Tahun 1995. Usiaku baru sepuluh tahun. Saat itu tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi anak-anak seusiaku daripada menunggu waktu akhir pekan yang akan segera tiba. Sekolah libur dan aku dapat bermain sepuasnya sepanjang hari. Sejatinya hari minggu memang harinya keluarga, hari untuk anak-anak, begitulah ungkapan yang pernah aku dengar di radio tua milik bapak atau pada sebuah acara televisi.
Hari libur waktunya untuk bersenang-senang. Membebaskan pikiran dari penatnya berbagai mata pelajaran. Memang aku tidak pergi ke pasar atau mengunjungi saudara di Jakarta seperti yang biasa dilakukan oleh keluarga Aldo. Hanya menghabiskan waktu senggangku dengan bermain gala asin atau melempar bola kasti pada tumpukan bata merah yang telah disusun rapih. Berlarian di bawah pohon menteng yang rindang, mencari temen-temen yang bersembunyi. Ternyata itu sudah cukup membuat hati ku dipenuhi kegembiraan.
Minggu pagi juga merupakan waktu yang selalu kutunggu-tunggu. Di waktu itu hiburan anak-anak akan tayang memenuhi layar kaca. Film-film kartun kesukaan ku diputar saluran-saluran televisi swasta. Sebut saja Doraemon, si kucing ajaib yang memiliki pintu kemana saja atau Sinichi Kudo alias Conan sang detectif. Sailor Moon dan P-Men juga tak ketinggalan beraksi. Serta masih banyak lagi sederetan suguhan yang sangat memanjakan imajinasi anak-anak itu.
Sebenarnya aku tidak punya televisi. Televisi merupakan barang mewah bagi keluarga kami. Biasanya aku dan dua orang adikku yang belum sekolah pergi ke rumah nenek jika ingin menonton kartun. Rumah nenek tidak jauh, hanya berjarak tiga rumah saja dari tempat kami tinggal.
Pagi-pagi sekali biasanya kami sudah duduk di teras rumah nenek. Tentu saja dengan kondisi tubuh yang telah harum serta muka putih dipenuhi bedak. Pipi dan kening kedua adikku itu nampak seperti kue apem yang baru saja ditaburi serbuk gula. Putih dan tentu saja manis. Di hari libur seperti itu kami selalu pergi ke kamar mandi lebih pagi dari biasanya.
Seringkali di waktu-waktu kami datang, pintu dan jendela rumah nenek masih tertutup rapat. Terang saja itu karena kedatangan kami yang terlampau pagi. Tapi mau bagaimana lagi, di hari Minggu kartun-kartun itu bahkan telah tayang sejak pukul enam pagi. Sehingga kami harus datang sebelum cahaya matahari benar-benar menyinari pelataran rumah nenek.
Meski begitu namun kenyataannya kami tidak dapat langsung menonton layar kaca tersebut. Bibi May adik ibu yang paling bungsu itu baru akan membuka pintu dan jendela setengah jam setelah film kartun pertama dimulai. Ia bilang agar kami menunggu, karena ia harus membersihkan lantai serta kaca-kaca jendela terlebih dahulu. Kami menurut, duduk di teras menunggu dengan sabar.
Pukul tujuh kurang lima menit. Bibi may baru selesai menyapu lantai dan mengelap kaca-kaca jendela. Aku mulai gelisah. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdo’a agar bibi May dapat menuntaskan tugasnya itu dengan cepat.
Mendekati pukul delapan bibi May belum juga selesai. Menyisakan lantai bagian luar tempat kami menunggu. Setelahnya ia masih harus mengeringkan ubin-ubin yang telah di gosoknya menggunakan air sabun itu dengan kain kering.
Dari lubang jendela yang terbuka aku kembali melihat jam dinding yang menggantung di atas kursi. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku makin gelisah. Pikiranku mulai tak karuan. Mungkin saat ini Nobita sudah berpetualang jauh ke negeri awan bersama Sizuka menggunakan baling-baling bambu. Sekilas aku juga bisa membayangkan Giant dan Suneo melayang mengikuti mereka di belakang.
***