Mohon tunggu...
Andri Suherman
Andri Suherman Mohon Tunggu... profesional -

Heart, Head, Hands...!?!?!?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Balik Field Trip Bersama Mahasiswa JCU, Australia

29 Agustus 2013   09:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1377745181444791039

Tepat pukul 8.00 pagi di hari minggu, 25 Agustus 2013 aku beserta rombongan mahasiswa James Cook University (JCU), Australia berangkat menuju Desa Gondang, Kabupaten Lombok Utara (NTB). Kami menaiki bis UNRAM yang sepertinya khusus digunakan untuk acara-acara kampus seperti ini. Ya, kami sedang mengadakan salah satu program excursion yaitu field trip bersama para mahasiswa JCU tersebut yang sedang belajar B.Indonesia di Pusat Bahasa UNRAM. Mereka berjumlah 10 orang, namun karena 2 orang dalam keadaan sakit, jadilah yang berangkat 8 orang yang didampingi oleh kami 4 orang instruktur termasuk aku dan 1 rekanku sebagai koordinator acara.

Agenda field trip ini dimulai dengan mengunjungi Desa Gondang yang memakan waktu perjalanan kurang lebih 1 jam. Waktu yang cukup lama, namun tidak terasa karena kami bercanda sambil bernyanyi sepanjang perjalanan. Lumayan dapat menghilangkan rasa bosan. Aku duduk di bangku deretan ke-3 berdampingan dengan salah satu mahasiswa JCU tersebut bernama Rajmoni Singha yang berasal dari Bangladesh. Raj, sapaan akrabnya, banyak menanyakan nama-nama bangunan, lapangan, pasar, dsb selama perjalanan. Akupun senang menjawab satu persatu pertanyaannya. Apalagi ketika bis yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan pedesaan dimana kanan kiri jalan terlihat hutan dan juga jurang dengan tebing-tebingnya yang terjal. Raj mulai antusias melihat ke arah luar melalui jendela bis sambil membidikkan kamera digitalnya. Sesekali dia nyeletuk bahwa pemandangan diluar sangat alami berbeda dengan kota tempat tinggalnya di Bangladesh yang katanya sangat padat. Aku hanya tersenyum kecil mendengar penuturannya.

Tidak berapa lama kemudian, kamipun tiba di Desa Gondang, tepatnya di Dusun Lekok. Lalu kami beristirahat sejenak setelah disambut oleh ibu kepala dusun. Acara selanjutnya adalah mengunjungi dan melihat home-industry yang dikelola oleh ibu-ibu desa setempat. Kami diperlihatkan bagaimana proses membuat bakso ikan, abon ikan, dan sate ikan. Semua serba berbahan dasar ikan karena memang mayoritas orang Gondang ini bekerja sebagai nelayan. Para ibu-ibu ini mengolah ikan hasil tangkapan suami mereka selain untuk dijual sebagian ke pasar tentunya. Beberapa mahasiswa JCU ini ikut mencoba mempraktikkan proses pengerjaannya. Ada yang menggiling cabai, mengiris bawang, memarut kelapa, dan menggoreng ikan. Mereka semua terlihat kaku dan lucu tentunya.

Setelah itu kami menuju ke pesisir pantai yangberjarak sekitar 1 km. Desa Gondang memang terletak di dekat pantai sehingga masyarakat setempat banyak yang bekerja sebagai nelayan. Disana kami menemui beberapa orang inaq-inaq (panggilan ibu untuk orang Lombok) sedang duduk di pinggir pantai sambil berbincang-bincang. Ternyata mereka sedang menunggu suaminya pulang melaut. Tidak lupa para mahasiswa JCU ini mengabadikan pemandangan sekitar pantai melalui HP ataupun kamera digital mereka. Sempat juga terjadi perbincangan antara kami dengan para inaq-inaq tadi walau sebentar karena kami mesti segera kembali ke lokasi untuk makan siang. Setelah tepat jam 1, kami mulai bergegas lagi untuk meneruskan perjalanan menuju ke desa kedua, yakni desa Karang Bajo.

Akhirnya kamipun tiba dilokasi setelah menempuh waktu kurang lebih 1 jam. Kami disambut oleh seorang pemangku desa bernama Pak Karyadi di sebuah bangunan yang tidak begitu besar dan lambat laun setelah kami dikasitau bahwa itu adalah bangunan anti gempa. Ya, itu merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat atas kerjasama dengan sebuah LSM bernama Santiri Foundation. Namun sejujurnya, yang membuat aku terkagum adalah bukan bangunan anti gempa tersebut, tapi justru kehidupan sosial masyarakat yang katanya masih memegang teguh hukum adat Sasak (suku asli Lombok).

Belum hilang rasa penasaranku, kamipun diajak berkeliling mengunjungi perkampungan warga. Beranjak dari satu rumah ke rumah yang lain, aku menyaksikan bangunan rumah mereka sangat tradisional, yakni berdinding pagar dan beratap lumbung padi dengan design khas Lombok. Lalu kemudian kami berhenti di sebuah rumah yang dikelilingi pagar bambu. Rumah ini ternyata adalah rumah kepala pemangku adat. Sejenak aku perhatikan dari luar pintu pagarnya, rumah ini tak ada bedanya dengan rumah warga lainnya. Namun entah dengan alasan hukum adat Sasak, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumah tersebut kecuali harus menggunakan pakaian lambung, yakni pakaian tradisional Sasak. Sangat pribumi memang, apalagi tepat di depan rumah ini tumbuh sebuah pohon raksasa yang konon katanya sudah berusia ribuan tahun.

Terkahir kami berkesempatan mengunjungi sebuah masjid yang berlokasi agak jauh dari pemukiman warga. Lagi-lagi aku dibuat cukup heran, mulai dari model bangunannya yang serba bambu sampai fungsinya sendiri yang hanya boleh digunakan oleh para kiyai. Orang lain tidak diizinkan masuk kecuali saat acara-acara besar islam, itupun hanya kaum laki-laki saja, perempuan tetap dilarang masuk. Di samping masjid, berdiri pula sebuah bangunan kecil. Semula aku mengira, itu adalah tempat wudhu, tapi ternyata itu merupakan sebuah makam. Ya, itu merupakan makam para kiyai dan pemangku adat.

Desa Karang Bajo ini benar-benar cukup membuatku kagum. Bukan terkagum, tapi mungkin lebih tepatnya terheran. Aku sebelumnya memang pernah mengunjungi beberapa desa di pulau Lombok. Namun berbeda, desa ini benar-benar mampu mewakili apa yang pernah aku baca di beberapa artikel mengenai kehidupan dan adat istiadat suku sasak. Primitif mungkin tidak, tapi benar-benar tradisional banget. Ternyata di zaman modern sekarang ini, masih ada masyarakat yang memegang teguh dan menjaga adat istiadat suku Sasak di pulau Lombok ini. Terlepas dari itu semua, desa ini mungkin bisa dijadikan sebagai tujuan wisata yang tidak hanya menawarkan ketradisionalan semata, tapi juga mengandung cerita yangmemiliki nilai sejarah.

Mataram, Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun