Sampai kelas dua SMA, Aku belum tahu itu gambar apa namanya. Aku hanya sering melihat gambar itu ditempel dirumah peribadatan maupun toko milik orang tionghoa. HIngga suatu saat, sewaktu dikelas, saya tanya sama Yoel : “ El, Kowe nggambar opo to kuwi …” secara spontan, yang menurutku aneh, Yoel asli jawa menggambar lambang itu.
“Oh… iki jenenge Yin dan Yang, Ndung. Lambang keseimbangan” katanya sambil tangannya terus menggambar. “ Lha terus…. kuwi artine opo?” tanyaku mengejar.
“Warna ireng kuwi melambangkan kejahatan dan warna putih kuwi melambangkan kebaikan. Neng njerone warna ireng ono lingkaran kecil warna putih, terus neng njero warna putih ono lingkaran kecil warna ireng, kuwi artine bahwa di dalam kebaikan ada kejahatan dan sebaliknya didalam kejahatan ada kebaikan. Mereka saling berhubungan,mereka dinamis dan mereka saling membangun tapi mereka saling berlawanan...”katanya menerangkan panjang lebar bak filsuf remaja.
Apapun yang kontras, tidak akan pernah bisa menyatu. Gelap dan terang, Kebaikan dan kejahatan pun tidak akan pernah menyatu. Andaikata dicampuradukan pun maka kita tidak akan pernah bisa menyebut sebagai hitam atau putih.
Dalam Kepemimpinan, hukum ini juga dianut. Kemarin seorang teman menasehati saya, katanya: “Ada dua hal dalam kepemimpinan, Ndung, yang akan diingat oleh bawahan. Kamu akan dicap sebagai pemimpin yang baik hati atau pemimpin yang tegas. Dan kamu harus memilihnya ? dengan segala risikonya”.
Sama seperti Yin dan Yang diatas, baik hati atau tegas, merupakan dua hal yang kontras bagi seorang pimpinan. Pemimpin yang baik hati biasanya akan disalah artikan dengan lemah kepada bawahanannya. Demikian sebaliknya, pemimpinan yang tegas biasanya , akan dicap sebagai tangan besi serta tidak punya hati. Dan demi menjaga hukum keseimbangan, biasanya seorang pemimpin yang baik hati, akan mengimbangi dengan ketegasannya, meski peranannya kecil. Sama seperti lingkaran kecil dalam Yin dan Yang. Dan bagi seorang pemimpin yang tegas, juga akan ditampakan sisi kebaikan hatinya. Tapi tetap saja kita tidak akan pernah bisa menyatukan dua hal kontras tadi.
Ada juga seorang teman lain, yang sama-sama suka ngeteh pernah mengatakan: ”Andaikata , kebaikan dan ketegasan dipaksakan untuk dicampur, itu akan sama seperti warna hitam dan putih yang dijadikan satu. Memang akan muncul warna baru dan kita menyebutnya abu-abu. Sedangkan istilah ini agak berbau peyoratif”, kata Slamet, yang namanya sering diplesetkan menjadi “selak metu”, yang artinya keburu keluar.
Meski aku nggak bisa memahami “istilah kok berbau”dan maksud peyoratif, yang diungkap Slamet. Bagiku itu suatu istilah yang njlimet, tapi Aku enggan menanyakan lebih lanjut. Takut ceritanya jadi kepanjangan dan teh panas kesayangaku keburu dingin. “Besok kapan-kapan yo Met, kalau ketemu lagi aku aku tanyain wis..”, aku membatin sambil menyeruput teh sore itu. Ssrrrllluuupppp……Ahhh……. nikmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H