Menyantap roti jadul alias roti dengan gaya klasik bagi saya adalah sebuah kenikmatan yang tak terbantahkan. Bagi saya roti jadul dengan tekstur agak kasar dan sedikit keras terasa lebih alami nikmatnya, jika dibandingkan dengan roti gaya modern yang justru semakin digandrungi dengan menawarkan konsep dan variasi yang jauh lebih beragam. Tetapi, urusan selera tampaknya suatu hal yang melekat pada perasaan dan mungkin juga pada jiwa seseorang.
Untuk urusan roti jadul saya memiliki beberapa roti favorit, salah satunya adalah roti Djoen di Yogyakarta. Ya, perjalanan ke Yogyakarta memang selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya, selain karena saya memiliki sahabat baik dan niat melarikan diri dari rutinitas pekerjaan yang membosankan untuk berwisata dengan harga terjangkau, ternyata saya juga terpikat oleh cita rasa roti Djoen.
Terakhir saya berkunjung ke toko roti Djoen pada 29 September 2017. Tujuan utama kedatangan saya ke Yogyakarta waktu itu adalah terkait dengan urusan menyaksikan konser Dream Theater.
Momen langka, salah satu band favorit menggelar pertunjukan di tempat wisata favorit, tentunya kesempatan yang tidak saya sia-siakan untuk berangkat. Setelah semua persiapan untuk bertempur menyaksikan konser Dream Theater terpenuhi ada satu hal yang saya wajib kunjungi di Yogyakarta, yaitu toko roti Djoen. Tentunya logistik yang enak perlu disediakan untuk menyaksikan John Petrucci, John Myung dan rekan-rekan beraksi.
Toko roti Djoen menurut beberapa ulasan yang pernah saya baca merupakan salah satu legenda di Yogyakarta bagi kalangan penggemar roti. Ketika saya pertama kali berkunjung ke toko tersebut beberapa tahun lalu, memang tokonya bergaya lama, bangunan dan interior dengan desain tahun 60 atau 70-an, tetapi justru itulah yang menjadi daya tarik bagi saya. Dan setelah saya mencoba beberapa produknya, memang enak, karena saya penggemar roti klasik. Rasanya sederhana tetapi mengena. Tektsturnya padat, tidak selembut dan tidak seempuk roti modern. Terkadang kesederhanaan memberikan kemewahan.
Menurut beberapa cerita yang saya pernah baca mengenai toko ini, sebenarnya toko Djoen telah lama berdiri. Guna meyakinkan sejarahnya saya mencoba mencari contekan. Eureka! Ternyata saya menemukan artikel dari Intisari yang menuliskan bahwa toko Djoen mulai beroperasi sejak tahun 1942. Ternyata sudah sekitar 76 tahun. Lama juga ya.
Generasi pertama dari toko roti Djoen adalah Tan Qian Ngau dan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Haryono Waluyowati. Dengan tetap mengandalkan resep dan proses pembuatan yang masih sama pada saat toko roti ini berdiri. Jadi untuk urusan rasa dan kualitas masih asli. Mengenai harga, jangan khawatir, menurut saya harga di toko roti ini masih terjangkau. Saya membeli sebuah kue sus seharga Rp 3000 dan roti cokelat seharga Rp 6000.
Bagi saya menyantap roti Djoen bukan hanya sekadar menikmati kelezatan roti, tetapi menikmati sejarah, menyelami rentang waktu sejak tahun 1942, bagaimana dari sepotong roti tersimpan berbagai kisah dan kenangan. Kiranya banyak orang memiliki kenangan dengan toko roti ini.Â
Bagaimana tidak. Sejak Yogyakarta masih sangat kental dengan kultur tradisionalnya sampai saat ini semakin tergerus dengan gaya modern, toko roti Djoen masih memiliki penggemar. Termasuk saya, bukan penduduk Yogyakarta, namun setiap kali ke Yogyakarta pasti berupaya menyempatkan diri berkunjung ke toko Djoen. Mungkin saya sudah termasuk sebagai penggemar ya.
Dari sepotong roti Djoen saya bisa merasakan filosofi kerja keras pendiri toko ini, bagaimana beliau berpikir dan berusaha mengembangkan usahanya. Saya juga bisa merasakan bagaimana toko ini berjuang melawan arus budaya yang senantiasa berubah dan sekarang dikelola oleh generasi selanjutnya. Tentunya saya juga merasakan kebahagiaan dari para penikmat roti yang dapat mencicipi cita rasa yang legendaris.
Akhirnya siang itu saya membeli satu kue sus, satu roti cokelat dan satu roti keju, untuk konsumsi di arena konser. Sewaktu antre menunggu pintu gerbang dibuka, saya menyantap kue sus. Nikmat. Kemudian untuk menghindari roti saya agar tidak disita, maka saya menyembunyikan roti yang saya beli di balik jas hujan yang selalu saya bawa jika nonton konser.