Ada sikap menarik ketika belajar bertoleransi dari Frans van der Lugt. Apakah itu?
Hal ini dimulai dari sikap toleransi di Indonesia yang begitu dijunjung tinggi pada masa sebelum kemerdekaan. Hingga sikap baik ini tertuang dalam hukum negara dan menjadi semboyan Bhinneka Tunggal Ika yakni, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Tetapi, apa yang terjadi setelah itu? Sikap intoleransi mulai muncul dan mampu merenggangkan perdamaian yang selama ini dijaga. Di Indonesia, karena sering terjadi kasus intoleransi, situasi intoleransinya sudah mencapai lebih dari 50%. Tiada hari tanpa mendengar kasus intoleransi.
Orang per orang tidak ingin saling mengenal, tidak ingin lebih dekat, karena adanya perbedaan. Khususnya sikap intoleransi terbanyak ada pada kasus perbedaan latar belakang agama seseorang. Di samping itu, orang dengan latar belakang agama sama, namun memiliki perbedaan pemahaman juga kerap terjadi intoleransi.
Munculnya intoleren bagi pelaku yang mendominasi ruang publik dikarenakan mereka selalu show off, bukan secara misterius. Seolah-olah intoleran menjadi sikap yang direstui. Membiarkannya berkembang setiap hari dan dengan beraninya mengambil oksigen toleransi. Serta, memuncaknya motif cemburu, dendam, impulsif, enggan berpikir, sekaligus spontanitas yang hanya ikut-ikutan.
Jika sudah seperti ini, netizen melalui dunia digital akan mudah tersulut emosi. Seringkali tidak melakukan crosscheck berita, apakah valid atau tidak. Mereka  sangat mudah terpengaruh arus.
Pemerintah, ahli, hingga aktivis ataupun orang-orang yang paham pentingnya menjaga toleransi tidak akan diam begitu saja. Pada 1996, PBB menetapkan International Day for Tolerance (Hari Toleransi Internasional) yang diperingati setiap satu tahun sekali yakni, pada 16 November. Harapannya, dengan adanya International Day for Tolerance, maka mampu memperkuat tingkat toleransi semua masyarakat agar saling memiliki sikap pengertian, baik antara budaya maupun antar bangsa. Sehingga, diskriminasi tidak akan terjadi, baik antarindividu atau antarkelompok di lingkup masyarakat.
Dan kita sendiri juga bisa  belajar bertoleransi dari seorang pastor, yaitu Pastor Frans. Frans van der Lugt atau yang lebih dikenal dengan nama Pastor Frans merupakan seorang Imam Yesuit yang berasal dari Belanda yang lahir pada tahun 1938. Pada tahun 1966, Beliau pergi ke Suriah dan tinggal di sana selama hampir lima puluh tahun.Â
Di Suriah, tepatnya di Kota Homs, Beliau mendirikan suatu pusat komunitas dan pertanian yang dinamakan Al-Ard Center, pada tahun 1980, di luar kota Homs. Pertanian tersebut memiliki kebun anggur dan taman dimana sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh para penyandang disabilitas. Tujuan lain dari didirikannya Al-Ard Center adalah untuk mendorong dialog antar umat beragama.
Pada saat Pastor Frans di Suriah, beliau getol memperjuangkan sikap toleransi. Beliau rela datang jauh-jauh dari Belanda ke Suriah yang saat itu dilanda konflik saudara untuk merawat mereka yang menderita dan menegakkan toleransi antarumat beragama disana.
Dari hasil legacy Pastor Frans, beliau mengatakan dengan intinya sebagai berikut bahwa, "Dalam menciptakan harmoni sekaligus kerukunan di masyarakat, walaupun memiliki latar belakang agama yang berbeda, tetapi sifat kemanusiaan penting untuk diutamakan. Sifat kemanusiaan menjadi landasan bersama yang harus dijunjung tinggi, dibandingkan sibuk dalam mencari kesamaan di antara teologi agama yang berbeda."