuk akal tentu Hasan Sadili akan memberikan barang satu atau dua buah. 

Saran itu dia tolak mentah-mentah. Bukan karena ia takut berbicara dengan Hasan yang kaya raya itu, tetapi lebih karen sifat kikirnya yang lebih tinggi dari Merapi di Jogja.

Ia memiliki pengalaman buruk saat hendak meminjam sepeda motor milik Hasan yang kaya raya itu. Suatu hari, istrinya butuh dibawa ke rumah sakit secepatnya karena ada sesuatu yang mengganggu rahimnya saat hamil anak pertama. Saat ini kehamilan istrinya memasuki anak yang ketiga. 

Hampir tiap tahun jebol terus bikin ia putar-balik otak untuk menutupi biaya persalinan, walhasil koperasi menjadi andalan pinjam dulu dengan memakai sistem gali lubang-tutup lubang. Digali terus, tutupnya malah tertunda-tunda.

Hasan tidak memberikan pinjaman motor, padahal parkiran kirinya yang luasnya cukup untuk bikin kamar dua, diisi delapan motor. "Dasar medit!" tukasnya dalam hati sembari menyunggingkan senyum kecut pada Hasan yang kaya raya lalu berlalu pergi meninggalkannya.

Sejak saat itu ia tidak pernah barang satu kali pun menginjakkan kaki di rumah Hasan yang kaya raya itu. Jangankan menginjakkan kaki, melirik ke dalam pagarnya saat terbuka tipis-tipis kala ia melintas saja ia tidak sudi.

Rasa jijik selalu tiba saat melintasi perempatan Jalan Modang. Hal itu ditenggarai karena ia harus melihat potret Hasan yang kaya raya segede gaban. 

Potret bahagia calon bupati setempat yang  terpampang dalam spanduk, wajahnya dipenuhi dua gunung di kanan dan kiri, di tengahnya terdapat hidung jambu dengan kumis tipis, matanya yang sipit lebih terlihat seperti tumpukan ijuk sapu yang diratakan persegi panjang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun