Mohon tunggu...
Andri Subiantoro
Andri Subiantoro Mohon Tunggu... -

,..saya seorang dokter,...yang menyukai kegiatan alam bebas,...sangat menyukai gunung dan pantai2,...mencintai budaya-budaya negeri ini,...suka membaca buku2 memoar, biografi orang2 inspiratif,....dan berusaha untuk menulis,...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

,...Cinta pada guru-guru,...

11 Juni 2011   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu sore hari, dan kami (aku dan lamunanku) sedang menatap dedaunan saling bergoyang mengiringi nada-nada angin yang merdu. Di sebelah langit tampak langit yang lain, indah dengan guratan garis-garis awan yang tegas berbatas lentik bagai rambut gadis-gadis desa. Sejenak aku mulai terbawa dingin, dan saat itu pula pasir-pasir berbisik pada jemariku, tentang tanah liat yang kemarin, tentang semak belukar, tentang matahari yang muncul mengintip malu, tentang semuanya. Waktu itu yang aku ingat hanya wajahnya yang sendu, lalu senyumnya yang ranum, juga gaunnya yang anggun bagai bidadari. Seorang guru. Yang aku tulis adalah dendam pada situasi, suasana hati yang geram pada kondisi, juga amarah yang mengalir deras memecah batu-batu malu para pemimpin. Yang aku sampaikan adalah tema sosialis pragmatis  yang mungkin membuat sebagian burung meringis. Sehingga manusia-manusia malu akan sifatnya sendiri, dan paham akan tema kehidupan yang keras. Aku menulis tentang isi suatu dialog di kampung-kampung intelektual rumah kami (di rumah, kami sering berdiskusi tentang fakta).

Seorang kawan menceritakan tentang gaji guru-guru "sukuan" yang kecil. Sebenarnya kami tidak peduli sampai kami tahu bahwa sekolah-sekolah yang mereka perjuangkan adalah sekolah pinggiran di desa-desa pelosok. Desa adalah lambang ketentraman kawan, dan sampai saat aku masih duduk di bangku SD, aku masih berenang di "jomblangan", danau kecil di samping sekolah. Aku tersengat mengetahui bahwa salah seorang kawan kami hanya mendapat gaji "seratus delapan puluh ribu rupiah" atas perjuangannya mengajar anak-anak desa di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTS). Sekolahnya berada di desa yang sebagian anak-anaknya masih kental dengan siraman agama, sehingga sekolah yang ada pun berupa MTS. Kawan ini adalah seorang sarjana teman, dan dia mau mengajar di desa-desa. Lalu aku berpikir, apa yang dia dapat di sekolah kecil yang hampir semua masyarakatnya adalah warga miskin.

Sebuah ironi tentang majas-majas kemanusiaan yang tak ada batasnya. Sebuah prosa nyata tentang paradoks negeri ini. Tidak tahu mengapa aku menjadi bersemangat pada aura kemarahan pada diriku. Tiba-tiba aku sadar bahwa siapa lagi yang mengajar anak-anak itu, kalau bukan mereka (Guru-guru bantu,..), lalu pantaskah mereka mendapat lebih??". Siapa yang memikirkan nasib mereka??" Para raja negeri ini??" Para menteri??" Politikus??" Praktisi pendidikan??" Kita??".

Kebiasaan kita hanya mendengar, lalu mencoba melihat sedikit, kemudian berkomentar tentang apa saja yang dapat diucapkan. Tanpa merubah apapun,....aku sampaikan semuanya dalam batasan orang awam. Aku juga demikian.
,....anak-anak desa berhak sekolah, supaya mereka tahu bahwa puncak "mimpi-mimpi" mereka adalah nyata. Sehingga apapun itu, guru-guru mereka adalah yang terbaik....!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun