Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Jingga Senja Kita

7 Desember 2015   11:35 Diperbarui: 26 Februari 2017   04:01 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa minggu kemudian. Setelah kami genap berusia 17 tahun. Tante Grace mengirim kami ke sebuah panti. Sebelumnya Ia tak berkata apa-apa pada kami. Tante Grace seolah mengusir kami begitu saja. Senja hatinya sangat terpukul. Di panti itu ia hanya menangis sepanjang waktu. Ia tak mau beranjak dari tempat tidurnya. Ia bahkan tak mau makan.

Aku berusaha menghiburnya. Aku berusaha menghilangkan kesedihannya. Namun bahasa isyaratku tak pernah sampai padanya. Aku bahkan tak pernah bisa memanggil namanya. Kami begitu dekat, namun kami seperti terpisah berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Kehadiranku bagi Senja hanyalah sebuah kesunyian yang lain. Kesunyian yang semakin membuatnya bersedih.

Dalam keadaan setengah putus asa aku berlari menuju sebuah hutan kecil yang terletak tak jauh di belakang panti. Kemudian aku menangis di antara pohon-pohon akasia. Aku berharap mereka dapat mendengar tangisanku. Mendengar isi hatiku. Dan menyampaikannya pada Senja yang sedang berbaring tak berdaya itu.  

Tiba-tiba saja daun berjatuhan tersapu angin. Derai – derainya berbisik pada tangisanku. Kemudian aku menuruti bisikannya. Aku berlari menuju bukit yang bersembunyi di balik hutan itu. Aku berteriak pada awan-awan di sana. Dan kemudian mereka seolah berbicara dalam hatiku “bawalah Senja pada hujan”  

 ***

Aku menuntun langkah Senja. Aku menyandarkan kelemahan tubuhnya pada bahuku. Aku mengajaknya ke atas bukit. Saat itu tepat matahari akan tenggelam. Aku mendudukannya di atas rumput. Di ujung cakrawala semburat cahaya jingga mulai menampakan dirinya. Aku menghadapkan senja padanya. Aku sejenak memandanginya. Memandangi diri kami. Jingga dan senja. Hingga sesuatu yang aku tak mengerti terjadi. Sebuah rintik hujan turun di antara cerahnya langit sore. Hujan itu membasahi tubuh kami.

Perlahan Senja menegapkan dirinya. Hujan itu tiba-tiba saja mendera gendang telinganya. Dalam rintiknya, aku seolah-olah mendengar suaraku sendiri. Suara yang belum lama aku tangiskan pada hutan dan awan. Dan kini rintik hujan sedang menyampaikan tangisanku itu padanya. Senja kemudian membentangkan tangannya. Menghadapkan mukanya pada langit. Ia berusaha untuk menangkap tiap kata yang hendak disampaikan oleh rintik hujan padanya. 

Adikku,

Aku hanya ingin memberitahumu bahwa senja yang ada di ujung langit sana berwarna jingga pekat. Tetapi bunga-bunga yang tumbuh di sekitar kaki kita berwarna jingga kulit jeruk. Memang keduanya jingga, tetapi jingga yang berbeda, Adikku. [1]

Adikku, aku membaca dalam sebuah surat yang dititipkan bersama foto kedua orang tua kita pada tante Grace dalam sebuah amplop berwarna putih. Di dalam surat itu Ayah memohon padanya, agar ia mau membesarkan kita berdua sampai usia kita cukup dewasa.

Adikku, ayah dan ibu tak pernah sempat memberikan nama pada kita. Jingga dan Senja adalah nama pemberian tante Grace. Ia tahu bahwa ayah dan ibu sangat menyukai senja yang berwarna jingga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun