Kadang saya pingin protes sama orang tuaku. Lha bagaimana tidak, mentang-mentang lahir di Bandung terus aku dikasih nama Andung. Cuma dihilangin huruf “B”nya doang…. Nggak kreatif banget kan ?. Terus…nama belakangku juga, “Yuliyanto”, menurutku ini juga nama yang nggak kreatif, absurd. Jelas banget kan, dengan nama “yuli", nggak mungkin dong aku lahir bulan September ?. Terus… apa maksudnya pula ada sisipan huruf”Y” ditengah itu… umumnya penulisan yang bener, kan, begini “Yulianto” bukan “Yuliyanto”. Aku pikir-pikir itu sebenarnya bunyi sengau. Dikaidah penulisan, bunyi sengau nggak perlu ditulis. Kayak, tulisan uang yang dibaca uwang. Seolah ada huruf "w" diantara huruf u dan a, tapi tidak ditulis uwang kan ?.
Dampak dari nama yang agak susah bin njlimet ini, kalau terima email, banyak yang nyasar. Kalau ikut seminar, yang serifikatnya langsung jadi, biasanya penulisan nama sering salah. Kalau dibikinkan kartu nama, seringnya salah juga . Mungkin males cek ulang, kali ya?
Awalnya aku memang, menganggap orang tuaku nggak kreatif. Seiring waktu, sekarang pandanganku tentang kreatifitas agak beda.Kreatifitas sebetulnya sesuatu yang sederhana kok. ”Kalau belum ada polanya, kita ciptakan polanya. Kalau sudah ada polanya, kita rusak pola. Dengan begitu kita kita akan mendapatkan sesuatu yang beda… sesuatu yang kreatif” begitu yang tertulis dalam buku lanturan tapi relevan. Budiman Hakim, si penulis buku ini, mempercayai, segala sesuatu itu ada polanya.
Ya benar…. kreatifitas memang sesederhana itu. Contoh paling gampang, kalau kita melihat para penari latar dalam sebuah panggung pertunjukkan. Ketika para penari latar, semuanya berpakaian warna putih-putih, tiba-tiba pemain utamnaya, muncul dengan berpakaian warna merah. Mata langsung tersedot, memperhatiakan. Terlepas kesannya norak abiss ….tapi gak papa, karena itu memang yang diharapkan. Menabrak pattern kan ?Pola yang putih-putih ini dirusak dengan munculnya warna merah. Tapi dari efek dari kegiatan merusak ini, dampaknya ada sesuatu yang mencolok, ada sesuatu yang berbeda. Karena ada satu yang berbeda, maka komposisi pertunjukkan itu menjadi ada point interestnya, menjadi lebih dinamis…. kira begitu logikanya.
Contoh lain, ketika adakursi yang berserakan dalam sebuah kelas, kemudaian kita menatanya. Kita atur menjadi beberapa lajur, beberapa baris. Kita kumpulkan dan kelompokan sendiri-sendiri. Pemandangan menjadi berubah kan ? Menjadi rapi ? seolah disentuh dengan kreatifitas tinggi, padahal kita hanya menata saja. Terlihat ada polanya dan kelihatan ritmis. Langkah sederhana itu sudah membuat sebuah perubahan. Sederhana banget kan kertifitas itu ?.
Sekarang tantangannya bukan sekadar merusak pola yang ada, tapi merusak dalam pengertian membuatnya menjadi lebih baik. Dan ini perlu sebuah skill lho…, perlu sebuah kemahiran. Bahasa kerennya perlu strategi juga dalam meniru.
Oded Shenkar, salah seorang Direksi di Ford Motor dan Profesor di Ohio State University, pengagas dan penulis buku Copycat, mencatat :”Salah satu strategi dalam meniru adalah dengan menjadi imovator, imitator dan innovator. Kita tidak boleh berhenti di proses imitasi saja, atau benar-benar “ngeplek” dengan yang kita tiru, tapi harus ada sedikit sentuhan-sentuhan kita. Kalau bisa, harus lebih baik dari hasil tiruannya. Sehingga, kita bisa menghasilkan ciri khas sendiri”.
Meskipun, dengan hanya meniru”plek”, tetaap saja ada ceruk pasar yang akan menampung produk kita. Ada istilah bisnis, namanya : “me too”, ini adalah model bisnis, yang sengaja meniru apa saja yang menjadi trend.Bisnis ini tidak mempunyai kompetensi lebih, tidak punya karakter. Apapun yang lagi best seller, dia akan banting stir untuk masuk ke pasar itu. Dan anehnya, sebuah riset menuliskan, bisnis ini akan tetap ada, karena mendapatkan share market 30%, limpahan dari market yang besar. Lumayan kan untuk sebuah bisnis yang sekadar meniru ? .
Shenkar pun bercerita, bahwa kebanyakan ide bisnis sekarang ini, juga hasil meniru dari tempat lain. Mc Donald meniru White Castle. Visa, Master Card dan American Express meniru Dinner Club. Apple Ipod meniru Saehan MPman. Dan ternyata 97,8 % dari keuntungan atas inovasi diterima oleh para peniru ini. Wow....Powerfull banget kan peniruan itu? Padahal Biaya riset itu mahal lho….Begitu salah satu bab yang aku baca dari bukunya Tanadi Santoso : “Career and Business Breakthrough. Sebentar lagi beredar kok, ditoko buku. Jadi meniru adalah proses yang wajar dan alamiah, bukan hal yang memalukan.
Oh ya… kembali ke soal nama. Bagaimana dengan namaku tadi, mungkin ibuku mencoba untuk meniru dan melakukan sedikit modifikasi, tapi sayangnya, karena keterbatasan pemahaman dan referensi, maka hasil tiruannya tidak maksimal, tidak menjadi lebih baik. Menjadi unik sih …. iya. Tapi piye-piye, aku tetap matur nuwun, dikasih nama Andung Yuliyanto !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H