(Nasehat orang tua yang patut menjadi perenungan)
Pada suatu hari di Jakarta, saya berdiskusi dengan orang tua, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang meyakini Taoisme konservatif. Dengan usianya yang bisa dibilang sepuh, kematangan nalar dan analisanya terhadap berbagai kondisi sosial yang terjadi di negeri ini terbilang tajam.
Daya analisisnya sebanding dengan para tokoh yang sering memberikan komentar di media massa tentang berbagai fenomena sosial yang muncul di masyarakat. Yang berbeda adalah kemampuannya dalam membaca kondisi masa depan Indonesia serta dunia jauh ke depan.
Topik pembahasan mengenai relasi historis spiritualitas bangsa di Asia Timur, kaitannya dalam melihat relasi bangsa Tionghoa dan Indonesia dari perspektif yang diyakininya. Menurutnya, Indonesia adalah adik bungsu yang diciptakan oleh para dewa dan diberikan anugerah yang luar biasa besar atas kondisi geografis, kekayaan sumber daya alam, serta kesuburan tanahnya.
Bila dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia Timur, Selatan dan Tenggara, menurutnya tidak ada negara yang secara alamiah memiliki tanah yang begitu subur dan kaya seperti Indonesia. Dan jika diperbandingkan, menurutnya kondisi alam Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan China.
Kondisi yang demikian menurutnya adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang begitu besar terhadap Indonesia, negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa. Anugerah sang maha kuasa ini sekaligus menjadi kelemahan tersendiri bagi negeri ini.
Indonesia menjadi negeri yang diperebutkan oleh komunitas internasional dengan pendekatan multidimensional, ideologi, politik, ekonomi, budaya, hukum maupun militer. Pengalaman 350 tahun periode kolonialisasi di bumi Nusantara musti menjadi pelajaran penting bagi generasi baru, bahwa tidak mudah membangun kemandirian bangsa di negeri kecintaan para dewa.
Menurutnya kini jaman telah jauh berubah, Â China, Jepang, Korea Selatan bahkan Vietnam telah berubah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat diperhitungkan.
Peta dunia tidak lagi dimakanai dengan perspektif awal ketika para dewa menciptakan Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa. Indonesia tidak bisa lagi hanya menggantungkan kegiatan ekonomi pada kekuatan sumber daya alam yang selama ini diunggulkan.
Kompetisi ekonomi bergeser kepada kemampuan produktifitas bangsa dalam menghasilkan berbagai produk yang diminati pasar dunia maupun yang dibutuhkan oleh pasar dalam negeri. Produktivitas yang mensyaratkan daya saing antar produk di pasar internasional karena Indonesia telah mengikuti arus kebijakan politik dan ekonomi terbuka.
Dia menyampaikan suatu pemikiran, seharusnya dengan modal geografis yang begitu baik semestinya Indonesia bisa mencontoh beberapa negara di dalam kawasan yang masyarakatnya maju secara ekonomi dan politik. China, Korea Selatan dan Jepang dicontohkan mendapatkan kemajuan karena adanya kesadaran besar dari para pemimpin nasionalnya untuk mendorong negaranya tumbuh menjadi bangsa yang kuat secara politik dan ekonomi.