Sebagai istilah "the power of emak-emak" baru mulai dikenal beberapa tahun belakangan ini, namun secara substansi bahwasanya emak-emak itu powernya luar biasa sudah kita ketahui sejak dahulu kala.Â
Sengaja Atuk tulis dahulu (pakai hu) supaya ada kesan-kesan baheulanya, ada kesan-kesan perjuangannya, kebayang deh kisah-kisah remaja orang tua kita atau opa oma kita yang kebelanda-belandaan.Â
Surat cinta dititip di ranting pohon, lewat depan rumah gadis pujaan hati berdehem-dehem, batuk-batuk kecil. Ketika si gadis membuka pintu jendela, dengan sekilas lirikannya saja sudah membuat hati berbunga-bunga.
Lirikan? Ya, jangan salah lirikan itu sampai dijadikan syair lagu oleh Ismail Marzuki: "Namun adakala pria tak berdaya, tekuk lutut di sudut kerling wanita". Hebatkan wanita? Wanita ya emak-emak, sama saja. Bahasa halusnya adalah kaum Ibu, kaum Ibu ini segede apapun pangkat dan jabatan anaknya, segede apapun fisik anaknya, segede apapun sekolah anaknya tetaplah anak Ibu. Ayo, siapa yang pernah nonton  Sylvester Stallone?Â
Si Rambo ini selain ganteng, pendekar ulung dan berbadan kekar tetaplah anak seorang emak yang harus dilindungi emak. Bayangin aja kerennya Rambo, dan bayangin juga emaknya bawa pistol. Itulah tontonan yang paling membuat ngakak dari film yang berjudul: "Stop, or my Mom will shoot". Aduh, hehehe.
Tak hanya di kalangan bule, di kalangan anak negeripun sama saja. Pernah dengar Jenderal Naga Bonar, sang petempur ulung dengan ucapannya: "sudah kubilang jangan bertempur, kau bertempur juga, matilah kau dimakan cacing". Kedengarannya gagah perkasa bukan? Tapi coba kalau berada dekat ibunya, si Bonar langsung kehilangan naga, malah jadi cacing. Ciut dah nyalinya. Apalagi kalau dipanggil maknya: "Bonaaaaaar". Si jenderal perkasa hilang gaya. Anak buahnya bisa dipastikan nyengir sambil ngacir. Hehehe, matilah kau.
Ibu tetaplah seorang ibu. Dulu ada bujangan namanya Agus, seorang sahabat Atuk merantau dari Surabaya ke Ibukota dan dilepas oleh Emaknya yang pedagang beras di pasar, ketika pulang liburan ke Surabaya sering kami olok-olok, karena pulang hanya buat disuruh ke pasar, disuruh jagain kotak uang, dan bukan tak mungkin juga disuruh ngangkat beras.Â
Entah tak tahu atau tak peduli anaknya sudah "dasian/kemeja berdasi", sudah jadi orang bank yang penting anak tetaplah anak, harus bantu emak di pasar. Serba repot jadi anak Mak, diberi uang banyak, malah marahin anaknya, ditanya-tanya darimana dapat uang, anaknya diinterogasi, diwanti-wanti jangan sampai korupsi. Walah walah walah. Beberapa tahun kemudian Atuk ketemu lagi dengan Agus, dan nanyain: "Gus, emakmu sudah tau bahwa kamu jadi orang hebat dan punya uang?" Dia hanya senyum simpul sambil menjawab: "sudah, sudah, sudah."
Mungkin emaknya nggak menyangka anaknya yang bandel itu sekarang sudah jadi pejabat. Ledekan kami kepada Agus pada zaman itu ketika dia membeli mobil sedan kalau tak salah: "Gus, apa tidak dimarahin Mak? Kenapa nggak beli kijang pickup buat bawa beras?" Huhahaha, ketawa lagi ah ngakak. Menurut pengakuannya kalau pulang ke Surabaya harus pakai trik, jangan pulang ke rumah dulu, ntar disuruh macem-macem, mending ke rumah teman. Soalnya kalau sudah dalam jangkauan radar emak, ceritanya bisa menjadi lain.
Di zaman Atuk masih mahasiswa, sekitar tahun 1979. Waw sudah 40 tahun lebih berlalu, masih saja kebayang kisah ini. Kisah seorang anak kecil yang sangat lasak yang sering Atuk temui ketika bertandang ke rumah teman. Anak itu sangat lasak, kadang menyebalkan juga. Jangankan orang lain, ibunyapun seperti tak peduli dengan dia, kesannya seolah ditelantarkan (kesan lo ya, yang sebenarnya Atuk nggak tau).Â