Mohon tunggu...
Andry Nugraha
Andry Nugraha Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media dan Pernikahan Dini

16 Desember 2018   21:36 Diperbarui: 16 Desember 2018   21:43 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan dini merupakan sebuah fenomena yang masih hangat diperbincangkan di masyarakat jagat maya maupun nyata. Pernikahan dini juga merupakan suatu gejala sosial yang melobatkan berbagai unsur dalam masyarakat dan ini pun merupakan hasil konstruksi sosial sekaligus sebagai sebuah stereotype baru yang mempunyai makna tersendiri bagi pelakunya. Pada saat yang bersamaaan pernikahan dini cenderung diposisikan pada asumsi yang berkonotasi negatif, karena nilai-nilai sakral pernikahan sudah menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat. Hal ini, tidak terlepas dari pengaruh agama, pendidikan, moderenisasi, kemajuan teknologi, hingga media massa, sehingga menciptakan interkasi sosial masyarakat yang sangat bebas nyaris tanpa batas.

Dalam hal ini, penulis lebih menekankan media sebagai sebagai salah satu faktor yang menyebabkan adanya pernikahan dini tersebut. Yang dimana pola konsumsi masyarakat dalam hal, menonton acara-acara televisi hingga bersosial media. Juga, penulis ,melihat dari dua sudut pandang, pertama Media dalam basis agama, kedua, Media dalam aspek Patologi Sosial.  

Media sosial sangat berperan besar dalam upaya memicu terjadinya pernikahan dini. Melalui dakwah-dakwah Islam yang diserukan oleh Ustadz dan Ustadzah "Gaul" atau "Kekinian" telah memberi dampak yang begitu besar sehingga memunculkan fenomena-fenomena seperti Hijrah, Semangat Hijrah dan lain-lain, yang secara tidak langsung telah mengkonstruk pola pemikiran dan bahkan pola hidup seseorang ketika mereka masuk pada satu ruang yang dimana isinya selalu membahas itu-itu saja, seperti yang telah disebutkan diatas, dakwah-dakwah Hijrah melalui media seperti Youtube, Instagram, Facebook dan media-media lainnya.

Tokoh-tokoh agama membawa semangat dakwah dalam bentuk dan gaya baru, yaitu Hijrah. Pada dasarnya, hijrah adalah suatu proses perpindahan atau migrasi di masa Rasulullah. Lalu orang-orang milenial menyebut hijrah sebagai proses perpindahan dari kebiasaan lama yang tidak sesuai syariat menuju kebiasaan baru yang sesuai syariat. Dalam hal ini tentu terjadi perubahan yang cukup signifikan bagi mereka yang hijrah. Perubahannya bisa dilihat dari symbol yang digunakan, misalnya pakaian. Lalu merambat kepada sikap yang tampilkan oleh orang yang hijrah. Tidak hanya itu, kebiasaan dan pola hidupnya juga berubah secara signifikan. Tentu hal itu diawali dari pola pikir atau ideology yang hijrah.

Tidak hanya sampai disitu. kalangan anak muda yang juga sangat gencar dengan proses hijrah ini tidak sekadar melakukan perubahan secara simbolik, tapi jelas dengan cara berpikir. Di usia mereka yang terbilang masih muda dan menggebu-gebu, serta keinginan atau hasrat secara biologis bergejolak dalam diri, juga mengalami perubahan. Bisa dikatakan bahwa hasrat tersebut mengalami proses hijrah juga. Contohnya, sebelum berhijrah, anak-anak muda masih berpikir bahwa pacaran itu hal yang bisa. 

Semua orang melakukannya. Ketika mengenal pemahaman agama lebih dalam, dengan serta merta menggap bahwa pacaran itu tidak baik, haram, dsb. Beberapa kalangan akan berhenti dan menjauhi hal tersebut dengan dalil bahwa itu mendekati perzinahan. Lalu sikap yang diambil ekspektasi yang berlebihan dalam membayangkan pasangan hidupnya. Barangkali dengan dirinya yang hijrah akan mendapatkan kekasih yang shaleh atau shalehah tanpa mempertimbangkan hal-hal yang harus dimiliki sebelum sampai kepada pernikahan. Paling tidak orang yang hendak menikah harus memiliki tiga hal berikut: (1) kematangan berpikir, (2), kematangan usia, (3) dan materi.

Jika dilihat dari segi Patologi Sosial Pernikahan dini di massa sekarang dan disini penulis menyebutnya "Pernikahan Generasi Milenial"  tidaklah terlepas dari masalah lingkungan dan pergaulan, kenapa begitu ? melihat realitanya, pernikahan anak dizaman sekarang bukan lah berpacu pada keinginan orang tua apalagi menjalankan syariat agama, tetapi merupakan keinginan pelaku itu sendiri. Melakukan hubungan seksual sampai "hamil diluar nikah" menjadi salah satu factor penyebab adanya  pernikahan dini, yang dimana orang tua pun dengan secara terpaksa rela mengawinkan anaknya demi menjaga aib dan nama baik keluarga, yang pada akhirnya hal-hal seperti ini menjadi sebuah kebiasaan yang terjadi dimasyarakat. Dalam hal ini pun penulis lebih menitik beratkan tehadap pola dan gaya hidup anak-anak di era milenial sebagai pemicu adanya pernikahan dini, yang dimana lingkungan dan pergaulan berperan besar terhadap pembentukan karakter dan pola pikir anak zaman sekarang.

Media menjadi salah satu pengaruh adanya penikahan dini tersebut walaupun masih banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hampir rata-rata hal ini dilakukan oleh "Generasi Milenial" di era sekarang yang dimana mereka sudah mahir entah itu bermain gadget maupun berselancar di dunia maya. Masalah pernikahan dini, memang belum bisa diselesaikan dengan baik, bahkan hingga sekarang nampak semakin menjamur dan terjadi dimana-mana, hal ini terjadi pada anak yang dibawah usia 20 tahun.

Pernikahan dini juga sangat beresiko, terutama pada segi kesehatan perempuan, apalagi hamil di usia muda yang justru sangat beresiko pada psoses persalinan dan kesehatan rahimnya. Juga dari segi mental dan jiwa, pasangan usia muda lebih rentan terhadap lingkungan sosialnya, dan belum mampu bertanggung jawab pada setaip yang menjadi tanggung jawabnya, oleh karena itu kadang mereka mengalami kegoncangan mental karena masih memiliki sikap mental yang masih lebih, serta tingkat emosionalnya belum belum matang.

Hematnya, pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di mata masyarakat di zaman sekarang. Pernikahan dini ada benarnya, juga banyak salahnya dan tentunya bersifat individual relatif. Dalam artian, ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah  di usia dini sudah mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah adalah "alternatif" terbaik, juga harus memperhatikan sudah berapa jauh pengalamannya, kedewasaannya, dah bahkan pola pikirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun