Andri Sipil, No.120
Wajah dan tubuhnya basah dengan keringat, tangannya dingin, nafasnya terdengar sesak dan suaranya bergetar, untunglah tidak sampai mimisan atau pinsan. Begitulah kondisi Ferdi, ketika pertama kali bertemu dengan Mira. Butuh dua kali pertemuan untuk bisa membuat Ferdi berani menyapa Mira, itupun sebenarnya sudah ada aku disampingnya, menemani. Aku sendiri heran, ia sepertinya mempunyai alergi akut jika berdekatan dengan perempuan, terlebih jika perempuan tersebut adalah orang yang ia suka.
Kadang aku suka tertawa sendiri kalau sedang mengingat-ingat temanku yang satu ini, tapi kasihan juga sebenarnya. Ia selalu memohon kepadaku untuk mempertemukannya dengan Mira, katanya ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Namun lucunya setiap kali bertemu, ia selalu memintaku untuk tidak pergi, ngobrol bertiga lebih enak katanya, haduh.
Dipertemuan ke tiga, ia sudah mulai berani menyapa dan berbincang dengan Mira walaupun sebentar, sebelumnya malah ia cuma bisa bilang “apa kabar?” selama pertemuan, selebihnya diam. Kalau sudah begitu aku yang melanjutkan mengobrol dengan Mira. Syukurlah sudah ada kemajuan kataku membatin.
Ferdi teman karibku sejak SMA, dan kini kami kuliah di Universitas yang sama, sedangkan Mira teman kami satu jurusan. Ferdi sangat suka padanya, ia bilang padaku. Dari dulu ia memang sangat ingin memiliki pacar, dan sebagai teman aku bertekad untuk membantunya.
Kalau melihat gelagatnya, Mira sepertinya juga menyukai Ferdi, sempat setelah kupancing-pancing mau juga ia mengakuinya. Ia bilang sebenarnya Ferdi itu ganteng dan baik, mirip Dude Herlino, hanya saja ia tidak punya keberanian.
“Menurutmu Ferdi suka sama kamu tidak?” Tanyaku langsung
“sepertinya sih suka” jawabnya malu
“kalau begitu kenapa kalian tidak jadian saja?” ucapku menantang
“aku mau, kalau dia mengatakannya langsung padaku” Mira menoleh kesamping, mengalihkan mukanya, yang mulai memerah.
***