Mencuatnya kasus sandal jepit menggemparkan publik, tidak hanya publik dalam negeri bahkan sampai keluar negeri yang ditandai dengan dimuatnya di media Amerika Serikat Washington Post “Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice”.
Kasus ini bermula pada bulan November 2010, Aal siswa SMK Negeri Kota Palu, Sulawesi Tengah dituduh mencuri sandal bersama temannya dirumah kos Briptu Ahmad Rusdi dijalan Zebra Kota Palu. Enam bulan kemudian tepatnya bulan Mai 2011 Aal dipanggil polisi, ketika "diinterogasi" Aal dan temannya mengaku mencuri sandal-sandal itu dan akhirnya kasus tersebut dilimpahkan kepengadilan.
Di pengadilan Aal didakwa oleh jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan ancaman 5 tahun penjara, kemudian hakim dalam putusannya menyatakan Aal bersalah dan dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina, artinya Aal tidak dijatuhi hukuman penjara sama sekali.
Menurut pandangan saya kasus Aal adalah kasus yang biasa, dimana seseorang melakukan pencurian kemudian diadili dan divonis bersalah oleh pengadilan. Namun, kasus “sandal jepit” ini menjadi luar biasa ketika dibenturkan dengan kasus Bank Century, Kasus Cek Pelawat, Kasus IT KPU, kasus Gayus, Kasus Wisma Atlet dan kasus-kasus besar lainnya. Disaat media memberitakan kasus pencurian sandal jepit diancam dengan penjara lima tahun tentunya membuat publik terkejut dan berang terhadap penegak hukum di Indonesia yang akhirnya menimbulkan simpati, sehingga muncullah “Gerakan 1000 sandal jepit untuk pembebebasan Aal”yang diprakarsai oleh masyarakat dan akan diserahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pengganti sandal Briptu Ahmad Rusdi, sekaligus sebagai ungkapan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang dinilai “tebang pilih”.
Banyak faktor yang membuat kasus Aal “booming”, pertama kasus Aal dinilai kasus kecil namun diancam dengan 5 tahun penjara, kedua korban pelapornya adalah seorang Polisi, dimana polisi saat ini sedang merosot popularitasnya terkait kasus Mesuji dan Bima NTB, ketiga kesenjangan penegakan hukum kasus Aal dengan kasus besar lainnya, hukum di Indonesia seolah hanya tajam kebawah namun tumpul keatas, artinya hukum hanya bisa ditegakkan ketika berhadapan dengan orang-orang kecil yang berkantong tipis atau bahkan tidak berkantong sama sekali, namun begitu sulit hukum ditegakkan bagi mereka yang berkantong tebal.
Dari pengadilan “Sandal Jepit” ini ada yang menarik untuk dikupas dan menjadi ganjalan rasa keadilan masyarakat, yaitu mengenai barang bukti sandal yang diajukan jaksa penuntut umum ternyata bukanlah milik korban pelapor Briptu Ahmad Rusdi, sehinga muncul banyak pernyataan bahwa putusan hakim salah, tidak cukup alat bukti karena sandalnya salah, batal demi hukum dan pernyataan cibiran lainnya.
Dalam mengambil putusan seorang hakim harus berpedoman pada peraturan yang berlaku, dalam hal pembuktian pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” artinya dalam putusan kasus Aal hakim telah melakukan pembuktian dengan cara dan alat-alat bukti yang sah dan memiliki keyakinan yang didasarkan atas cara yang sah menurut Undang-undang.
Apakah alat bukti itu? Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, d, keterangan terdakwa.
Apakah Sandal dapat disebut Alat bukti? Jika melihat pada pasal 184 KUHAP sandal bukanlah alat bukti tetapi hanya merupakan barang bukti, namun sandal dapat digolongkan sebagai alat bukti petunjuk riil nonkonvensional yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan, dimana akhir-akhir ini sering digunakan dalam pembuktian dipengadilan untuk memberikan keyakinan pada hakim dalam mengambil keputusan.
Apakah ketidak cocokan sandal korban pelapor dengan sandal yang di hadir kan dalam persidangan dapat dikatakan hakim telah keliru dalam mengambil keputusan? Sebagaimana telah disebutkan diatas hakim dapat menghukum seseorang dengan minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, alat bukti ada lima, jika hakim mengambil keputusan berdasarkan dua alat bukti yaitu keterangan saksi dan keterangan terdakwa ditambah keyakinan hakim maka putusan hakim tersebut sudah benar.
Apabila hakim tidak memperolah keyakinan dari alat bukti yang sah maka hakim dapat menjatuhkan hukuman bebas dari segala tuntutan, walapun dua alat bukti yang sah telah telah diperoleh dalam persidangan, namun hakim tidak memperoleh keyakinan, maka hakim tidak wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Tidaklah dapat menjadi alasan bahwa hakim telah keliru dalam menjatuhkan vonis terhadap Aal, karena sandal bukanlah satu-satunya alat bukti bagi hakim dalam mengambil keputusan.
Putusan hakim yang menyatakan Aal bersalah dan mengembalikan kepada orang tua untuk dibina menurut saya adalah tepat. Menurut teori absolut setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seseorang mendapat pidana kerena telah melakukan kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Namun hakim dalam putusan kasus Aal cukup bijaksana memberikan putusan dengan menggunakaan pedekatan teori relatif atau nisbi yaitu suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Hakim melihat tidak ada manfaat menjatuhkan pidana pada Aal, dan juga hakim melihat pada masa depan dan ada tujuan lebih besar dari pada sekedar menjatuhkan pidana. Tujuan putusan ini adalah agar dikemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang kembali.
Kedepan kasus-kasus kecil seperti Aal ini tentunya tidak perlu untuk sampai masuk kepengadilan, cukup dilakukan pembinaan oleh kepolisian, untuk dapat melakukan pembinaan di tingkat kepolisian harus ada regulasi khusus tentang perlindungan anak, dan DPR harus merespon itu dengan merumuskannya didalam RUU KUHP dan RUU KUHAP.
Ketidak percayaan publik terhadap institusi Kepolisian dan Kejaksaan saat ini bisa dijadikan momentum bagi Kapolri dan Jaksa Agung untuk instropeksi diri dan melakukan restorasi internal lembaga masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H