Usianya mungkin mendekati lima puluh tahun. Ia tidak bisa baca-tulis, karena memang ia tidak pernah sekolah. Tidak punya anak-istri. Hidupnya sendirian, tanpa sanak-family. Â Â
Ia sangat rajin beribadah. Tidak pernah telat mendatangi musholah. Ia pasti datang, saat Azan sudah berkumandang. Seandainya saja ia bisa baca Qur’an. Sudah pasti mengaji takkan pernah ditinggalkan. Seringkali ia dianggap menggangu. Untuk sekedar bertanya tentang cara berwudhu.Â
Tanpa pendidikan ia dibilang tak mengenal aturan. Bukan karena itu sebenarnya ia dianggap memiliki kecacatan. Tapi karena hobinya, rutinitasnya yang ia lakukan dalam keseharian. Yang katanya diluar kebiasaan.Â
Sepanjang hari. Ia akan menyisir menyapu jalanan. Menggiring sampah-sampah yang berserakan. Tak perduli siapa punya halaman. Ia akan tetap mengindahkan.Â
Terlalu lama ia membungkuk. Sampai-sampai lupa duduk. Kini badannya lemah, menjadi gemuk. Bukan karena bosan sama jalanan. Tapi pohon-pohon telah hilang menjadi perumahan.
Kang Isman yang orang anggap gila itu. Adalah pahlawanku. Pahlawan kebersihan di kampungku.
---o0o---
Â
Jakarta, 10 Nopember 2015
Andri Sipil, No.69
Â