Tatapanku tertuju pada senjata timah panas itu. Sial, seandainya saja benda brengsek itu meluncur lebih jauh ke arahku. Mungkin saat ini kepalanya sudah kutembak - tergeletak di atas lantai dengan darah berceceran.
Badanku gemetar. Ia melirik kearah pistolnya. Seketika hatiku berkata, Sekarang!!! Aku menerjang ke arah Dr. Jalal atau James. Entah siapalah nama sebenarnya. Yang jelas ia seorang “Bangsat”. Atau kupanggil saja ia si Bangsat? Ya si Bangsat yang masih tersungkur memegangi kemaluannya itu.
Aku meraih pistolnya. Namun tiba-tiba saja tangannya menyergap genggamanku. Lantas kegilaanku kembali kumat. Aku meraung-raung seperti singa betina kehausan darah. Ku gigit tangan si Bangsat, ia menjerit kesakitan. Kemudian aku berdiri dan mengambil jarak aman darinya. Pistol itu kutodongkan tepat ke arah titik di antara kedua matanya.
“Tenang Anna...!! aku takkan menyakitimu…” Ia mengangkat kedua tangannya. Tanda menyerah. Namun sekilas kembali kulihat seringai iblis menggelayut di ujung senyumannya.
“jangan mendekattt...!! atau ku tembak..” Aku memperingatinya. Nafasku begitu menderu. Keringatku mulai membasahi pergelangan tanganku. Tubuhku mulai kembali gemetar.
“tidak Anna!!...kau tidak akan menembakku..!!”
“Diammmm!!! jangan mendekatt!!!..ku bilang jangan mendekatt!! Aku sudah gila!! Aku sanggup menembakmu!!” kulihat kembali seringai iblisnya. Rupanya ia sedang menguji kegilaanku. Dengan kedua tangan yang masih terangkat. Perlahan, ia melangkah kedepan. Namun sebelum sempat ia kembali melangkah. Aku sudah menembaknya.
“klikkk...!!”
“Klikk..!!”
“hahahaha...! sudah kubilang Anna...hanya tersisa satu peluru di dalam pistol itu, hahahaha!” Ia tertawa puas