Tato Dalam Masyarakat Indonesia
Sesungguhnya Indonesia telah mengenal tato pada awal masuknya masehi, dapat dilihat dari berbagai dekorasi penggambaran figur manusia yang terdapat pada beberapa kendi tanah liat dan perunggu di beberapa kepulauan Indonesia. Sementara peralatan penatoan berupa berbagai jarum dari tulang hewan mamalia yang ditemukan di berbagai gua di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.[2]
Masyarakat Mentawai yang terletak di sebelah Barat Sumatera Barat memiliki tradisi pada saat usia remaja, laki-laki maupun perempuan menjalani upacara inisiasi dan mereka mengadakan pesta besar kemudian tubuh si anak ditato oleh sipatiti seorang ahli tato. Derajat seseorang juga dapat dilihat dari tato di tubuhnya karena tato pada masyarakat Mentawai menunjukkan kesukuan seseorang, berapa jumlah keluarga, dan prestasi yang telah dicapai.
Selain itu tato juga terdapat pada suku Dayak. Tato merupakan simbol masyarakat Dayak dalam ikatan pertalian yang tidak terpisahkan sampai ajal menjemput. Merupakan unsur yang dapat menyelamatkan manusia ketika kematian menjelang. Tato dalam suku Dayak mempunyai kesan jantan, kuat, berani, dan erat kaitanya dengan unsur kepercayaan. Dipercaya dapat memperoleh keselamatan, kerukunan keluarga dan masyarakat.
Di Bali, tato dikenal dengan istilah mencocoh.Kulit tubuh di rajah menggunakan tinta berwarna hitam. Pada masa itu tato di Bali hanya di gunakan oleh kaum elit seperti dukun, penguasa dan agamawan. Karena tato di masyarakat Bali dianggap hanya sesuai bagi mereka yang dianggap dekat dengan Dewa.
Tato Pada Masa Orde Baru
Pada masa era orde baru tato mengalami masa kelam. Karena pada waktu itu orang yang bertato dianggap sebagai kriminal dan “hilang” tanpa jejak secara misterius. Biasanya mayat yang dianggap preman ini dibuang begitu saja di perempatan, pinggir jalan, maupun pos kamling. Persepsi tato sebagai simbol kriminalitas merupakan landasan pemikiran pemerintah pada waktu itu. Demi keamanan nasional serta ketertiban masyarakat maka orang yang bertato kemudian dihilangkan karena mengganggu ketertiban masyarakat. Operasi Petrus tahun 1983-1984 menimbulkan asumsi pada masyarakat bahwa ketika terjadi insiden petrus, tato berperan sebagai preman yang dianggap dapat mengganggu ketertiban masyarakat mengisyaratkan tato yang digunakannya membawa stigma nasional yang mengerikan. Isyarat tato merujuk pada nilai-nilai kejahatan, kriminalitas, dan kegiatan buruk yang memiliki imbas sampai sekarang.
Setelah orde baru memasuki era reformasi, kebebasan berekspresi mengucur deras di berbagai bidang. Tidak bisa dipungkiri tato menjadi bagian gaya hidup masyarakat perkotaan terutama kaum muda.
Tato Sebagai Budaya Populer
Budaya masa ini dikonsumsi dan menempel pada berbagai aliran yang dianut kalangan anak muda, punk dan musikus rock misalnya selalu identik dengan tato. Hal ini menunjukkan bahwa tato merupakan komoditas yang melingkupi berbagai kalangan/ aktivis yang berkaitan dengan jiwa muda. Tato merupakan budaya populer, karena dilakukan oleh kalangan anak muda, terasa menyenangkan dan disukai banyak orang. Dahulu memang tato digunakan untuk orang yang hendak menjadi dewasa, dengan melalui proses ritual dan sebagainya.
Maka kini tato menjadi konsumsi banyak kalangan tanpa memasuki keadaan tertentu dengan tato sebagai simbolnya. Tato bagi kaum muda dianggap atraktif, dinamis, sesuai dengan jiwa muda yang penuh semangat, kreatif meledak-ledak melihat tatanan sosial kultural masyarakat yang mengikat kebebasan dan terasa monoton. Remaja menganggap fesyen (tato), aliran musik, hingga bahasa dapat dianggap sebagai usaha memenangkan ruang kultural melawan kebudayaan yang dianut orang tua dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat umum. Hal tersebut merupakan bukti penguat tato dari tradisi menjelma dengan budaya tinggi (high culture), menuju budaya pop (pop culture).[3]