Pada suatu masa, ketika negeri ini belum semakmur sekarang, menjadi PNS adalah pilihan terakhir. PNS hanya bergengsi untuk status tapi tidak pada gaji/upah, apalagi jika PNS tersebut sudah berkeluarga.
Mengapa demikian?Â
Bayangkan, bagi PNS yang sudah menikah, tunjangan istri hanya 10% dari gaji pokok sedangkan tunjangan anak (maksimal 2 anak) 2% dari gaji pokok.Â
Artinya, jika yang bersangkutan menikah dengan 2 anak dan gaji pokoknya Rp3 juta, maka setiap bulan hanya bisa menafkahi istri Rp300 ribu dan 2 anak Rp120 ribu.Â
Lalu bagaimana agar dapur tetap bisa ngebul dan pendidikan anak terjamin? Ngobyek adalah solusinya. Sehingga tidak mengherankan jika di masyarakat ada stigma, untuk PNS jangan lihat gaji/upah tapi obyekannya.
Bagaimana agar obyekan berjalan lancar? Mencuri waktu di sela-sela jam kerja adalah pilihan yang harus di ambil karena bagaimanapun juga 1 (satu) hari  1 (satu) malam itu 24 jam.Â
Ada trade off antara jam kerja dan jam ngobyek, bahkan tidak jarang jam ngobyek mengalahkan jam kerja alias yang bersangkutan harus mem-bolos.
Bagaimana dengan sanksi disiplin? Sanksi sepertinya dianggap angin lalu, meski aturan yang mengatur  hukuman disipilin sudah ada sejak dahulu. Pada masa itu, aturan disiplin bagi PNS seringkali hanya dokumentasi tanpa implementasi.Â
Selain itu ngobyek sudah menjadi budaya yang diwariskan dan dilakukan oleh PNS mulai dari level atas hingga level bawah dengan alasan perut. Sehingga pada masa itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar untuk dimaklumi.
Bagaimana dengan kondisi saat ini? Seiring dengan berjalannya waktu dan membaiknya ekonomi negara, PNS selain mendapatkan gaji pokok juga mendapatkan tunjangan kinerja.