Pulau Rempang kini menuai sorotan dari banyak pihak karena bentrok antara penduduk dan aparat yang berlarut-larut hingga berujung kericuhan.
Hal ini dipantik karena ada rencana pengembangan kawasan ekonomi baru proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam yang mendapatkan penolakan.Â
Perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang menyatakan sikap menolak relokasi yang ditawarkan, padahal tenggat waktu dari pemerintah sudah semakin dekat yakni tanggal 28 September 2023.Â
Pulau yang memiliki luas 16 ribu lebih hektare yang terdiri dari dua kelurahan dengan jumlah penduduk sekitar 7.512 jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statitik.Â
Menurut Kepres tahun 1973 dan 1992 Badan Pengusahaan Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam atau BP Batam jadi pengelolanya. Lalu bagaimana dengan status administrasi lahan yang ditempati warga? Menteri BPN ATR Hadi Tjahjanto mengatakan warga tidak memiliki sertiikat hak milik atau SHM, jika sudah menahun seperti ini apa solusi dari akar masalah agar menjadi jalan keluar?
Pengamat pertanahan dan agraria Noor Marzuki melihat pemerintah harusnya memberikan informasi, arahan dan tuntunan kepada investor agar tak ada kesan aparat penegak hukum dihadapkan dengan rakyat. Noor Marzuki menegaskan harusnya pengusaha terjun langsung ke lapangan dan bangun partisipasi dengan rakyat setempat, jelas dalam aturan undang-undang bahwa setiap proyek strategis nasional dan melibatkan tanah yang ditempati masyarakat harus mengajak mereka bicara, dan yang lebih penting lagi ada jaminan kelangsungan hidup yang lebih baik.Â
Mantan Sekjen Kementerian BPN ATR RI itu juga mempertanyakan kenapa BPN kini tak langsung maju dan menerangkan sejelas-jelasnya kepada masyarakat agar gesekan yang terjadi tak berlangsung alot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H